Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 16 Maret 2011

Umat Hindu Nusantara Maligya ke India

Sejumlah 25 orang umat Hindu dari berbagai daerah di Indonesia menyelenggarakan upacara Maligya ke India, untuk ngiringang para leluhur mereka ke tanah tempat turunnya wahyu suci Weda. Rombongan yang berangkat tanggal 23 Januari 2011 dan kembali lagi di Bali pada 29 Januari 2011 melakoni sejumlah ritual di tanah India dengan pembimbing spiritual sekaligus pamuput Ida Pedanda Gde Nabe Bang Buruan Manuaba bersama Pedanda istri, Ida Pedanda Istri Keniten.
Acara Maligya ke India oleh masyarakat Hindu Indonesia baru pertama kali ini dilaksanakan dan digagas oleh Ida Pedanda Bang Buruan Manuaba dari Geriya Bang Swarga Manuaba, Muding, Kerobokan, Badung. Menurut Ida Pedanda, kegiatan ini semata-mata untuk melayani umat, karena banyak di antara peminat tirta yatra ke India belum merasa puas, jika tidak disertai upacara model Hindu di Bali. Karena itulah, kegiatan bernuansa keagamaan ini ditawarkan kepada masyarakat yang ternyata mendapat sambutan antusias.

Bertindak sebagai Tri Manggalaning Yadnya adalah, Ida Pedanda Gede Nabe Bang Buruan Manuaba selaku pamuput, Ida Pedanda Istri Keniten selaku wiku tapini dan Jro Mangku Wayan Suniarti sebagai Yajamana.

“Memang selama ini umat Hindu kita di Bali sudah diberikan karunia oleh Ida Hyang Widhi, sehingga memiliki kemampuan untuk ber-tirta yatra sampai ke India, tetapi dari pengalaman mereka ternyata ada juga yang kurang merasakan kepuasan bathin dari tirta yatra itu, karena menurut mereka tirta yatra-nya mirip pelesiran saja. Nah, karena itulah kita kemudian gagas tirta yatra dengan tujuan utama Maligya sebagai rentetan prosesi Pitra Yadnya,” jelas Ida Pedanda Kepada Raditya awal Februari 2011 lalu di Geriya Muding. Pedanda menambahkan, kegiatan ini pun telah mendapat rekomendasi dari PHDI Bali dan dilaporkan ke Atase Kebudayaan di Kedutaan Besar RI di New Delhi.

Para peserta Maligya berasal dari Lampung, Lombok, Jembrana, Tabanan, Denpasar, Badung, Singaraja, Klungkung dan Karangasem. Untuk mengikuti tirta yatra plus Maligya ini, peserta harus merogoh sakunya sejumlah Rp 16 juta lebih. Maklum, biaya sebesar itu sudah termasuk akomodasi perjalanan, hotel, upakara, fee untuk tempat-tempat suci yang dikunjungi dan kebutuhan lainnya yang dikelola travel. Ikut diangkut sejumlah banten, sanggar tawang rong tiga, surya lingga, Siwa lingga, lingga sapta rsi dan Padma lingga.

Sebelum berangkat, masing-masing peserta nunas Bhatara Lingga di Geriya untuk dibawa ke rumah masing-masing untuk nunas sinar Ida Bhatara Hyang Guru. Setelah itu Bhatara Lingga kairing ke Geriya dan umat mengikuti prosesi selanjutnya berupa ngangget don bingin. Setelah semua prosesi selesai, Bhatara Lingga katangkilang ke Pura Luhur Uluwatu.

Tanggal 23 Januari 2011 rombongan akhirnya berangkat ke India melalui Bangkok. Aktifitas ritual dimulai tanggal 24 Januari 2011 dengan upacara ngulapin di Kurukshetra untuk ngelinggayang Panca Pandawa yang dilakukan di Bhisma Kund, tempat Rsi Bhisma roboh setelah dihujam ratusan anak panah Arjuna. Menurut Ida Pedanda, perlunya Meligya-kan Panca Pandawa, karena maknanya sama dengan memuliakan para Sapta Rsi sebagai leluhur umat Hindu. Selain itu, Panca Pandawa adalah orang-orang suci yang lahir ke dunia untuk mision tertentu bersama Sri Krishna.

Masih pada tanggal 24 Januari 2011 semua puspa lingga dari para peserta Maligya ketangkilang ke tempat turunnya wahyu suci Weda, tempat tersebut bernama Jyotisar.Di tempat ini Ida Pedanda memimpin ritual untuk mohon restu, semoha upacara Maligya yang diselenggarakan oleh umat Hindu Nusantara di India benar-benar mendapat hikmah dan sinar spiritual dari Tuhan.

Menginjak pada tahapan acara selanjutnya, yaitu pada 25 Januari 2011, semua peserta menuju Swarga Ashram di Haridwar yang terletak di hulu sungai Gangga. Di tempat inilah upacara Maligya dilaksanakan dengan mendirikan Sanggar Tawang Rong Tiga, kemudian Surya Lingga, Siwa Lingga dan lingga serta Sapta Rsi, juga Padma Lingga tempat puspa lingga. Jadi, secara vertikal dalam Padma Lingga ditempatkan lingga di tempat teratas, kemudian di bawahnya adalah Ratu Niang Ngurah Sakti mediksa Widhi, sementara yang paling bawah adalah puspa lingga dari peserta.

Prosesi upacara diawali dengan mecaru untuk nyarunin Swarga Ashram sebagai tempat upacara, tentunya dengan caru Shanti Ahimsa yang non daging. Dilanjutkan melasti ke sungai Gangga yang berada di dapan Ashram. Terjadi keajaiban saat itu, karena pada hari-hari biasa tidak ada sapi lewat di sana, tetapi pada saat melasti tempat itu didatangi sapi, hewan yang disucikan umat Hindu.

Setelah acara melasti selesai, peserta kemudian kembali ke Ashram.Saat itu Homatraya dipersiapkan diiringi pecaruan manca kelud, yang sebelumnya didahului dengan mepesaksi, meprayascita-durmanggala, pengulapan lis lengkap dengen eteh-eteh padudusan ngundang dewata-dewati, ngaturin atau ngaskara-tarpana dewa pitara. Selanjutnya diadakan diksha Widhi untuk Ratu Niang Sakti katapak oleh Bhatara Lingga Ida Bhatara Sakti Dwijendra dengan perantara atau media Ida Pedanda Gede Nabe Bang Buruan Manuaba.

Dikagumi Warga Lokal

Saat inilah banyak warga India menonton kegiatan ritual Bali yang baru pertama kalinya mereka saksikan. Beberapa orang berebut kwangen yang bekas dipakai sembahyang, dan Maharaj setempat menyampaikan kekagumannya terhadap ritual Bali ini. Lebih-lebih semua peserta berpakaian adat Bali, yang di mata mereka begitu asing, tapi mempesona.

Berbagai persiapan untuk Maligya puspa lingga telah disiapkan seperti, bubur madu pakem dan semua pratisenitana yang ngiring puspa lingga Dewa Pitra-nya mengikuti mandi Weda di sungai Gangga, katapak Bhatara Lingga berlanjut mengikuti prosesi mewinten dengan digosokkan batu mirah satu per satu ke setiap peserta, yang mana mirah itu kemudian dibawa pulang oleh setiap peserta. Perlengkapan mewinten dan mandi Weda menggunakan wanci tembaga (sejenis kaleng tempat air suci) bertuliskan lambang dewata nawa sanga dengan tangkai wanci diikat benang tri dhatu. Saat upacara mandi Weda dan pawintenan selesai, semua peserta mengenakan pakaian adat Bali putih-putih untuk kemudian mengikuti acara pemasmian puspa lingga yang abunya dihanyutkan di sungai Gangga, di daerah Horti Pura yang didahului dengan pakelem nyalian emas, udang perak, kepiting tembaga, lele besi, mirah panca desa. Waktu menghanyutkan abu puspa lingga inilah terjadi keajaiban, dimana salah seorang peserta cincin emasnya ikut “kaambil” oleh sungai Gangga dan hanyut terbawa arus Gangga. Padahal cincin itu menurut pengakuan pemiliknya sangat susah dilepaskan, bahkan dengan memakai sabun pun biasanya kadang bisa lepas kadang tidak. Tapi saat upacara itu cincin itu lenyap begitu saja.

Pada tanggal 26 Januari 2011 diadakan upacara nyegara-gunung di tempat pemandian para brahmana dengan bebangkit duang soroh. Sehabis nyegara-gunung semua peserta bertirta yatra ke Mamsa Devi yang terletak di sebuah bukit, di mana untuk mencapai lokasi itu peserta naik kereta gantung.

Untuk acara meajar-ajar, peserta ber-tirta yatra ke Mathura, tempat lahirnya Krishna, kemudian ke Vrindawan, Yamuna, Rsikesh, yang semua itu dilakukan pada 28 Januari 2011. Tanggal 29 Januari 2011 rombongan ini sudah kembali ke Bali dan mereka masih harus mengikuti upacara di Geriya Bang Swarga berupa upacara tarpana dan ngiring daksina linggih dan kwangen yang dibawa dari India diupacarakan dengan pulegembal. Peserta kemudian kembali ke rumahnya dengan membawa pejati, daksina linggih dan kwangen untuk disthanakan di Merajan masing-masing.

Banyak kenang-kenangan yang dialami Ida Pedanda yang pertamakali tirtyatra ke India untuk memimpin umat melakukan upacara Maligya. Misalnya, ternyata makanan India yang menggunakan serbuk rempah sangat sulit diterima orang-orang Bali. Selain menimbulkan iritasi tenggorokan, makanan itu juga menyebabkan diare bagi yang tidak kuat lambungnya. Syukurnya Ida Pedanda dan rombongan sudah berbekal sekaleng saur (kelapa parut digoreng/serundeng, dicampur kacang goreng). Di masa depan, jika ada perjalanan suci ke India untuk waktu lama, Ida Pedanda menyarankan untuk menyiapkan perbekalan bahan makanan sederhana dari rumah yang bisa tahan lama. Akan semakin bagus kalau bisa masak sendiri, sehingga ketidakcocokan makanan tidak akan menggangu aktifitas tirta yatra.

(Putrawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar