Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 16 Maret 2011

MELASTI, KISAH TIGA NAGA DAN KOMODIFIKASI LAUT

Ida Ayu Tary Puspa

Melasti adalah prosesi ritual yang dilaksanakan oleh umat Hindu yang melekat pada pelaksanaan Hari Raya Nyepi. Akan tetapi, melasti bukan hanya dilaksanakan pada waktu merayakan Nyepi. Sering pula umat Hindu merayakan yadnya tertentu dengan melasti terlebih dahulu. Baik merayakan Nyepi, mlaspas, ngodalin, melasti maupun ngebejiang yang dituju adalah air. Air demikian memiliki peran dalam kehidupan manusia terlebih di dalam Hindu dalam kontek religi. Segala aktivitas ritual mulai dari lahir sampai meninggal memerlukan air, yaitu tirta.
Di dalam Panca Maha Butha terdapat unsur air, baik yang ada di dalam diri kita sebagai manusia maupun yang ada di alam ini. Itulah sebabnya ketika upacara ngaben, setelah jenazah menjadi abu, maka dilanjutkan dengan menghanyutkan sekah karena untuk mengembalikan unsur pembentuk raga manusia kepada alam semesta ini. Demikian besar peran air dalam ritual Hindu.

Tentang siklus air sehingga dapat digunakan manusia dalam segala aspek kehidupan tidak terlepas dari peran Tuhan (dalam manifestasi sebagai Tri Murti) seperti yang termuat dalam Lontar Siwagama. Kerika sudah cukup lama alam ini mengalami keseimbangan, maka suatu saat alam ini pun mengalami kemerosotan ditandai dengan tidak adanya lagi tumbuh-tumbuhan yang dapat dikonsumsi oleh manusia maupun binatang. Dewa Siwa kasihan melihat manusia dan alam di bumi mengalami musibah, maka diutuslah Dewa Tri Murti untuk menyelamatkan Bumi. Turun Dewa Brahma menjelma menjadi Naga Ananta Boga lalu masuk ke dalam tanah. Dewa Wisnu turun menjelma menjadi Naga Basuki. Kepala Naga Basuki itu menjadi laut, ekornya menjadi gunung. Dewa Iswara turun menjelma menjadi Naga Tatsaka, yaitu naga yang bersayap terus terbang memasuki udara atau lapisan angkasa. Dengan turunnya Dewa Brahma menjadi Naga Ananta Boga, maka tanah pun menjadi gembur dan subur. Kepala Naga Basuki masuk ke laut menggerakkan air laut sampai menguap menjadi mendung kemudian menurunkan hujan. Hujan pun ditampung oleh gunung sebagai perwujudan ekor Naga Basuki sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Gunung sebagai tempat menyimpan air hujan kemudian baru akan dialirkan ke danau, mata air, dan sungai. Setelah aliran itu sampai di masing-masing tempat tadi, barulah manusia dan makhluk hidup lainnya dapat memanfaatkan air itu untuk kehidupan. Naga Tatsaka mengibas-ibaskan sayapnya menimbulkan desauan angin yang dapat menyejukkan makhluk hidup di bumi ini. Peran ketiga naga ini yang tak lain adalah penjelmaan Dewa Tri Murti sungguh besar

Ada pula sumber lain yang memberikan kita suatu tuntunan tentang bagaimana menghormati air sebelum kita akan memberdayakannnya, yaitu dalam kitab Mahabarata kisah tentang Bima Ruci. Bima diperintahkan Sang Guru Drona untuk mencari Tirta Amrta di tengah samudra. Dalam perjalanan mencari tirta amrta itu, Bima banyak menemukan rintangan seperti perlawanan yang dilakukan oleh Raksasa Rukmuka dan Rukmakala. Dalam pengembaraannya yang tiada gentar di samudra luas, Bima dililit oleh Naga raksasa, sehingga samudra pun menjadi lautan darah. Oleh karena ketekunan, keberanian, dan bhakti pada gurunya, akhirnya Bima menemukan tirta amrta itu.

Sejalan dengan kisah di atas, maka salah satu Parwa dari Asta Dasa Parwa yang ada pun mengisahkan tentang pemutaran Mandara Giri, tepatnya yang termuat pada Adi Parwa. Umat Hindu di Bali memaknai kisah-kisah itu menjadi suatu tuntunan dalam berkehidupan religius menjadi sebuah ritual yang disebut dengan Melasti. Seperti yang termuat di dalam Lontar Sundarigama dan Lontar Swamandala disebutkan bahwa:
“.............melasti ngarania ngiring prewatek dewata anganyutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana, amet sarining amertha ring telenging segara”

Terjemahannya:
...............melasti namanya membawa seluruh pratima dewata untuk menghanyutkan kekotoran, penderitaan, dan unsur-unsur dunia yang tidak baik serta mengambil tirta amrta di tengah laut.

Dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu yang dikeluarkan oleh PHDI Pusat dinyatakan bahwa “melasti nganyudang malaning gumi ngamet tirta amrtha.

Sejatinya melasti bukanlah merupakan ritual yang berdiri sendiri, melainkan merupakan rangkaian dari ritual tertentu sebagai simbolis pembersihan lahir batin, menghilangkan segala kekotoran dan penderitaan di dunia ini sehingga manusia mendapatkan kesucian hati dan pikiran yang akan menumbuhkan sinergi harmonisasi kehidupan manusia dengan Sang Pencipta, manusia, dan alam (Tri Hita Karana).

Mungkin saja kita berpikir kenapa ke laut kita melasti untuk ngamet tirta amrtha? Bukankah laut merupakan tempat melebur segalanya? Secara ilmiah di lautlah terjadinya siklus hidup dan pembersihan alamiah. Di laut bila ada ikan, baik besar maupun kecil akan membuang kotoran organik dan kotoran tersebut diubah oleh bakteri menjadi produk organik. Produk ini merupakan bahan makanan dan memungkinkan hidup serta tumbuhnya ganggang laut dan plankton yang menjadi sumber makanan ikan kecil. Ikan kecil sendri merupakan makanan ikan besar. Bila ada ikan besar dan kecil yang mati, bangkainya diubah menjadi bahan anorganik untuk menjadi makanan ganggang dan plankton. Demikianlah siklus klehidupan di laut yang berjalan alami dan sempurna di tengah laut, sehingga kesucian dan kejernihan air laut tetap terpelihara.

Bercermin pada uraian melasti dan kisah tiga naga perwujudan Dewa Tri Murti semoga umat Hindu dapat memahaminya, sehingga menjalankan ritual kaya akan makna bukan tanpa makna apa-apa karena kita dituntun untuk selalu tidak merusak dan mengotori samudra. Kalau kita merusak dan mengotori samudra berarti kita akan mengotori mulut Naga Basuki yang tidak lain adalah penjelmaan Dewa Wisnu. Menebang pohon sembarang di gunung akan pula menyakiti ekor Naga Basuki yang merupakan Dewa Wisnu sendiri. Udara pun demikian hendaknya tetap terpelihara tanpa polusi agar kita menghormati Naga Tatsaka yang tidak lain adalah Dewa Iswara sendiri. Tanah pertiwi pun demikian pula hendaknya tidak tercemar dan tetap terpelihara sebagai rasa hormat kita kepada Naga Ananta Boga yang merupakan penjelmaan Dewa Brahma.

Sejatinya tuntunan di dalam lontar Swamandala itu memberikan kita inspirasi untuk menjaga tiga hal di muka bumi ini. Akan tetapi kenyataannya ternyata manusia pun merusak ketiga bagian alam ini. Karena telah terjadi eksploitasi alanm secara berlebihan melalui kapitalisme, insdustrialisasi, komodifikasi, dan ideologi pasar yang membawa alam kita sebagai produk/komoditas. Pemberdayaan laut bagus sepanjang tidak keluar dari aturan dan akhlak etika ekologi. Melalui melasti, kita ngamet amerta, kita jadikan amerta yang kita ambil di laut berupa aura,vibrasi, termasuk air laut sendiri dapat menjadi sumbangan inspirasi religius spiritual dalam kita berkehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar