Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 14 April 2010

Rsi Markandeya: Bagian dari Politik Ekspansi Raja Sanjaya ke Bali?

Samsubur

Bila bersumber lontar Markandeya Purana, di tanah Jawa Timur, tepatnya di lereng Gunung Rawang (Rawung, Rahung) ada seorang yogi yang sedang bertapa di pasramannya.
Beliau bernama Resi Markandeya. Beliau berasal dari tanah Shindu-India. Karena itu ia lebih dikenal sebagai Bhatara Giri Rawang kang sakti lan sidhi pangucap. Beliau telah bertapa berpindah-pindah seusai mendirikan pasraman Hindu yang berpindah-pindah pula. Mulai dari Wukir Demalung (Purwalingga, sekarang kota Purbalingga-Jawa Tengah) kemudian ke Gunung Hyang (Iyang) yang termasuk wilayah Prabhalingga, sekarang kota Probolinggo di Jawa Timur. Selanjutnya ke Gunung Rahung, tepatnya di hulu sungai Paralingga (banyak laingga) di wilayah Banyuwangi. Kemudian beliau mendirikan pasraman dan membuka desa di lereng Gunung Agung (lingga acala).

Tatkala Resi Markandeya dari Gunung Rahung pindah ke Gunug Agung, ia disertai para pengiringnya. Pada keberangkatannya yang pertama ini ia diiringi pengikut berjumlah 4000 orang (mungkin 400 atau 40 maksudnya?). Sesampai di Gunung Agung, rombongan ini berkemah dan merabas hutan. Pada kesempatan tersebut banyak pengiringnya yang meninggal karena serangan wabah penyakit. Namun Resi Markandeya tidak berputus asa, beliau kembali ke Gunung Rahung untuk kemudian balik lagi ke Bali membawa 8000 (mungkin 800 atau 80) pengikutnya. Keberangkatan beliau yang kedua ini disertai pula niat untuk melangsungkan upacara Bhuta Yadnya dan Dewa Yadnya yang ditandai dengan penanaman Panca Datu. Setelah menyelenggarakan upacara ini ternyata kemudian beliau berhasil membuka lahan di Bali. Para pengikutnya lantas dibagi dalam puak-puak (bagian atau petak-petak) pakuwuan atau tempat tinggal (perkampungan). Seperti kenyataan sekarang di Desa Taro, Kecamatan Tegalalang, Gianyar.

Berdasar tinjauan sejarah, sekitar tahun 500 M rombongan pengungsi asal India tiba di wilayah Sumatra Utara yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan kecil seperti Kandhari, Pali, Malayu-Sriboja dan lainnya. Antara tahun 682-686 M Dapunta Hyang Sri Jayanaga melakukan ekspansi wilayah dari Malayu Sriboja ke selatan dan utara wilayah Sumatra. Termasuk kerajaan Kandhari dan kerajaan Pali berhasil dikuasainya. Ini menjadikan para bangsawan dan Resi dari kerajaan Pali yang nota bene keturunan India ini menyingkir ke arah timur dengan perahu hingga mendarat di Nusa Goh (Pulau Sapi). Di sini mereka mendirikan kerajaan yang bermula dari desa kecil. Namanya kerajaannya sama dengan sewaktu masih di Sumatra, yaitu kerajaan Pali yang beragama Budha. Lama-lama menjadi kerajaan Bali dalam tahun 683 M (Radya-radya ri Bhumi Nusantara I.1. 1984: 64). Pernyataan pustaka ini bisa dicocokkan dengan penelitian R. Goris dalam buku “Bali Kuna” , ternyata ada korelasi yang sejalan, bahwa peninggalan purba di Bali bercirikan agama Budha.

Pada tahun 732 M prasasti canggal yang diketemukan di Gunung Wukir Jawa Tengah menyatakan, bahwa Sang Ratu Bumi Mataram, Sri Maharaja Sanjaya secara resmi menjadi raja Pulau Jawa minus tanah Sunda. Walau pun sebelumnya Sanjaya adalah pewaris kerajaan Sunda dari istri pertamanya dan sekaligus pewaris kerajaan Galuh (Tasikmalaya) dari ayahnya yang bernama Sanna (Sena, Bratasenawa). Setelah Sanjaya berhasil menewaskan pamannya bernama Purbasora yang sebelumnya Purabasora ini merebuat tahta Sanna. Tahun 730 M Sanjaya berhasil menaklukkan Sriwijaya, Ligor (Thailand), Hujung Medini (Malaysia Barat). Dan Sanjaya pula yang berhasil menghindukan kerajaan Bali tahun 730 M.

Sang Ratu Sanjaya gemar memelopori dan membudayakan serta mengembangkan ajaran agama Hindu dalam bentuk bangunan lingga yoni. Termasuk prasasti Canggal yang didirikannya. Kiranya dia pula yang menugaskan purohita (Pandita kerajaan), Resi Markandeya pada tahun 730 M pergi ke arah timur untuk mendirikan pertapaan. Beliau bergerak dari pasraman Gunung Wukir (Demalung) tempat di mana prasasti Canggal ditemukan. Berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, lalu ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga (banyuwangi) kemudian berakhir di Gunung Agung (lingga Acala) tempat Pura Besakih sekarang.

Di lereng Gunung Rahung juga banyak ditemukan barang peninggalan purba di sekitar Girimulya, Kecamatan Glenmore dan di sekitar Tirta Empul Resi Markandeya berupa arca-arca kecil pratima. Di antaranya meliputi, arca perunggu Tri Murti ditemukan tahun 1984, arca Resi Msarkandeya seukuran ibu jari ditemukan tahun 1985, wadah tirta berupa cupu manik dari perunggu, bokor perunggu dua buah, arca perunggu Bhatara Wisnu, arca perunggu Dewi Durga, gentha pandita dan tujuh bilah keris ditemukan tahun 1976. Kemudian ditemukan juga batu untuk mengolah obat dari batu andesit. Dan terakhir ditemukan juga beberapa bilah daun gamelan kuna.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar