Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 14 April 2010

Dari Tri Rna ke Panca Yadnya Sebuah Apresiasi yang Dinamis

I Gusti Ngurah Samiadnyana

Agama Hindu mengenal tatwa, susila, dan upacara sebagai kerangka dalam rangka keberagamaan umatnya.
Pada tataran tatwa dijelaskan substansi inti dari ajaran agama, hakikat esensial dari agama itu sendiri. Pada tataran susila dikembangkan nilai-nilai dalam berperilaku, dan pada tataran upacara diurai tentang sarana dan prasarana kelengkapan berperilaku dalam berkeyakinan. Hindu yang utuh adalah Hindu yang mencerminkan kesatuan dari ketiga tataran tersebut.

Umat Hindu memiliki pemahaman hidup yang resiprokal dalam upaya mewujudkan keseimbangan, pemahaman hidup yang "saling": saling memberi, saling mengisi, dan "saling-saling" yang lain dalam arti berbalas. Dan bahkan kata saling juga dimaknai sebagai sesuatu yang sejajar, sejalan dengan aktualisasi konsep "hak dan kewajiban".
Kita umat manusia adalah hasil ciptaan-Nya. Beliau telah menciptakan alam beserta segenap isinya, termasuk kita umat manusia. Maka, tentu amat-amat wajar kalau kita umat manusia, khususnya umat Hindu, merasa wajib melakukan sesuatu atas jasa-Nya yang telah menciptakan alam beserta segenap isinya. Apa yang dapat dilakukan oleh umat? Seribu macam bisa diperbuat sesuai dengan kedalaman rasa keagamaan mereka. Sementara itu, sejarah telah pula mencatat, bahwa para bijaksana (para Maha Rsi) telah dengan tekun dan tak kenal lelah, selalu dan selalu memberikan pencerahan tentang kehidupan beragama kepada umatnya. Dengan pencerahan ini, kesadaran dan rasa syukur pun semakin berkembang, dan pemahamannya memastikan, bahwa mereka mesti berbuat sesuatu untuk jasa para bijaksana tersebut. Dan pada sisi lain umat pun menyadari, bahwa jasa-jasa para leluhur kita tidak dapat dinomorduakan. Para leluhur kita telah melakukan apa saja demi keberlangsungan hidup para sentana (keturunan) mereka. Sebagai generasi yang merupakan keturunan (sentana) beliau, tentu tahu mesti berbuat apa.

Dalam agama Hindu kita kenal konsep Tri Rna, utang yang jumlahnya tiga, yakni: Pertama, utang kepada Sang Maha Pencipta. Beliau telah menciptakan kita sebagai makhluk yang sempurna, sempurna dalam arti lengkap (sekaligus) dengan ketidaksempurnaannya. Konsep ini dalam Hindu dikenal dengan Dewa Rna. Kedua, umat manusia memiliki utang pada para bijaksana, para maha rsi yang telah berjasa menyebarkan pengetahuan dalam memberi pencerahan kepada umat. Konsep ini dalam Hindu dikenal dengan Rsi Rna. Ketiga, umat manusia berutang kepada setiap leluhur mereka. Para leluhurlah yang nyata-nyata secara langsung berbuat apa saja demi sentana (keturunannya). Konsep ini dikenal dengan Pitra Rna.

Konsep Tri Rna adalah konsep yang mendasar, yang merupakan pegangan bagi umat Hindu. Dewa Rna, yaitu kesadaran berutang kepada Tuhan atas yadnya-Nya kepada manusia dan alam semesta ini. Pitra Rna adalah kesadaran berutang kepada orang tua (ibu-bapak) dan leluhur atas jasanya yang telah beryadnya menurunkan, memelihara, dan mendidik kita dari sejak dalam kandungan sampai kita bisa mandiri. Adapun Rsi Rna adalah kesadaran berutang kepada para rsi atau orang-orang suci yang beryadnya menyebarluaskan ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan suci (Panca Yadnya, 1995: 10 -11). Untuk membayar tiga jenis utang itulah kita melakukan panca yadnya. Dewa Rna dibayar dengan Dewa Yadnya dan Buta Yadnya, yaitu beryadnya kepada Tuhan dan kepada alam ciptaanNya. Pitra Rna dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya, Rsi Rna dibayar dengan Rsi Yadnya (Panca Yadnya, 1995: 11).

Bahkan sebagai wujud rasa syukur dan terima kasihnya, umat bahkan memunculkan pemahaman yang berkembang atas hal ini, tetapi tetap dalam bingkai substansi tatwa keagamaan. Hal ini tentu dapat dipahami sebagai hasil dari apresiasi yang dinamis dan positif. Misalnya saja, ada ungkapan sastra yang menyatakan: ''Utang dadi wang tonggwanya empat: utang ring hyang bhakti ring hyang, utang ring bapa-indung sahur teng suputra, utang ring guru sahur teng swasisya, tanpepegatan ngawe btustaning rat. Yang atinya lebih kurang, "Tempat orang berutang ada empat: utang terhadap Tuhan dibayar dengan bakti kepada Tuhan, utang kepada ibu-bapak dibayar dengan berbuat baik terhadap orang tua, utang terhadap guru dibayar dengan menjadi murid yang baik, utang kepada masyarakat dibayar dengan berbuat baik secara terus-menerus kepada masyarakat.

Dari pemahaman konsep Tri Rna, karena rasa syukur, rasa terima kasih, rasa keagamaaan, serta apresiasi yang dinamis, muncullah keyakinan akan utang yang keempat. Utang terhadap masyarakat muncul dari apresiasi dan keyakinannya, bahwa kehidupan bersama dalam bermasyarakat, masyarakat amat berperan dan menentukan. Apresiasi, bahwa siapa pun tidak dapat hidup tanpa kehadiran orang lain dalam arti masyarakat, siapa pun tidak dapat menyangkalnya. Maka muncullah sebuah rasa "berkewajiban" untuk berbuat sesuatu untuk hal-hal yang dianggap telah berjasa.
Dewa Rna dalam konsep Panca Yadnya dimaknai sebagai utang kepada Tuhan atas yadnya-Nya yang telah menciptakan manusia dan alam dengan segenap isinya. Pemahaman yang terjadi di kalangan umat Hindu adalah, bahwa menghargai Sang Pencipta dapat pula diwujudkan melalui penghargaan terhadap ciptaan-Nya. Maka terkait dengan jasa dari yadnya Tuhan, umat pun memberikan penghargaan berupa korban suci kepada ciptaan-ciptaan Beliau yang lain (sarwa bhuta) dalam bentuk buta yadnya.

Pada sisi lain, Hindu memiliki dasar-dasar kepercayaan yang jumlahnya lima, yang disebut Panca Sradha, yakni: Brahman, Atman, Karman, Samsara, dan Moksa (Tim Bali Age, 2006: 53). Salah satu dari Panca Sradha itu, yakni samsara dimaknai sebagai kelahiran yang berulang-ulang. Keyakinan akan adanya reinkarnasi (roh leluhur yang telah meninggal dapat terlahir kembali) membawa konsekuensi bahwa penghormatan terhadap leluhur dapat pula diwujudkan melalui penghormatan terhadap manusia (anak keturunannya). Karena di dalam diri manusia diyakini bersemayam (terlahir kembali) roh leluhur yang telah meninggal. Muncullah pengorbanan suci terhadap leluhur yang ada di dalam diri manusia, yang digolongkan ke dalam Manusa Yadnya.

Yadnya dalam Hindu dipahami sebagai sebuah korban suci, sebuah persembahan untuk menciptakan keseimbangan. Sesuatu yang dipersembahkan oleh umat (semacam kewajiban) karena umat merasa telah memperoleh sesuatu (semacam hak). Jadi semacam "balasjasa", "bayar utang", untuk melengkapi kehidupan yang "saling".

Umat Hindu yakin, bahwa kehidupan di alam bhuh, di alam bhuwah, dan di alam swah (konsep triloka) ada dalam keadaan saling membutuhkan dan (atau) saling mempengaruhi untuk terwujudnya sebuah keseimbangan. Kehidupan tidak akan seimbang bilamana kehidupan di satu alam mengganggu kehidupan di alam lain. Dan keseimbangan yang terjadi pastilah diapresiasi sebagai sebuah hasil dari kontribusi kehidupan di seluruh alam, baik alam bhuh, bhuwah, maupun alam swah. Maka, amatlah wajar apabila umat Hindu mewujudkan rasa terima kasihnya berupa sebuah pengorbana suci kepada kehidupan di ke semua alam kehidupan.

Konsep utang terkadang disejajarkan pula dengan konsep kewajiban (tanggung jawab). Sastra menyatakan, bahwa secara moral kewajiban orang tua adalah membentuk anak-anaknya menjadi manusia yang utuh. Dari segi prosesi tahapan kehidupan, orang tua punya kewajiban untuk melakukan tahapan upacara--upakara dari sejak anak lahir (bahkan sejak masih ada di dalam kandungan) sampai dewasa. Karena tanggung jawab itu dipahami sebagai sebuah kewajiban, maka kewajiban itu sendiri diapresiasi sebagai sebuah utang yang harus dibayar. Maka, Manusa Yadnya adalah wujud pembayaran utang tersebut.

Ya, pikiran umat berkembang. Dengan konsep Tri Rna sebagai acuan tanggung jawab dalam menciptakan keseimbangan, bukan saja konsep persembahan (sebagai wujud bayar utang) yang dikembangkan, tetapi rna (utang) itu sendiri juga dikembangkan. Itu disebabkan - sekali lagi - oleh rasa terima kasih, rasa syukur, dan oleh rasa keagamaan (religiusitas) yang tinggi, sehingga memunculkan apresiasi yang dinamis. Apresiasi yang dinamis berkembang tanpa harus lepas dan menyimpang dari substansi yang hakiki. Apresiasi dinamis ini dapat dinilai positif karena justru membawa dan menciptakan keragaman pekerti dalam mengejawantahkan konsep-konsep keagamaan dalam peri kehidupan.

Memang ada hal-hal yang perlu dipertahankan dan diajegkan keseragamannya, tapi ada sesuatu yang perlu dilepas untuk membentuk ke-beragam-an sendiri, asalkan tetap dalam ikatan yang esensial dan hakiki. Konsep kehidupan yang resiprokal, hidup "saling" dalam arti positif perlu terus dikembangkan untuk meningkatkan pemahaman dan keyakinan keagamaan kita. Sekecil apa pun pemahaman kita, perlu kita kembangkan sesuai dengan konsep saling berbagi. Apan widya yan tan limbakakna, kadi angganing padyut tinukuping dyun, tan kawedar juga padangitya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar