Oleh Luh Made Sutarmi
Udara dingin namun terasa menusuk dada para Pandawa pasca-judi dadu berdesir kembali.
Keputusan Raja Drestarasta sudah digelontorkan, bahwa Pandawa harus menjalani pembuangan selama 13 tahun di hutan. Namun, Duryodana masih meresidukan kegundahan di tengah klaim beberapa anggota Kerajaan Astina, bahwa hukuman itu tak pantas, Itu berarti pemiskinan atas nama negara sedang terjadi bagi warga bangsa. Dan, Duryodana mengatakan bahwa pembuangan sudah menerapkan hukuman yang efektif. Disanalah negara berkecamuk memegang peranan untuk penegakkan kebenaran atau memberi kemakmuran, kedua sedang samar. Kalau mau jujur, kebijakan negara sedikit pun tak menyurutkan derap badai kemiskinan yang menerjang tubuh bangsa Kuru dalam masa kekuasaan Drestarasta.
Di negara Astina, masih tampak bocah-bocah terganjal kelaparan. Dibeberapa wilayanya masih ada warga yang mengungsi ke hutan-hutan untuk sekadar mencari umbi alas perut. Bahkan ruang gerak orang miskin di ibu kota kerajaan dihambat peraturan yang disahkan untuk antirakyat miskin. Kemiskinan 'diatasi' dengan membiarkan rakyat tercerabut dari ruang kemanusiaannya. Sementara itu, pemerintah terus sibuk membangun citra, propaganda, dan selaksa pesona dari bilik istana Astina, agar Duryodana dapat menjadi penerus kerajaan Astina, dan bukan Yudistira
Duryodana secara sadar sedang mengonstruksi suatu kebijakan-kebijakan kapitalistik berwajah humanis. Kebijakan politik sumir yang mendekorasi berbagai ketidakadilan, ketidakpopulisan, dan ketidakberpihakan dalam skema 'normativitas' demokrasi yang terus mengganggu kinerja negara sebagai fungsionaris publik sesuai dengan Undang_Undang dasar yang memang tidak pernah ditaati dari Kitab Kutara Manawa Dharma sastra, namun dendam Duryodana menjadi hukum dasar kebijakan Raja Drestarasta untuk mengambil keputusan . Pada kondisi demikian, dapat dimengerti kenapa eksistensi para petani dan buruh yang terancam ambruk dilanda badai persaingan terus brgulir.
Widura yang tahu hukum tak pernah didengar dengan hati lapang, namun hati yang dibungai oleh egoisme yang terjal, sehingga bangsa Kuru terus tergelincir di lumpur nadir kematian moralnya. Institusi hukum menjadi pasar yang dibeceki transaksi fulus dan kepentingan liar yang menggundukkan kemasygulan rakyat. Degradasi hukum sporadis membuat kerajaan ini sempat tidak mampu membopong orang, seperti Drupadi kepada sebuah idealitas keadilan. Mereka tercakar rakuisme hukum dengan nurani, akal sehat dibabat mesin uang makelar kasus dan kaum oportunis kerajaan yang sering loncat pagar dalam sepinya morilatas bernegara.
Saat yang seperti itu, Yudistira yang sudah kalah dalam perjudian mendekati kakek Bisma, sambil berucap lirih, “ Kakek hidup seperti apa ini namanya, istri hamba telah dipermalukan, negara dan hak atas tanah kami telah dirampas dengan sebuah akal-akalan, apa yang aku lakukan kakek?
Kakek Bisma berkata, Yudistira, yang aku sayangi, aku memang tidak memiliki anak secara ideologis engkaulah anak-anak yang pantas menjadi anak-anaku, aku tidak menyesal untuk tidak menikah, namun kakek bahagia memiliki dirimu. Pesanku adalah ketika engkau berusaha mengingat kembali saat menjelang tidur, kejadian-kejadian pada hari itu, semua hal yang telah berlalu, engkau hanya akan mengenang hal-hal yang penuh makna, hal-hal yang sangat berkesan di dalam hatimu. Kejadian lainnya yang tidak mengesankan akan menjadi kabur, luruh dan lenyap dari ingatan. Teguhkanlah dirimu dengan keyakinan yang kuat bahwa segala penderitaan dan beban berat di dunia ini adalah khayal dan sementara adanya. Pusatkanlah pikiranmu dengan keras pada kenyataan yang utama ini dan berangkatlah dengan penuh keberanian menapaki jalan Sadhana (latihan spiritual), mengarungi perjalanan tak kenal putus dalam mengabdikan diri kepada Tuhan,
Yudistira mengangguk, kemudian bertanya kembali : kakek, kami tidak pernah merasakan kebahagian dengan ayah kami, sejak kecil ayah kami telah pergi, dalam keadaan yatim kami meraba kakimu dan kakek lah yang kami anggap sebagai ayah kami, namunsaat ini kami lemah dan seakan semua kemampuan untuk hidup hilang bersama angin setelah kami kalah berjudi, kakek, kakek apa yang harus aku lakukan? Bisma berkata, “ Usaha keras yang terus-menerus dan penuh disiplin sepanjang hidupmu sangat diperlukan untuk menjamin tercapainya tujuan spiritual. Pikiran harus terus diarahkan untuk bisa melakukan perbuatan baik. Setiap orang harus menyelidiki dirinya sendiri secara teliti, menemukan kelemahan diri dan memperbaikinya. Kalau seseorang menemukan kelemahan diri dan membukanya, itu bagaikan terlahir kembali. Ini adalah saat utama tercapainya Kesadaran. Maka dari itu, jalanilah hidup dengan menghindari perilaku yang buruk dan penuh kebencian, pikiran jahat dan jangan terikat pada keduniawian. Jika engkau hidup seperti itu, saat terakhir hidupmu akan menjadi suci, menyenangkan dan terberkati.
Yudistira, bertanya penuh harap lagi, Ya,kakek, ada kah pesan terakhir dari kakek untuk kami sebelum kami berangkat menuju pembuangan? Bisma, Orang tua yang gagah perkasa, yang tahu perhitungan hari, dan yang mengerti baik dan buruk hari berkata dengan tenang, “ya anak-anakku, saat ini hari dimana engkau dapat melaksanakan sebuah kajian yang baik untuk merenungi kekeliruan yang engkau lakukan. Pesanku terakhir Setiap malam datang ditandai dengan hadirnya kegelapan. Namun satu malam yang paling gelap, merenungi untuk kekuatan Shiva, malam itu disebut Shivarathri (malam suci Shiva). Yudistira bertanya, Apakah perbedaan antara rathri (malam) dan Shivarathri? Bisma menjelaskan lagi“ Bagi mereka yang telah menyadari keillahian Tuhan, setiap malam adalah Shivarathri. Bagi mereka yang tenggelam dalam hal-hal keduniawian, setiap malam adalah sama saja. Malam tersebut ditandai dengan kegelapan. Malam ini ditandai dengan penerangan. Spiritualitas adalah mercusuar yang menebarkan cahaya bagi orang-orang yang dipenuhi keputusasaan, tenggelam dalam nafsu keinginan duniawi yang takkan pernah terpuaskan. Nama Tuhan adalah mercusuar. Dengan melantunkan nama, sang pemilik nama akan bisa terpanggil. Untuk mengenali sifat Tuhan yang Maha Ada adalah makna dari perayaan Shivarathri. Makna tersebut tidak bisa terungkap hanya dengan melakukan puasa serta berjaga melewatkan malam saja. Itu semua hanya pelengkap dari apa yang sebenarnya menjadi tujuan utama. Namun proses pencapaian kesadaran Tuhan tidak seharusnya ditunda-tunda ke suatu waktu di masa depan. Hal itu harus dilakukan disini dan sekarang juga. Itu adalah makna dari Shivarathri.
Yudistira mengangguk, dan pencerahan kembali muncul, walaupun penipuan dan kebohongan yang dilakukan Duryodana itu telah terjadi pada dirinya, namun itu terasa indah, sebagai bentuk pembebasan dan pembayaran utang yang selama ini diperbuat . Om gam ganapataye namaha****
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar