I Ketut Open
Pada waktu jalan by pass Ngurah Rai baru dibuka sekian tahun yang lalu, jalan itu terasa begitu lebar dan wah. Pengendara motor atau mobil bisa dengan leluasa memacu kendaraannya di atas 100 km per jam. Jarak dari Bandara Ngurah Rai ke Sanur bisa ditempuh dalam waktu 15 menit. Tidak ada yang namanya macet. Sekarang jarak yang sama bisa-bisa harus ditempuh 1 jam karena adanya hadangan macet yang dimulai dari sebelah timur patung Dewa Ruci di persimpangan yang saking semrawutnya disebut “simpang siur” sampai sebelah selatan patung. Hal ini juga disebabkan oleh betapa hebatnya perkembangan jumlah kendaraan di Denpasar. Di negara-negara maju orang malas berkendaraan pribadi karena transportasi umumnya begitu terjamin ketepatan waktunya, nyaman dan aman. Yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya termasuk Denpasar. Sistem transportasi umum di negara kita tercinta ini justru sangat amburadul, tidak tepat waktu, tidak nyaman dan tidak aman, sehingga orang lebih memilih untuk membeli kendaraan pribadi walaupun dengan mencicil.
Untuk mengatasi masalah tersebut mulai muncul wacana-wacana, solusi apa yang mesti diambil. Ada yang mengusulkan membangun jalan layang atau flyover, ada yang mengusulkan underpass. Ide-ide ini pun mulai memunculkan masalah baru, ada yang setuju dan ada yang tidak. Perbedaan pendapat memang sesuatu yang wajar-wajar saja, tetapi hendaknya sesuatu yang sudah ruwet ini jangan dibuat tambah ruwet, karena yang rugi tetap masyarakat.
Yang kontra dengan kemajuan menyatakan bahwa jalan layang tidak cocok dengan budaya dan kepercayaan masyarakat Bali yang namanya “leteh”. Orang luar Bali sudah pasti tidak ngerti leteh itu apa sih? Leteh bermakna kotor, tapi yang kotor apanya?. Susah juga menjawabnya, karena leteh bukan sesuatu yang nyata namun sesuatu yang abstrak dan juga susah mengukurnya karena keabstrakannya. Saya kira leteh itu sesuatu yang berasal dari pikiran, tergantung bagaimana cara pandang kita terhadap sesuatu. Kalau kita pikir sesuatu itu ngeletehin, muncullah perasaan leteh itu dalam diri kita. Kalau kita tidak berpikir tentang itu perasaan kita akan nyaman-nyaman saja.
Cobalah anda jalan-jalan ke pasar tradisional Bali. Bangunan pasar tradisional di kota besar seperti Denpasar sudah berubah. Bangunan pasar tradisional dibangun dalam bentuk bertingkat, Cobalah masuk ke dalamnya dan keliling-keliling. Yang perlu anda lihat bukanlah barang yang dijual maupun yang jualan. Cobalah anda melihat ke pojok atas timur laut setiap blok. Anda akan melihat banyak pelangkiran dengan canang sari dan dupa yang mengepulkan asap, mulai dari lantai dasar sampai lantai atas. Apakah konsep leteh tidak berlaku di pasar? Mungkin para pedagang di pasar tidak berpikir tentang keletehan, sehingga merasa nyaman-nyaman saja, atau barangkali para pedagang sudah memahami tattwa. Biasanya kalau dilihat dari konsep ekonomi sewa dilantai paling bawah malah paling mahal. Tapi kalau dilihat dari konsep leteh justru sebaliknya. Lantai paling bawah adalah paling leteh karena ada begitu banyak lantai di atasnya dengan banyak orang atau barang yang membuat leteh yang di bawahnya.
Bali disebut dengan banyak julukan, salah satunya “The island of thousand temples” karena di Bali ada ribuan pura. Bagi orang Bali Hindu, pura adalah tempat suci dan sakral. Tidak sembarang orang boleh masuk ke pura, terutama bagi wanita yang datang bulan dilarang memasuki areal pura karena dianggap bisa ngeletehin pura. Ada ribuan wanita wisatawan yang masuk ke pura setiap hari dan tidak mustahil di antara mereka ada yang sedang kedatangan tamu bulanan. Siapa yang tahu mereka punya tamu. Setiap hari ada ratusan pesawat terbang yang melintas di atas pulau Bali dengan ribuan orang di dalamnya, bahkan kadang-kadang juga ada mayat di dalamnya. Leteh-kah Bali? Tidak! Bali tidak leteh. Buktinya tidak pernah ada orang ribut-ribut tentang pesawat terbang yang melintas di atas Bali.
Atau karena orang Bali tidak berdaya melarang pesawat terbang melintas di atas Bali, atau karena adanya kemajuan berpikir orang Bali, atau barangkali mindset orang Bali sudah berubah sehingga mereka berpikir Ida Betara maupun para dewa tidak kena keletehan. Atau lebih luas lagi mereka mulai berpikir sesuai ajaran Hindu, bahwa Tuhan ada di mana-mana memenuhi alam semesta ini (sarvam kalvidam Brahman) dan beliau maha suci, sehingga seluruh alam semesta ini suci adanya. Apakah ini merupakan salah satu keunikan cara berpikir orang Bali Hindu?
Saya kira kuncinya ada pada mindset atau pola pikir kita. Karena ini masalah sekala maka penyelesainnya juga secara sekala. Saya tidak melihat ada cara niskala yang bisa dipakai di sini. Kalau tidak ada perubahan sudah pasti kemacetan akan bertambah panjang setiap hari dan ini bisa menimbulkan masalah baru, seperti emosi menjadi meningkat hingga muncul perasaan marah dan umpatan-umpatan. Cuma bagaimana masing-masing orang mengungkapkan atau mengekspresikan perasaan tersebut, apakah diungkapkan keluar atau dipendam.
Bagaimana kalau dalam situasi kemacetan seperti ini kebetulan ada rombongan orang ngiring Betara. Emosi-emosi seperti di atas juga akan muncul pada para pengiring Betara. Apa ini tidak ngeletehin? Atau mungkin suatu saat nanti ada pemikiran Ida Betara diterbangkan dengan helikopter dan pengiringnya lewat jalan darat. Siapa tahu mungkin suatu saat ada Betara yang mau melancaran ke luar Bali, contohnya ke Nusa Penida atau ke Jawa bahkan ke India sekalipun sehingga Ida Betara harus dinaikkan ke pesawat udara. Ah ada-ada saja. Kalau Ida Betara naik perahu atau boat bahkan kapal laut saya kira sudah biasa. Budaya akan mengalami perubahan mengikuti zaman. Zaman dahulu mana ada Ida Betara melancaran naik mobil, tapi zaman sekarang Ida Betara sudah biasa naik mobil. Ini kan tergantung pikiran pengiringnya. Ida Betara sih oke-oke saja, mau simpel oke, mau ruwet juga oke. Apa Betara yang mengikuti kemauan pengiring atau pengiring yang mengikuti kemauan Betara? Terserah Anda saja!
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar