Gede Agus Budi Adnyana
Laku masyarakat kita sekarang sudah berubah, orientasi juga jauh berubah, pola pikir yang tadinya penuh idealisme kini diwarnai pragmatisme dan materialistik yang terlalu berlebihan. Bahkan dalam perhelatan yajna sekaliber apa pun, sisi Rajasika senantiasa menjadi hiasan dunia. Bukan maksud hati untuk mencela suatu sikap yang memandang ritual adalah sesuatu yang harus dinomorsatukan secara mutlak tanpa ada sebuah kebijakan dan toleransi.
Demikian juga, intoleran juga akan berakibat kurang baik bagi pendidikan mental manusia kala yajna tengah berlangsung dengan gegap gempita. Wilayah Gianyar adalah tempat di mana saya melakukan banyak pengamatan tentang yang satu ini. Suatu ketika, ada sebuah Puja wali yang sangat besar. Ida Bhatara katuran Nyejer selama tiga hari, dan dalam tempo yang demikian, maka jalan raya di samping pura tersebut harus ditutup sementara waktu dengan alasan perhelatan yajna
Setelah berbincang dengan Bimas Kota, dari Kepolisian Sektor Kota Gianyar, saya mendapatkan sebuah penjelasan,bahwa ketika ada sebuah perhelatan yang mengundang banyak orang untuk hadir, keramaian, dan juga kegiatan atau acara yang bersifat public, dengan mengambil fasilitas umum, seperti jalan raya dan balai budaya atau sebagainya, maka harus ada ijin keramaian dari kepolisian.
Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya kejadian yang tidak diinginkan. Sebab analoginya, jika ramai akan ada banyak orang dan jika ada banyak orang, maka semakin banyak masalah yang akan timbul. Untuk itu ijin tersebut dilakukan. Nah sekarang permasalahannya adalah ketika jalan itu ditutup, untuk berlangsungnya yajna, paling hanya saat ngeluar di jaba sisi. Kemudian saat ngaturang pepranian, dan yang paling utama saat mendak toya ning.
Jika kita kalkulasikan dengan waktu, alokasi waktu yang diambil untuk rentetan upacara tersebut tidak lebih dari tiga jam sampai empat jam. Jika Ida Bhatara nyejer selama tiga hari, maka akan ada empat jam dikali tiga hari. Atau tiga jam dikali tiga hari. Itu adalah waktu yang efektif dan efesien mengingat jalan raya merupakan fasilitas publik yang penggunanya bukan manusia Hindu saja, serta ada banyak manusia dengan kepentingan berbeda dan profesi berbeda yang lewat di jalan itu.
Syukur-sykur mereka yang heterogen mau mengerti, namun tidak jarang ada banyak umpatan yang terlontar. Apalagi jika jalan raya harus ditutup ketika jam-jam sibuk dan jam kantor. Mereka jadi terhambat bahkan terlambat, hingga umpatan semakin banyak terdengar, meskipun dalam hati. Tetapi sudah cukup bagi saya untuk merasakan bagaimana jika sebuah yajna yang besar harus dihiasi dengan umpatan-umpatan seperti itu.
Solusinya adalah jalan tersebut hanya ditutup setengah saja, atau jika tidak memunginkan karena satu dan lain hal, cukup ambil ketika dudonan puja wali saja, kemudian selebihnya dibuka kembali karena itu milik publik. Namun permasalahan kembali muncul, manakala setiap odalan di Bali, sebuah tajen tidak pernah absen, inilah yang menutup jalan dan menghabiskan waktu berjam-jam sampai petang, bahkan sampai bebotohnya pulang semua.
Ternyata setelah dicek kembali dan dianalisa, durasi waktu untuk menutup jalan dalam rangka perhelatan ini jauh melebihi kapasitas yang diberikan. Bahkan sampai berhari-hari jalan ditutup lantaran banyak mobil dan sepeda motor milik bebotoh yang parkir di pinggir jalan raya berjubel, kiri dan kanan. Ah, semakin krodit dan ruwet saja. Kemudian umpatan dari orang semakin terus terdengar.
Saya sangat sedih melihat hal itu. Pertanyaan saya adalah, mengapa ketika ada tajen, banyak orang dengan bangga duduk di sisi jalan raya, kuak-kuek, kaak-kuuk tidak karuan-karuan. Tapi ketika Ida Bhatara sedang melakukan prosesi ngeluar, ke manakah semangat itu, semangat duduk nangkilin Ida Bhatara duduk di pinggir jalan menyaksikan tapakan Ida Bhatara katuran ngeluar?
Intinya, kita tidak lagi dikuasai oleh idealisme secara murni, hanya kepentingan pragmatis yang membawa pada sebuah keuntungan, nafsu dan juga tampilan luar saja yang ada dalam diri kita yang paling banyak. Alangkah eloknya, Yajna yang dilakukan jika kita melakukan penutupan jalan dengan durasi waktu yang proporsional kemudian setelah perhelatan selesai, maka jalan sebaiknya dibuka kembali untuk kepentingan umum.
Bahkan tidak jarang ada papan tulisan dengan peringatan “Hati-hati ada Upacara Agama” kemudian di sisi yang lain lagi tertera simbol untuk dilarang masuk. Padahal di sana sama sekali tidak ada kegiatan apa pun, atau eedan karya apa pun juga. Apakah panitianya lupa memindahkan, atau sengaja dibiarkan di sana untuk gagah-gagahan?
Yang jelas, dahulu dan sekarang pola pikirnya beda. Apalagi masyarakat umum yang sama sekali tidak memiliki rasa bhakti, Hindu KTP, atau Hindu tapi sama sekali meboya dengan tapakan Ida Bhatara (Tidak jarang sekarang yang demikian). Mereka akan sangat-sangat dan sangat tidak nyaman dengan situasi demikian, jalan ditutup dan umpatan pasti keluar dari mulut mereka. Jangankan mereka, bahkan manusia Hindu yang terpelajar-pun kadang kala dan sekali waktu pernah juga merasa tidak nyaman dengan situasi demikian, apalagi jika ada urusan mendadak.
Jaman kerajaan dahulu, penduduk Bali masih homogen, tidak se-pluralistik sekarang. Dapat dikatakan agama mereka Hindu secara murni dan keseluruhan memiliki bhakti luar biasa kepada sasuhunan-nya sendiri. Apalagi jika perhelatan yajna tersebut dilakukan atas perintah sang maharaja atau Dalem, maka tidak satu pun penduduk yang berani menentang. Entah jalan mau ditutup sampai sebulan lamanya, juga tidak ada masalah. Sebab tidak ada sepeda motor, tidak ada mobil yang lewat, dan tidak ada apel pagi hari, absen pagi, atau piket pagi. Tapi sekarang berbeda. Ada banyak kepentingan, ada banyak urusan, dan jalan bukan lagi didominasi oleh satu golongan atau individu seperti jaman kerajaan dahulu. Yang baik adalah yajna tetap dijalankan dengan memperhatikan juga kepentingan dan kenyamanan publik.
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar