Oleh IGN. Nitya Santyarsa
Agama yang dianut masyarakat dan tradisi yang hidup di masyarakat memiliki hubungan yang sangat kuat, di mana nilai-nilai agama menjadi dasar terbentuknya tradisi.
Menjadi dasar acuan dan sumber inspirasi bagi kegiatan yang dilakukan masyarakat termasuk juga apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat. Misalnya di Bali, mayoritas adalah pemeluk Hindu, sehingga tradisi yang berkembang bercirikan nilai-nilai Hindu.
Hal ini dapat dilihat, seperti bahasa, di mana pada bahasa Bali banyak terdapat kata-kata Sansekerta, bahasa yang dipakai dalam Veda. Demikian juga dalam kesenian, seperti tari- tarian Bali secara prinsip sama dengan tari India, jadi tarian Bali banyak dipengaruhi oleh tarian India. Demikan juga seni sastra, karya sastra yang ada di Bali seperti cerita Ramayana dan Mahabharata berasal dari India. Bentuk tradisi yang lain seperti hubungan kekerabatan dan perkawinan yang terdapat di Bali merupakan hasil penyesuaian dengan ajaran Hindu.
Namun, tidak semua tradisi bersumber pada ajaran agama, sebagian berkembang melalui kesepakatan bersama dan sebagian lagi melalui kepentingan kelompok dalam masyarakat. Jadi dalam tradisi bisa juga terdapat ketidaksesuaian dengan nilai agama yang dianut, bahkan bisa juga bertentangan dengan ajaran agama. Jadi hubungan agama dan tradisi semestinya dicermati oleh semua orang, jangan mencampuradukkan atau menyamaratakan agama dan tradisi begitu saja. Mengenai hal ini kita bisa belajar dari apa yang dikatakan Mahatma Gandhi, Bapak Kemerdekaan India dan tokoh ahimsa. Ia berujar, ”Sungguh senang berenang di lautan tradisi, namun janganlah sampai tenggelam di dalamnya.” Menyikapi hubungan agama dan tradisi, sepatutnya kita belajar agama dengan sungguh-sunguh, kemudian menjalankan tradisi sewajarnya disesuaikan dengan ajaran agama dan perkembangan jaman yang terjadi, jadi jangan sampai terjebak pada rutinitas tradisi yang beku dan tidak memberikan kemajuan.
Di Bali hingga kini adat atau tradisi lebih dominan berkembang di masyarakat. Hal ini wajar, karena dulu Bali sempat terisolir selama beberapa abad dengan dunia luar terutama dengan India, sehingga perkembangan agama Hindu di Bali terhambat. Pada waktu itu sedang terjadi penyebarluasan agama Islam dan Kristen yang pesat di Nusantara. Dalam keadaan demikian, pengajaran agama Hindu di Bali lebih banyak dikemas dalam tradisi, seperti upacara (ritual), upakara, awig-awig dan kesenian.
Sebaliknya, tidak ada pendidikan agama yang bersifat langsung seperti melalui pesraman. Masyarakat menerima pendidikan agama secara tidak langsung, yaitu melalui berbagai cerita rakyat, mitos, kesenian dan tentunya melalui lembaga tradisonal, seperti desa pekraman dan banjar. Sehingga selama ini, desa pekramanlah memegang peranan penting dalam pelestarian ajaran Hindu melalui tradisi. Lembaga ini mengatur hampir semua aspek kehidupan orang Bali, baik itu dalam hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan antarsesama dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya.
Masyarakat desa pekraman relatif bersifat homogen, jika ditinjau dari jenis suku dan kebudayaannya. Di desa pekraman hanya ada orang Bali dan tradisinya, kalaupun di Bali ada suku dan agama yang lain, mereka umumnya tidak terlibat atau tidak terkena peraturan dan tradisi setempat. Strategi pelestarian Hindu melalui desa pekraman cukup efektif selama beberapa abad terakhir, namun segera mendapat tantangan besar setelah era globalisasi terjadi. Masyarakat di Bali telah berubah menjadi masyarakat heterogen, baik dari suku dan agama, ditambah lagi mobilitas penduduk yang tinggi serta waktu yang makin sedikit untuk bertradisi. Semua ini menjadikan kontrol desa pekraman menjadi lemah. Konsekuensinya, pengajaran agama Hindu melalui tradisi menjadi kurang greget. Hal ini bisa dilihat dari fenomena banyaknya umat Hindu yang pindah keyakinan.
Untuk mengatasi masalah ini, pemberdayaan desa pekraman mesti dilakukan, namun hal ini belum cukup, karena baru bersifat kebertahanan. Harus ada upaya pemberdayaan yang bersifat progresif, yaitu pengembangan pesraman. Pengajaran agama melalui pesraman diyakini mampu menunjang peran desa pekraman, bahkan jika bijaksana bersikap, kedua lembaga ini akan bekerja sinergis memberdayakan umat Hindu. Pesraman ini sebaiknya ada di bawah binaan dan lindungan PHDI bersama Depag, sedangkan desa adat di bawah naungan MUDP dan Pemda. Kebijakan selama ini yang hanya membantu desa pekraman kurang tepat, jadi sebaiknya kedua lembaga, yaitu lembaga agama dan lembaga adat mesti dibantu, jangan pilih kasih. Jika desa pekraman saja dibantu, masyarakat Bali bisa-bisa makin terkungkung dalam rutinitas tradisi, layaknya berada di suaka alam. Jika lembaga agama saja dibantu, masyarakat Bali bisa kehilangan jatidiri.
Jadi, kedua lembaga beserta kewenangannya mesti didukung dengan adil dan bijaksana.
Masih ada lagi persoalan yang menghadang, yaitu di Bali belum ada lembaga agama yang mengakar kuat ke masyarakat. Lembaga seperti PHDI memiliki kewenangan dan akses yang terbatas bila dibandingkan MUDP, sedangkan organisasi lain seperti pesraman, pusat kajian, organisasi kepemudaan dan sebagainya jumlahnya sedikit dan sebagian besar tidak terdaftar resmi. Sangat beda kondisi ini dengan umat beragama lain seperti Islam dan Kristen, di mana peranan mesjid dan gereja sangat besar dan kuat. Kebutuhan umat dilayani dengan baik oleh lembaga agama yang mereka bentuk. Hal ini menjadi PR bagi umat Hindu ke depan, bagaimana memberdayakan lembaga agama agar bisa menjadi mitra seimbang dan harmonis bagi lembaga tradisional. Semua ini kita lakukan demi kepentingan umat Hindu dan masyarakat Bali sendiri untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.Om, Namo Siva-Budhaya!
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar