Pada Jumat, 5 Januari 2011 lalu, IHDN Denpasar melepas salah seorang tenaga pengajarnya untuk memasuki masa purna bhakti. Dosen yang secara resmi memasuki masa pensiun itu adalah Drs. I Ketut Wiana, M.Ag., yang juga salah seorang tokoh Hindu Indonesia yang telah malang melintang melakukan pengabdian keagamaan, baik di tingkat formal maupun nonformal.
Pada upacara perpisahan yang digelar oleh IHDN Denpasar bertempat di aula kampus IHDN Denpasar, JL. Ratna Denpasar diluncurkan juga sebuah buku yang dipersembahkan khusus kepada Ketut Wiana. Buku berjudul, “Puspamanjari: Persembahan Purna Bhakti Drs. I Ketut Wiana, M.Ag.” berisi kumpulan artikel dari para dosen IHDN Denpasar dan kolega dari Ketut Wiana.
Ketut Wiana sebenarnya sudah pensiun pada 31 Desember 2010, tetapi upacara pelepasannya di kampus IHDN, baru diselenggarakan tanggal 5 Januari 2011. Dalam acara pelepasan yang dihadiri seluruh dosen dan staf IHDN tersebut, Rektor IHDN Denpasar, Prof. Dr. I Made Titib, Ph.D., menyampaikan kesan-dan pesannya melepas salah satu tenaga pendidik yang andal. Pada kesempatan tersebut Titib menyampaikan ucapan terimakasihnya atas pengabdian dan sumbangsih dari I Ketut Wiana selama mengabdi sebagai dosen di IHDN. Menurutnya, Wiana adalah sosok seorang guru sekaligus bapak baginya. Selama kebersamaan di IHDN maupun di Parisada tentunya dua tokoh ini telah mengalami banyak kenangan bersama, sehingga acara pelepasan itu pun banyak berisikan nostalgia di antara mereka.
I Ketut Wiana mengawali karirnya sebagai guru di PGA Hindu Negeri Denpasar tahun 1970, saat mana ia mulai berstatus calon pegawai negeri, meskipun ia sejak tahun 1966 sudah mengajar di PGA. Pada tahun 1971 ia diangkat menjadi anggota DPRD Badung mewakili Golkar dari unsur Prajaniti. Bahkan tahun 1975 lelaki kocak asal Bualu, Nusa Dua ini sempat dicalonkan sebagai calon Bupati Badung sebagai calon pendamping, karena I Dewa Gde Oka sudah ditetapkan sebagai calon jadi (istilah jaman itu). Hasil pemilihan tersebut sudah jelas, Wiana tidak terpilih, karena cuma sekadar melengkapi, supaya calonnya tidak tunggal.
Pada tahun 1982, Ketut Wiana berhenti sebagai anggota DPRD Badung, sehingga ia dapat berkonsentrasi di PGAHN Denpasar, mengingat dirinya sudah diangkat sebagai kepala sekolah di lembaga tersebut sejak tahun 1980. Selain sebagai guru di PGAHN Denpasar, Wiana juga banyak mengabdi sebagai tenaga pendidik di STP Nusa Dua, UNHI, STIA Denpasar, AKPAR Denpasar, Universitas Warmadewa, STKIP Amlapura, STKIP Tribuana Surabaya dan menjadi dosen STAHN Denpasar sejak 1996, setelah sebelumnya sempat sebagai tenaga ahli di Bappeda Bali.
Kini di masa purnabhaktinya, Ketut Wiana mengaku masih akan melanjutkan aktifitasnya, seperti menulis buku dan mengisi kolom di surat kabar, memenuhi undangan untuk mengisi ceramah. Selain itu di masa tuanya, ia telah menyumbangkan 5 are tanah warisannya di Bualu untuk dijadikan centre Sai Baba, dan sekarang sudah terwujud bangunan di atas lahan tersebut yang bisa digunakan untuk berbagai kepentingan spiritual.
Lalu apa harapan Wiana terhadap almamater tempatnya selama ini mengabdi? Menurutnya, jika IHDN Denpasar bisa bertambah maju, maka harus memperhatikan tiga hal. Pertama, SDM IHDN bekerja di lembaga tersebut sebagai ajang mencari nafkah. Kedua, setelah memperoleh nafkah, selanjutnya harus mau memperjuangkan sesuatu supaya umat dapat hidup lebih baik. Cara yang dapat ditempuh IHDN adalah dengan menggerakkan SDM-nya supaya melakukan kajian-kajian terhadap permasalahan yang terjadi di masyarakat, selanjutnya hasil kajian tersebut dirumuskan dan hasilnya bisa dijadikan masukan kepada pemerintah. Wiana menilai, bidang penelitian dan kajian yang menjadi interest publik ini masih kurang disentuh oleh IHDN, oleh karena itu ia memandang perlu kepedulian semua pihak, termasuk pemerintah yang nantinya mau mengapresiasi hasil kajian perguruan tinggi, sehingga hasil penelitian tidak berhenti di rak buku kampus. Kemudian yang ketiga menurut Wiana, SDM IHDN setelah mendapat nafkah dan memiliki kepedulian terhadap masalah umat, juga perlu meningkatkan rasa pengabdian, tidak hanya bekerja atas motif ekonomi. “Sebilang mekijapan harus maan pipis, susah kalau begitu,” celetuknya saat dijumpai Raditya pada Rabu, 12 Januari 2011 di Gedung Pascasarjana IHDN Denpasar.
Selain itu, penulis buku Hindu yang produktif ini juga menyarankan supaya kampus dikelola dengan manajemen vertikal dan horizontal. Manajemen horizontal maksudnya, sebelum mengambil suatu kebijakan supaya berbagai komponen dalam kampus dikumpulkan untuk memberikan masukan sesuai bidangnya masing-masing. Jika keputusan sudah diperoleh, barulah dalam tahap pelaksanaannya menggunakan manajemen vertikal, yaitu sistem komando yang struktural. “Ini belum dilakukan di IHDN, sehingga kesannya berbagai pihak dalam kampus saling tidak kenal dan tidak mau tahu urusan yang bukan menjadi bidangnya dan sebagainya. Kita berharap di masa mendatang hal ini terus dibenahi, supaya IHDN semakin lebih bermanfaat bagi umat” pungkasnya.
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar