Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 05 April 2011

Brigjen Pol (Purn) Drs. I Njoman Gede Suweta, MH. Banyak Kepentingan Ekonomi Berbaju Adat

“Jurnal” konflik bernuansa adat di Bali makin hari semakin tebal, sehingga untuk menyebutnya satu persatu secara runut dan detail terasa akan melelahkan sekaligus membosankan. Lelah, karena kisah klasik konflik ini tak kunjung surut yang berarti tiadanya mekanisme penyelesaian dari konflik adat di Bali, meskipun sudah ada Perda No 3 Tahun 2002 Tentang Desa Pakraman dan adanya Majelis Desa Pakraman yang diharapkan banyak berperan meminimalisir kasus-kasus semacam ini, tapi dalam praktiknya masih jauh dari harapan.
Kemudian, peristiwa-peristiwa konflik mengatasnamakan adat (karena sering motif murninya bukan adat) menjadi bosan untuk mendengarnya dikarenakan Bali yang sudah memasuki zaman modern, paling tidak dalam hal tantangan hidup dan perubahan iklim kehidupan, tetapi mentalitas warganya masih saja berkutat pada zaman Bali kuna, cara pandang peradaban masa lampau dan tiadanya tanda-tanda yang menunjukkan kemampuan beradaptasi terhadap nilai-nilai modernitas, sebagi zaman menghendakinya.

Toh demikian, wacana untuk membahas kasus-kasus adat (paling tidak diklaim atas nama adat) seperti ini rasanya masih terus perlu digulirkan, dengan harapan terjadi evolusi pemikiran dari masyarakat Bali, sehingga pelan-pelan akan tumbuh pencerahan baru baginya.

Untuk itu, Raditya sengaja mewawancara mantan Wakapolda Bali, Brigjen Pol (Purn) Drs. I Njoman Gede Suweta, MH., pada Sabtu 12 Maret 2011 di Kantor Bantuan Hukum Dewata Lestari yang berlokasi di Jalan Mahendradatta, Denpasar. Dia yang dulu juga sempat maju sebagai calon Wakil Gubernur Bali berpasangan dengan Cok. Budi Suryawan ternyata mengaku memang menaruh interest terhadap masalah-masalah adat yang terjadi di Bali.

“Ada sinyalemen, kalau banyak awig-awig desa pakraman justru tidak sejalan dengan dresta di desa tersebut. Padahal logikanya, dresta yang berlaku adalah sistem nilai yang boleh dianalogikan sebagai Konstitusi atau sumber dari segala sumber hukum adat, yang dalam hal ini adalah awig-awig. Sedangkan awig-awig itu boleh dianalogikan sebagai undang-undang. Jadi, karena awig-awig banyak menyimpang dari drestam naka mucullah banyak konflik bernuansa adat,” jelas Njoman Gede Suweta menyebut salah satu penyebab mengapa konflik adat di Bali tak kunjung memudar.

Mengapa sampai muncul awig-awig yang menyimpang dari dresta? Suweta menilai hal ini bisa terjadi, karena kekurangmampuan elite atau tim perumus awig-awig untuk membahasakan dresta ke dalam awig-awig yang tertulis. Akhirnya, banyak awig-awig itu berisi pasal-pasal yang memuat agenda baru dari para penyusunnya, dan tidak semata-mata ejawantah dari dresta, baik itu loka dresta, kuna dresta maupun sastra dresta.

Sebenarnya, menurut Ketua Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) daerah Bali ini, “kecelakaan” seperti ini tidak saja menimpa ranah desa adat di Bali, tetapi juga dalam hal penyusunan undang-undang di Republik ini. Suweta berani menyebut demikian, karena bukti telanjang telah terpapar, di mana banyak terjadi judicial review terhadap produk perundang-undangan dan banyak penggugat menang dalam judicial review itu, karena terbukti undang-undang tersebut bertentangan dengan roh konstitusi, yaitu UUD 1945.

Yang menarik dalam praktik desa adat ini kemudian adalah, di mana banyak tokoh-tokoh adat justru memutlakkan awig-awig sebagai pedoman penyelenggaran desa. “Akhirnya seperti praktik hukum positif saja, semuanya atas nama hitam di atas putih, sementara banyak kearifan yang sudah dipraktikkan turun-temurun di desa itu dalam bentuk dresta yang acuanhya moral justru diabaikan. Kini berbaliklah keadaan, yaitu awig-awig menjadi pedoman tertinggi dan dresta dipandang sebelah mata,” urainya. Ia mencontohkan kasus kesepekang. Menurutnya, kesepekang itu artinya dikucilkan atau disisihkan dari pergaulan desa sebagai bentuk hukuman moral atas ketidakpatuhan oknum warga. Misalnya, warga lain enggan bertegur sapa dengan oknum itu, karena yang bersangkutan bandel atau mau menang sendiri. Pokoknya masyarakat desa acuh padanya. Nah, hal ini lama-kelamaan membuat oknum itu merasa tak nyaman, karena banyak orang di sekitarnya, para tetangga tak ada bertegur sapa. Biasanya selanjutnya yang bersangkutan minta maaf di paruman desa dan berjanji tak mengulangi “kenakalannya” dan warga desa menerimanya kembali sebagai warga desa adat. Berbeda situasinya sekarang,di mana kasus kesepekang sering diikuti hukuman material, misalnya denda uang, beras, bahkan ada yang diusir dari tempat tinggalnya, padahal rumah yang ditempatinya adalah hak pribadinya yang dilindungi hukum negara.

Menurutnya, dresta yang tidak tertulis tidak selalu lebih lemah dan lebih buruk dari awig-awig atau produk aturan tertulis lainnya. Buktinya, hingga kini Inggris masih menggunakan sistem norma tak tertulis, yaitu tradisi istana kerajaan di dalam mengatur kebijakan negaranya di samping memang ada Konstitusi tertulis di sana. Dalam hal-hal tertentu, Ratu boleh mengambil langkah-langkah tertentu berdasarkan tradisi yang tak tertulis, bilamana diperlukan.

Karena desa pakraman memutlakkan awig-awig, berikutnya muncullah kelompok elite desa yang memonopoli kebenaran. Bila ada orang yang ingin memonopoli kebenaran atas nama versinya, maka jelas konflik akan muncul.

Konflik Ekonomi Berbaju Adat
Sebagai mantan perwira tinggi kepolisian yang pernah bertugas di Bali, maka Njoman Gede Suweta banyak mengetahui isi “jeroan” berbagai kasus adat yang muncul. Tak diragukan lagi, ia berkesimpulan berdasarkan pengalamannya menangani berbagai kasus adat, bahwa sering terjadi, di mana konflik adat itu sebenarnya hanyalah konflik ekonomi yang kemudian sembunyi di balik lembaga adat. Sebutlah ribut masalah tapal batas desa, masalah pemekaran desa pakraman dan penolakan pembangunan sarana pariwisata atas nama adat. Ini membuktikan desa pakraman dengan mudah ditarik ke sana-ke mari untuk kepentingan lain, yang bukan menjadi domain desa pakraman itu sesungguhnya.

Akhirnya, dalam pandanganhya telah terjadi kesenjangan wacana di lingkungan ranah desa pakraman yang konon berspiritkan agama Hindu dan nilai-nilai luhur adat Bali. Slogan Mpu Tantular dalam karyanya Kakawin Sutasoma yang mengamanatkan, “Bhineka Tunggal ika Tan Hana Dharma Mangrwa” hanya tinggal omongan, tetapi pelaksanaannya justru terjadi usaha penyeragaman seluruh desa pakraman di Bali. Buktinya adalah diberlakukannya Perda No. 3 Tahun 2002 Tentang Desa Pakraman, di mana di dalamnya diatur bagaimana sayarat-syarat desa pakraman. Padahal dari zaman lampau desa pakraman di Bali telah lama eksis tanpa aturan itu, dan kini dengan aturan tersebut keadaan bukannya bertambah baik.

Terakhir, ada unsur campur tangan birokrasi yang terlalu dalam ke wilayah desa pakraman yang makin merunyamkan persoalan. Misalnya, masyarakat Bali sudah memiliki subak yang eksis berabad-abad dan dikenal, bahkan “dijual” ke dunia luar atas nama pariwisata. Namun, pemerintah bukannya membina dan menyokong subak ini supaya semakin kuat, tetapi pemerintah membentuk Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) atau juga Simantri (Sistem Pertanian Terpadu Mandiri) yang mana program-programnya adalah bidang pertanian yang sesungguhnya sudah dikerjakan oleh warga subak. Lalu buat apa membentuk lembaga baru dengan isi sama, bukankah sebaiknya memperkuat keberadaan subak itu. “Ini siapa yang gila?” celetuknya.

Jadi, kembali menyorot konflik adat, pihaknya mengajak untuk mencari solusi bersama dengan pertama-tama setiap kasus dengan proporsional. Lihat dulu permasalahannya, sehingga jangan digeneralisasi. Setelah itu barulah rumuskansolusinya berdasarkan nilai-nilai lokal yang berlaku di daerah itu, jangan melibatkan pihak-pihak yang tak berkompeten menangani adat. Misalnya dulu saat konflik desa Ngis dan Macang karena rebutan sumber air suci, lantas untuk memastikan desa mana yang memiliki wilayah itu, kemudian diturunkanlah Jawatan Topografi Kodam IX Udayana untuk membuat peta kewilayahan di sana. “Aduh, ini kan tidak tepat, sebab batas suatu desa pakraman tidak selalu identik dengan zone wilayah, karena banyak desa pakraman kramanya tinggal di desa lain, dalam istilah Bali-nya wilayah desa saling seluk. Nah, bagaimana membakukan batas wilayah desa adat semacam itu. Jadi harus kembali kepada nilai-nilai lokal yang telah digunakan sebelumnya, jangan main menang-menangan dan mempraktiikan formalitas saja,” harapnya menyudahi obrolan dengan Raditya yang ringan, santai dan menyegarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar