Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 16 Maret 2011

Melasti Semestinya Memperkuat Karakter, Bukan Hanya Seremonial

I Wayan Miasa

Masyarakat Hindu memang memiliki banyak jenis upacara penyucian secara skala-niskala. Mulai dari upacara mebayuh, mebiakaon, melis atau yang di India ada namanya kumbhamela. Upacara penyucian atau pembersihan ini dilakukan dalam kaitannya dengan ritual –ritual tertentu.
Pada jaman dulu ritual melasti atau disebut jugas melis, mekiyis, dilaksanakan selain ke pantai juga pergi ke sumber mata air (klebutan), sungai dan danau. Karena itu para tetua mensterilkan kawasan tersebut supaya bebas dari sesuatu yang bisa dianggap berpotensi mencemarkan secara skala dan niskala. Lokasi itu betul-betul dijaga kesuciannya.

Seorang peneliti Jepang, Masaru Emoto pernah meneliti manfaat doa yang dilantunkan dekat air atau kepada air. Dari hasil penelitiannya itu ia mendapat temuan, bahwa doa-doa yang dilantunkan kepada air akan mempengaruhi komposisi air tersebut sesuai bunyi doa-doa yang dilantunkan di dekatnya.

Sehubungan dengan melasti di jaman kini, di mana masyarakat kita telah banyak berubah dalam segala aspek kehidupannya, baik secara material maupun rohani. Hal ini karena pengaruh peradaban, kemajuan jaman dan berbagai alasan praktis ditambah semakin pesatnya pengaruh konsumerisme yang menciptakan masyarakat konsumtif.

Hal ini membuat ekosistem mengalami perubahan fungsi ke arah yang semakin beragam. Misalnya di pantai Kuta, Sanur, Kusamba, dan sebagainya, di mana tempat-tempat dimaksud kini juga sudah ramai dengan kepentingan pariwisata. Ini membawa implikasi, bahwa melasti yang diselenggarakan tidak hanya semata-mata menjadi aktifitas spiritual, tetapi akan menjadi tontonan bagi para turis. Oleh karena itu perlu rasanya kita mengemas acara melasti ini secara bijaksana agar membawa manfaat secara skala dan niskala, supaya semua kepentingan bisa berjalan tanpa saling mengganggu.

Ada contoh nyata dalam upacara melasti di suatu pantai, di mana melasti ini diikuti oleh banyak umat hingga iring-iringan mobil peserta melasti mencapai dua kilometer panjangnya. Namun ketika tiba di pantai yang berpartisipasi dalam bersembahyang jumlahnya sedikit saja, seperti pemangku, pemunut pretima, dan tapakan, sementara peserta lain menggunakan kesempatan itu untuk pelesiran, belanja dan macam-macam urusan di luar kegiatan melasti.

Kemudian ada sedikit ketimpangan saat kegiatan melasti ini, di mana ada kasus-kasus umat yang ikut ngiring melasti saat berbelanja makanan dan keperluan lainnya kemudian tidak mendisiplinkan diri untuk belajar membuang sampah di tempat yang telah tersedia. Jika sampah bekas kemasan makanan dan minuman berupa kaleng, plastik terbawa air laut kemudian menyangkut di terumbu karang, bukankah itu akan merusak habitat terumbu karang dan juga merusak habitan sumber hayati laut secara luas. Di sinilah terjadinya ketimpangan, yaitu tiadanya kesadaran untuk memelihara kelestarian lautan sebagai sumber amrta, tetapi amanat “....... anganyutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana, .......” malah diwujudnyatakan dalam perilaku nyata dengan menjejali laut dengan sampah saat melasti (membuang kekotoran ke laut).

Perlu dipahami, bahwa melasti atau melis itu bukan sekadar acara penyucian, tetapi lebih dari itu, orang jaman dulu melakukan melasti atau melis ke laut karena laut adalah sumber kekayaan untuk mendukung aktifitas keagamaan mereka. Dewa Kuvera, Dewa Baruna adalah sang penguasa samudra dan kekayaan, maka umat memohon kepada beliau dengan cara melasti. Dengan demikian, melasti sekalian memberikan kesempatan kepada umat untuk memanjatkan doa-doa ke hadapannya.

Mungkin situasi masa lampau sedikit berbeda dengan sekarang, karena kepentingan bisnis di lautan masih terbatas, sehingga laut dan pantai relatif masih lestari, asri dan bersih. Ekosistem yang demikian memungkinkan biota laut bisa hidup sehat, para nelayan pun bisa mendapatkan tangkapan ikan atau hasil laut cukup melimpah. Hal ini boleh diibaratkan, para nelayan mendapatkan tirta kamandalu atau sanjiwani, seperti apa yang digambarkan dalam cerita Dewa Ruci.

Laut merupakan aspek yang penting bagi kehidupan kita, tidak saja sebagai tempat melasti, tetapi lebish luas dari itu. Oleh karena pentingnya keberadaan lautan tersebut, maka masyarakat perlu menjaganya supaya dapat memanfaatkan laut dengan baik. Bukti-bukti pentingnya fungsi lautan bisa dibaca dalam cerita Pemuteran Mandara Giri, perjalanan nyegara-gunung, Perjalanan Bima Mencari Tirtha Amrtha dan lain-lain. Bila laut telah tercemar, bisa dibayangkan efek samping yang akan ditimbulkan pada alam sekitarnya. Bagaimana kita bisa membicarakan kesucian, kalau lingkungan tempat kita melasti dipenuhi sampah, air lautnya tercemar limbah dan sejenisnya. Jika kondisinya demikian, layakkah sebagai sumber penyucian? Meskipun Bhagawadgita II.23-25 menjelaskan keberadaan sifat-sifat Tuhan, dewa, betara yang menyatakan keberadaan beliau tak terkontaminasi oleh keadaan sekitar, tetapi pasti berpengaruh pada perasaan pikiran kita sebagai pelaksana keagamaan itu.

Karena itu perlu umat Hindu menjaga kebersihan dan kesucian air danau, sungai, samudra dan sumber mata air lain, sehingga dapat menjadi sumber kehidupan yang berfungsi baik. Hal ini bisa bertolak belakang bila laut dan pantai serta tempat lainnya hanya dieksplorasi demi kepentingan material. Akibatnya akan terjadi ketidakseimbangan dalam kehidupan kita. Terlebih lagi di daerah-daerah kawasan wisata, di mana patani-pantai yang dulu bersih, terlindungi, kini setelah “dicaplok” kepentingan bisnis pariwisata, maka suatu saat kita akan mengalami kesulitan mencari tempat yang ideal untuk melasti. Belum lagi urusan teknis, seperti masalah parkir yang terbatas. Masih mungkinkah kita menikmati kegiatan spiritual kita di tengah kepungan sampah menumpuk, bau tak sedap menyengat dan wisatawan hanya berbikini lalu lalang di depan kita menggelar sesajen saat melasti?

Saat Pemerintah Provinsi Bali mengumandangkan kampanye “Clean and Green” maka sebagai warga Hindu terhormat, sebagai tuan rumah di buminya sendiri, maka sudah sewajarnya para tokoh umat, tokoh desa pakraman memberi pencerahan kepada krama desa supaya membiasakan hidup tertib, hidup bersih, paling tidak saat melasti. Jangan jadikan melasti sebagai ajang menyumbang sampah ke pantai dan laut, tapi jadikanlah ajang sebagai penyadaran, bahwa amrtha yang dimaksud adalah sumber hayati yang dipelihara kelestariannya dan diberdayakan seutuhnya untuk kesejahteraan manusia secara bijaksana.

Bila acara melasti ini sukses secara skala-niskala, maka melasti itu adalah bagaikan perjalanan mencari amrtha. Acara penyucian berhasil dan alam pun bebas dari pencemaran. Ingatlah, melasti itu bukan hanya menyucikan pretima, tetapi juga untuk menyucikan kebiasaan kita berperilaku. Melasti bukan hanya mengambil tirtha amrtha secara spiritual dalam artian abstrak, tetapi juga makna mengambil manfaat ekonomis dari laut sesuai porsi yang dimungkinkan alam dapat menanggungnya. Jika sudah demikian, maka ritual melasti ini tidak lagi hanya menjadi seremonial tahunan yang gempita di sisi aksesoris luarnya, tetapi juga semakin memperkaya umat Hindu di dalam memperbaiki susila (perilaku)-nya dan memperbaiki taraf hidup ekonominya.

Kalau ritualnya saja yang sukses, tetapi tidak membawa perubahan mentalitas atau kebiasaan hidup kita, maka melasti tentu belum bisa diklaim penyucian itu berhasil. Bukankah ada slogan bijak: pikiran dibersihakn oleh perbuatan baik? Karena itu, di masa-masa selanjutnya, perlu gerakan untuk mendidik generasi muda Hindu, supaya dapat memanfaatkan kegiatan ritual untuk memperkuat karakter dan budi pekerti mereka. Bila hal ini terwujud, maka citra masyarakat yang berkarakter luhur itulah disebut kamandhalu atau sanjiwani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar