Oleh: N. Putrawan
Wacana yang lebih sering mengemuka dalam isu-isu keagamaan di Bali adalah menyangkut penyederhanaan banten dan pernak-pernik ritual lainnya. Istilah penyederhanaan barangkali tidak tepat untuk menjelaskan bagaimana banten itu bisa diperkecil porsinya, dengan alasan karena boros biaya dan juga menguras sumber daya alam. Apa pun istilah yang tepat untuk itu, yang jelas ada sebagian masyarakat yang berkeinginan untuk dapat mengatur manajemen keluarganya lebih tepat guna. Salah satu yang mereka rasa perlu untuk kaji ulang adalah pengeluaran sektor upacara agama.
Banyak alasan mengapa wacana itu sampai muncul. Sebut saja beberapa alasan di antaranya, seperti hadirnya sektor-sektor lain sebagai implikasi berubahnya jaman agraris ke sektor industri dan jasa yang menuntut tiap rumah tangga mengalokasikan dana cukup untuk terselenggaranya kebutuhan yang semakin variatif itu. Kemudian, keinginan penyederhanaan itu muncul, karena memang sedikit sekali orang yang paham, apa makna dan fungsi dari banten-banten itu. Dan bahkan, apakah sulinggih mengerti secara detail fungsi masing-masing banten itu? Kegamangan inilah yang menyebabkan orang ingin memformat ulang mindset-nya, bahwa pengeluaran upacara tidak perlu sebanyak itu. Ada juga alasan, karena terbatasnya waktu. Panggilan Karma Yoga yang tidak memungkinkan petani meninggalkan sawahnya lama-lama, apalagi pegawai yang tidak bisa cuti lama hanya untuk ngurusin banten. Alasan berikutnya adalah semakin sulitnya sumber daya alam sebagai pendukung sarana upakara itu untuk diperoleh. Syak wasangka pun muncul. Bila banyak bahan didatangkan dari luar Bali, tidakkah itu berasal dari tempat yang cemer? Dari kuburan misalnya atau bahan bekas. Kemudian muncul pertimbangan baru: daripada membuat upakara besar tapi bahannya cemer, lebih baik membuat sedikit tapi sukla, suci. Alasan selanjutnya silakan tambahkan…
Nah, di antara hiruk pikuk lalu lintas pikiran yang mewacanakan penyederhanaan banten, di sisi lain terjadi juga hiruk pikuk lain: kesibukan kaum wesya. Pedagang (usahawan) adalah kaum yang selalu dapat berdiri tegak dan bersiul manis pada saat apa pun. Bahkan saat perang pun, kaum wesya ini selalu menjalankan swadharmanya dengan tekun: menjual baju anti peluru, jualan senjata atau kalau memungkinkan membuka penyewaan bunker bawah tanah bila perang nuklir meletus. Demikian pula saat umat Hindu Bali repot membahas reformasi di bidang pelaksanaan upacara, kamu wesya tak terpengaruh oleh hal itu. Diam-diam mereka mencetak pis bolong imitasi untuk dijajakan di pasar.
Supply and demand, itulah “ayat suci” kaum wesya, di mana ada permintaan, di sana ada penawaran.Ketika permintaan pis bolong untuk banten terus membumbung tinggi, maka suplai harus atau terpaksa diadakan. Apa boleh buat, ketika pis bolong tidak lagi dicetak, maka orang-orang Bali pun menjadi pengusaha pis bolong untuk mencukupi permintaan pasar. Hasil industri sederhana ini lumayan: lumayan bisa jualan dan upacara lumayan bisa tetap berjalan berkat pis bolong palsu.
Sungguh berjasa juga kaum wesya ini, karena di saat orang-orang Bali menghabiskan banyak energinya untuk berdebat tentang penyederhanaan banten, kaum wesya ini dengan jeli membaca peluang. Saat krama Bali sudah tidak bisa lagi ngayah berhari-hari saat upacara ngaben, maka mereka ini menjual wadah (bade, bale-balean) yang sudah jadi dan karyanya laris. Saat budaya instant semakin merasuk, kaum wesya pun menyuguhkan desain udeng siap pakai biar tidak ribet lagi mengikatkannya waktu persiapan kondangan atau ke pura. Bahkan, manakala para pelancong dan akademisi ramai-ramai membicarakan kesucian sungai Gangga, keagungan kharisma tanah Bharata warsa, kemudian saat umat kian terpesona dan terhipnotis, diam-diam kaum wesya membuat travel wisata tritayatra ke India. Hm!
Perputaran uang dalam dunia ritual memang luar biasa. Cobalah hitung berapa ton dupa dibakar setiap hari di Bali, berapa duitnya, terus siapa penjualnya, siapa pemilik pabriknya, apakah wesya Bali atau pengusaha luar? Selanjutnya berapa janur, selepahan, ron, nyuh daksina, don ental, bunga, buah untuk keperluan yadnya yang harus tersedia setiap hari di Bali? Adakah kita menghitungnya dengan cermat dan kemudian menggunakan peluang itu untuk berusaha dan menolong diri sendiri untuk bertambah kaya atau minimal tidak nganggur lagi?
Pis bolong palsu telah bercerita, bahwa rasionalisme mati telak dalam tradisi. Jika rasionalisme ingin menang dalam ranah keagamaan, maka satu-satunya jalan adalah membaca peluang ekonomi yang ditimbulkan oleh praktik keagamaan itu dan jalankan swadharma wesya sebaik-baiknya: jangan malu cari untung banyak. Dengan jalan tersebut, seseorang bisa memerankan pelayanan (seva) sekaligus Karma Yoga. Berbuat kecil dan sederhana tapi bermanfaat, jauh lebih baik daripada perdebatan tinggi tanpa aksi apa-apa.
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar