Laporan Nyoman Sarasuniyasa
Upacara nangluk merana yang telah umum dilaksanakan di kalangan umat Hindu di Bali adalah tergolong dalam jenis Bhuta Yadnya. Hal ini secara berkesinambungan dilaksanakan setiap tilem sasih Kenem bagi umat Hindu etnis Bali yang kini bermukim di wilayah Kolaka bagian selatan, Sulawesi Tenggara. Warga umat Hindu yang berada di wilayah tersebut terdiri dari empat kecamatan setelah pemekaran sebagai kecamatan induk Watubangga, Tanggetada, Polinggona dan Kecamatan Toari. Yang terbanyak umat Hindunya terdapat di Kecamatan Watubangga.
Pertama program ini berjalan di tiga desa, yaitu Peoho, Kukutio, Pundongi. Setelah ditinjau oleh Ketua PHDI Kecamatan sejak tiga tahun yang lalu ritual itu dipusatkan di tingkat kecamatan dengan penanganan upakara bergilir setiap desa adat. Sama seperti kegiatan melasti sudah sejak lama bergabung di kecamatan.
Mengacu pada sumber sastra dalam hubungan dengan upacara nangluk merana di antaranya bersumber Purana Bali Dwipa. Pada intinya sumber itu mengatakan, ketika Raja Sri Aji Jayakasunu mendapat petunjuk dari Hyang Maha Kuasa berbunyi sebagai berikut: “Malih aja lali ring tatawur ring sagara, manca sanak, nista Madhya, uttama, nangken sasih kanem, kapitu, kaulu, pilih tunggil wenang maka panangluk mrana aranya. Yan sampun nangluk mrana, gring tatumpur tikus, walang sangit, mwah salwiring mrana ring desa, mwang ring sawah tan pa wisya, apan sampun hana labanya, wetning salwiring mrana saking samudra datengnya.”
Artinya, Dan jangan lupa melaksanakan kurban (tawur) di laut amanca sanak, tingkat kecil, sedang, utama, tiap-tiap bulan Desember, Januari, Februari salah satu di antaranya dapat dipilih untuk dilaksanakan sebagai penolak hama dan bencana. Bilamana sudah melaksanakan upacara nangluk merana, penolak hama dan penyakit di sawah, maka tikus walang sangit, segala bentuk hama di tingkat desa maupun sawah tidak akan berbahaya, karena sudah dibuatkan upacara. Oleh karena segala wabah dari laut sumbernya.
Demikian salah satu sumber mengatakan dan rupanya masih banyak sumber sastra yang dapat dijadikan acuan untuk melaksanakan yadnya asal didasari atas hati yang tulus ikhlas.
Selanjutnya marilah atau bagaimana pelaksanaan nangluk merana yang dilaksanakan pada tilem Kenem, 5 Desember 2010 yang baru lalu. Upacara di Kolaka Selatan itu di awali pecaruan manca sanak yang dipimpin oleh Jro Mangku Rimpen dan didampingi oleh para pemangku tingkat kecamatan. Acara ini tidak banyak melibatkan umat, tetapi cukup perwakilan dari masing-masing desa adat dan tidak sama waktu pelaksanaan melasti berjalan. Kali ini sebagai pelaksana yadnya Desa Kukutio yang sangat antusias bekerjasama yang erat dengan para serati. Usai melaksanakan yadnya (tawur) atau sebelum persembahyangan dilaksanakan pemaparan secara singkat terkait pelaksanaan upacara nangluk merana disampaikan oleh saya sendiri (Pinandita Nyoman Sarasuniyasa) sebagai Ketua PHDI tingkat kecamatan dan sebagai penanggung jawab terselenggaranya ritual ini.
Dalam pemaparan tersebut saya tegaskan, bahwa tujuan dilaksanakan upacara ini untuk nyomya bhuta, menetralisir unsur-unsur Panca Maha Bhuta. Lebih-lebih 4 tahun belakangan ini, iklim di negara kita sangat ekstrim, sehingga banyak petani gagal panen terutama hasil perkebunan jambu mete yang seharusnya, setiap tahun panen, namun dengan musim hujan berkepanjangan, maka segalanya gagal.
Nah mudah-mudahan dengan adanya upacara yang sederhana dan didasari dengan hati yang tulus segala rintangan gangguan hama-penyakit tanaman serta bencana alam yang melanda bangsa dan negara kita umumnya semoga berakhir dan kita sebagai petani bisa menikmati hasil panen.
Setelah melaksanakan persembahayangan bersama, saat hening sejenak, saya memimpin doa untuk keselamatan pribadi, keluarga, masyarakat serta bangsa Indonesia, umumnya semoga tidak terjadi bencana alam di mana-mana. Semoga para pemimpin kita dalam menunaikan tugasnya senantiasa mendapat tuntunan dari Hyang Kuasa.
Selesai nunas tirta dan bija, para pemedek yang sempat tangkil membubarkan diri dan kembali ke tempatnya masing-masing tepat pukul 13.00. Sementara itu pelaksanaan peringatan hari raya Galungan di Peoho diisi dengan acara Dharma Santi Galungan pada hari Kamis, Umanis Galungan bertempat di jaba tengah Pura Siwa Krama Desa peoho. Acara ini dimotori oleh anggota WHDI Desa Peoho yang dikoordinir oleh Sugiarti yang selama ini sangat aktif dalam kegiatan WHDI, baik di tingkat kecamatan maupun desa. Kendatipun sebelumnya ia merupakan penganut agama lain. Tetapi karena faktor perkawinan dan atas kehendaknya sendiri yang bersangkutan secara ikhlas telah menjadi penganut Hindu dan sudah banyak berperan aktif dalam kegiatan yang bernuansa Hindu.
Adapun rangkaian Dharma Santi itu dimeriahkan beberapa jenis lomba, di antaranya paling menonjol adalah lomba kidung suci keagamaan yang terbagi dalam tiga regu dan tiap regu terdiri dari enam orang. Yang menarik adalah, dalam dua regu itu terdapat dua orang anggota dari etnis Jawa yang kini sudah resmi sebagai penganut Hindu.
Mengenai pembinaan keagamaan dalam WHDI lewat sekar madya kemudian melangkah menuju utsawa dharmagita adalah adanya kendala, yaitu kurangnya motivasi dari pihak suami. Toh demikian menurut Sugiarti, hal itu bukan menjadi penghalang, karena dengan berbagai upaya akhirnya ibu-ibu juga mampu tampil memukau dalam lomba tersebut.
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar