Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 16 Maret 2011

YADNYA MEMBERI VIBRASI SUCI TERHADAP LINGKUNGAN

I Wayan Dateng

Secara konseptual yadnya oleh masyarakat Hindu dipahami sebagai suatu jenis pengorbanan yang dilandasi dengan hati yang tulus ikhlas, sehingga yadnya dilaksanakan oleh masyarakat Hindu dalam rangka aktualisasi rasa kasih dan ketulusan hati yang akan dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Konsepsi yadnya secara mutlak oleh umat Hindu tidak hanya dipahami sebagai kebaktian kehadapan Tuhan atau Sang Pencipta, melainkan yadnya juga dipahami sebagai bentuk pelayanan yang suci dan tulus ke hadapan sesama manusia dan lingkungan.
Sementara itu, masyarakat Bali secara umum memaknai yadnya sebagai bentuk pengorbanan yang difaktualisasikan dengan bentuk upacara agama, seperti yang sudah biasa dan lumrah kita kenal dengan panca yadnya. Yakni kurban kepada para dewa, leluhur, maharsi, manusia bijaksana dan juga para butha kala. Pemahaman ini diterima secara umum dan telah mengakar pada kehidupan dan tradisi masyarakat Bali. Kendati pun demikian tidak salah, jika kita sang pelajar memberikan tambahan pemahaman dalam rangka memperkuat dan memperdalam konsep yadnya yang kita miliki.

Sesungguhnya yadnya memiliki makna yang amat luas, artinya yadnya tidak hanya berarti upacara kurban, tapi yadnya juga dipahami sebagai bentuk-bentuk karma baik yang dapat memberikan pahala semasa kita hidup di dunia dan juga nanti di akhirat. Yadnya juga diartikan sebagai bentuk pelayanan secara vertikal dan horizontal ke hadapan Tuhan dan sesama manusia dan lingkungan. Sebagian kaum suci mengatakan, suatu bentuk pelayanan yang didasari rasa bakti dan kasih sayang juga merupakan yadnya. Yadnya juga diartikan lebih spesifik lagi sebagai bentuk dari kewajiban hidup untuk melakukan swadharma sebagai manusia berbudhi untuk menciptakan kesejahteraan hidup di dunia.

Beberapa pemahaman dan pengertian secara konseptual tentang yadnya di atas, memberikan kita pola berpikir yang lebih luas memaknai tentang yadnya itu. Merenungkan konsep yadnya yang dipaparkan di atas, diharapkan masyarakat Hindu di Bali dapat melaksanakan yadnya dengan harmonis, artinya yadnya yang kita lakukan dapat memberikan kenyamanan terhadap publik dan juga kenyamanan terhadap lingkungan tempat menyelenggarakan yadnya itu. Jika yadnya yang dilakukan tidak menimbulkan emosi dan kemarahan, itu berarti yadnya itu bersifat satwika, dan yadnya yang seperti inilah yang diharapkan oleh para leluhur, dewa, dewata dan juga oleh Brahman. Pertama-tama yang dibangun dalam yadnya adalah kebahagiaan sang diri atau atman yang menghuni setiap orang, yakni setiap individu yang masuk dalam aktivitas yadnya harus merasakan vibrasi suci dan menjadi bahagia lantaran yadnya itu. Apabila yadnya tidak dapat memberikan kebahagiaan dan kepuasan itu bukan yadnya yang satwika.

Esensi yadnya adalah membahagiaakan atma dalam diri setiap orang, karena kita mempersembahkan yadnya kepada leluhur, dewa, dewata dan Brahman adalah persembahan bentuk-bentuk karma ke hadapan diri kita sendiri. Sebagai tujuannya untuk merubah karakter, moralitas, dan mentalitas diri menjadi manusia yang baik, berbudhi luhur dan dapat menempatkan diri sesuai kemampuan yang kita miliki, oleh masyarakat di Bali dikenal dengan sesana manut linggih.

Yadnya dibangun dan diwariskan oleh leluhur kita masa silam seperti yang Maharsi Markandeya, Danghyang Dwijendra dan Mpu Kuturan itu mengandung nilai religius dan pesan-pesan illahi yang begitu tinggi. Seperti ramah terhadap lingkungan yang diimplementasikan dengan mencintai lingkungan (Sarvaprani itangkarah). Statement para leluhur kita ini sejalan dengan ketegasan Vedanta yang diajarkan oleh para guru tercerahkan dari negeri Bharatawarsa (India) seperti; Madwacharya, Ramanujacharya, dan Sankaracharya yang dijelaskan dengan kalimat pendek yang dikenal dengan Sutrabasya yakni; “Sarvabhuta Namaskaram Kesawam Pratighatchati”, maksudnya mencintai, menghormati dan menyayangi semua mahkluk ciptaan-Nya adalah sama dengan memuja Sang Pencipta.

Dengan ketegasan Veda seperti ini sudahlah jelas, bahwa yadnya secara implementatif adalah mencintai lingkungan, dan penghormatan kepada sesama. Faktualisasi yadnya sebagai persembahan atau kurban diharapkan dapat membangun harmonisasi terhadap lingkungan dan masyarakat. Karena yadnya secara konseptual merupakan wujud keseimbangan antara kesadaran manusia dengan kesadaran kosmis (semesta), artinya alam semesta (Makro) dan manusia (Mikro) menjadi hidup berdampingan karena adanya kesadaran yang seimbang sebagai hukum saling ketergantungan dan ketertarikan antara purusa dan prakerti. Di sini kewajiban manusia sebagai sentral dari yadnya yang dikenal dengan yajamana harus mampu memaknai yadnya sebagai wujud keseimbangan. Maksudnya, bahwa yadnya yang dilakukan tidak pernah merugikan dan menggangu orang lain, pun tidak menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan atau alam ini.

(Penulis tinggal di Gedong Bali Gandhi Candidasa Ashram).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar