Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 15 Mei 2019

Laku Semedi Sebagai Tradisi Kebatinan Kejawen

 Poniman

Memahami tentang budaya kejawen maka perlu diketahui bawa budaya dalam arti yang luas mencakup; ideologi, filosofi, system nilai, norma, etika, estetika, juga candi, seni tari, seni lukis, bahasa, bangunan, sistem simbol, gambelan, folklore, kearifan lokal, serta secara lebih dinamik mencakup sikap hidup, gaya hidup, dan cara hidup seperti budaya disiplin, budaya kerja, budaya instan dan lain-lain.

Manusia sebagai objek utama bagi suatu Agama yang memiliki budaya. Dalam mempertahankan budayanya, masyarakat Jawa memiliki kreatifitas yang fleksibel terhadap pengaruh dari luar. Sehingga kebudayaan Jawa semakin mengalami peningkatannya. Tradisi masyarakat Jawa lebih meningkat pada masa masuknya paham Hindu. Menurut Soekmono, yang dimulai dari Kutai Kalimantan sekitar tahun 400 Masehi dan masuk ke daratan Jawa tepatnya di Kerajaan Tarumanagara Jawa Barat sekitar tahun 400-500 Masehi sampai ke wilayah Jawa Timur yaitu mencapai masa kejayaaanya pada berdirinya kerajaan Majapahit sekitar tahun 1293-1528 Masehi. Namun baru pada tahun 1429-1522 dikatakan sebagai masa kelam pengaruh Hindu ditanah jawa akibat kejayaan Majapahit mengalami kemunduran.

Bagi penganut Kejawen sebagai dasar prilaku yang paling utama, jika mereka sudah menemukan Jatidirinya. Untuk mengetahui jatidirinya itu, maka ada beberapa langkah yang harus dijalankan sehingga tercapai apa yang dikehendakinya. Oleh karena itu dalam penulisan ini perlu diketahui secara mendalam tentang bagaimana cara menemukan jatidiri pengikut Kejawen. Selanjutnya bagaimana prilaku yang harus dijalankan untuk mengetahui jatidiri manusia bagi penganut Kejawen.
Untuk menemukan Jatidiri bagi penganut Kejawen, maka terlebih dahulu perlu diketahui beberapa pengetahuan tentang Jagad Cilik atau Buana Alit, yaitu badan manusia itu sendiri. Bahwa dalam tubuh manusia ada tiga alam, namun manusia sendiri tidak menyadari akan keberadaan alam tersebut. Sama seperti raga ini, manusia pun tidak merasa bahwa kita memiliki raga ini. Banyak manusia yang belum menyadari keberadaan ketiga alam tersebut. Bahwa karena keberadaannya memerlukan kesadaran ilmu, maka dalam hal ini perlu dijelaskan tentang ketiga alam tersebut dalam badan manusia itu. Adapun Ke tiga alam tersebut adalah: alam Guru loka berada di otak; alam Indra loka berada di hati; dan alam Jana loka berada di kelamin.

Guna mengetahui pemahaman atas ketiga alam tersebut, maka perlu diketahui keberadaannya dalam tubuh manusia. Hal ini tidak terlepas karena adanya posisi keadaan diri. Saat manusia tengah berpikir, maka diposisikan pada tengah berada di guru loka, saat manusia merasa sedih, senang, diposisikan berada di indra loka. Ketika kita beraktivitas fisik, diposisikan berada di jana loka. Posisi ketiga alam tersebut harus diyakini terlebih dahulu bagi yang belum memahami. Dengan demikian maka bagi penganut Kejawen dapat masuk pada pemahaman pada tingkatan lebih lanjut.

Memahami Badan Pikir
Pemahanan adanya badan pikir sangat diperlukan karena pikiranlah yang mampu mengendalikan kesadaran sebelum masuk pada tataran lebih lanjut. Bekerja dengan menggunakan badan pikir itu dalam bahasa Jawa ada beberapa macam, seperti: Mikir, nggagas, manah, nyuraos, nyipta, ngeling-eling, dan lain sebagainya. Hanya dalam bahasa Indonesia, hal-hal tersebut memang kurang ditegaskan (diuraikan), paling hanya sekedar: berpikir, mengingat-ingat, mencipta. Oleh karenanya di sini perlu saya sebutkan macam-macam dari badan pikir itu dalam bahasa Jawa sebagai berikut.

Mikir
Kata mikir dalam bahasa Jawa itu dilakukan ketika kita tengah menghitung sesuatu, seperti: menjumlah, mengurang, membagi dan mengalikan bilangan itu kita harus berpikir. Bagaimana cara menggapai tujuan dan cita-cita, kita juga harus berpikir. Intinya, di dalam menjalani hidup ini kita selalu berpikir, mulai dari bangun tidur hingga kembali mau tidur, kita tidak pernah berhenti berpikir, kecuali suatu hal yang sudah menjadi suatu kebiasaan, kita memang tidak pernah berpikir dan sudah secara langsung dilakukan akibat terbiasa.
Nggagas
Kata nggagas ini sebenarnya juga tidak jauh berbeda dengan kata mikir, tetapi yang disebut  menghitung seperti menambah, membagi, mengurangi, mengalikan itu bukan termasuk nggagas sehingga perlu diperdalam lagi misalkan tetang keberadaan Tuhan yang dikatakan Maha Adil, maka ada kalimat nek tak gagas Tuhan itu Adil ya dalam membagi rejeki pada manusia.

Manah (Nggalih)
Kata manah untuk memperdalam perlu perumpamaan misalkan adanya orang yang baru bermain catur, halma, main kartu dan lain sebagainya, tentunya akan berpikir bagaimana supaya bisa menang. Selama kita terpaku dalam permainan itu, kita sampai-sampai jarang berbicara dengan orang sekeliling kita. Karena kita tengah nglimbang-nglimbang, ngonceki, bagaimana caranya supaya kita bisa menang. Ketika saat itu terjadi, jika pikiran kita nggrambyang, tidak wening, tidak konsentrasi, tentu akan mudah dikalahkan, terlebih jika dalam bermain itu kita merasakan suatu perasaan yang tidak enak, muka terasa panas, khawatir, tidak semeleh dan lain sebagainya, maka jangan berharap kita akan menang seperti yang diharapkan semula.

Ngeling-eling
Kata Ngeling-eling (mengingat-ingat) itu berbeda juga dengan ketiga hal di atas. Mengingat-ingat itu adalah mencari sesuatu yang terlupa, yang tadinya memang sudah tersimpan di cipta kita. Mengingat-ingat atas kejadian yang pernah dialaminya itulah jika belum ketemu perlu pengingatan secara mendalam yang dinamakan ngeling-eling.

Nyipta
Seperti kalimat daya cipta, maka kata nyipta itu adalah membuat wujud di dalam pikiran kita dengan bahan baku yang belum ada (kalaupun ada, bahan tersebut tidak berada di alam nyata).  Cipta itu mempunyai daya. Gambar/pemandangan yang indah menimbulkan perasaan senang di batin kita, sebaliknya, gambar yang tidak baik akan menimbulkan perasaan yang tidak enak di dalam batin kita.Oleh karenanya, jaman dahulu jika seorang wanita tengah hamil, disarankan oleh orang tua orang tua jaman dahulu untuk selalu menatap cangkir gading yang ada gambar Bethara Kamajaya dan Dewi Ratih, agar terpatri di cipta si biyung gambaran-gambaran yang indah-indah, dengan harapan kelak jika jabang bayi terlahir di dunia akan memiliki paras yang indah dan perasaan serta jiwa yang bagus, karena dayaning cipta si biyung ini pasti tumama ke dalam benih si jabang bayi tersebut. Jangankan benih yang sudah terbuahi, benih yang belum dibuahipun sudah ketamandayaning cipta si biyung atau ibunya.

Laku Semedi
Sebelum pada posisi semedi, maka perlu dipahami tentang puja semedi. Manungku Puja (Muja Samadhi) itu bagaikan orang konsentrasi, menyatukan daya pikir dan cipta kita hanya untuk memuja. Pada saat kita melakukan puja samadhi ini kita harus mantheng temenanan, yaitu menyatukan pikran secara teguh mateng tak tergoyahkan, tidak boleh menoleh kiri kanan. Jadi benar-benar hanya untuk muja. Perilaku muja ini pun juga hampir sama dengan nyipta, yaitu membuat sesuatu dengan bahan yang sudah ada dengan kekuatan cipta manusia. Kemampuan ini perlu disadari bahwa manusia bisa menciptakan hal ini membuktikan manusia adalah bentuk Jagad Cilik atau Bhuwana Alit. 

Manekung
Perilaku manekung adalah suatu proses dimana nalar dan rasamakarti secara bersamaan. Untuk lebih jelasnya, mungkin bisa saya gambarkan seperti orang yang tengah menyaksikan pertunjukan wayang kulit. Saat manusia menyaksikan pertunjukan wayang kulit, saking senangnya sampai-sampai kita lupa bahwa wayang yang bergerak kesana kemari dan yang berbicara itu adalah karena ulah sang dalang. Kita begitu terhanyut dengan pertunjukan itu, bahkan kadang kita sampai lupa pula akan keadaan sekeliling kita. Di situ kita hanyut dengan perasaan kita. Tenggelam dalam perasaan kita karena alur cerita dari wayang kulit tersebut. Tidak jarang kita juga ikut merasa sedih, senang, gembira, jengkel dan lain sebagainya. Saat itu seringkali nalar kita tidak bekerja, hanya perasaan yang terhanyut karena alur cerita tersebut.Jika nalar kita ikut makarti, tidak hanya kenyut saja, namun juga nggagas cerita yang tengah berlangsung tersebut, seperti: Benarkah cerita wayang itu dulu benar-benar terjadi. Di manakah letak kerajaan Amarta itu dan lain sebagainya. Seperti itulah gambaran dari yang dinamakan manekung, yaitu suatu proses di mana nalar dan rasa makarti secara bersamaan sehingga manusia mampu menyadari dirinya secara khusuk sampai terlupakan dalam kesadarannya sendiri atas peristiwa yang ia alami.

Maneges, Mahas Ing Ngasepi
 Maksud dari kalimat maneges, mahas ing ngasepi itu maksudnya mirengaken swaraning ngasonya (ngasepi). Jelasnya begini: “Ngasepi” atau “ngasonya” itu artinya: pun sepi, pun nyenyet, anu sing sepi, anu sing nyenyet. Bukan “sepi” nipun, dede “nyenyet” ipun, nanging “anu”-nipun yang sepi. “Anu“-nipun ingkang sepen nyenyet tersebut, oleh karenanya di sebut: ngasepi, ngasonya. Lalu dimanakah letaknya, papan dunungipun pun sepi, pun nyenyet itu tadi maka disinilah perlunya pemahaman bahwa ngasepi atau ngasonya ini adalah tempat yang jarang diambah manusia, yaitu telenging samodra, dimana seperti cuplikan kisah Dewa Ruci bahwa Werkudara bertapa di situ hingga bertemu dengan Dewa Ruci, yang kesit tan-kena ginrayang, tan kena ginatra, tansah nyamun, tan alit tan agung.

Ngasepi atau ngasonya itu adalah mirengaken yang dumunung di telenging batin kita, bagai Werkudara mendengarkan suara Sang Dewa Ruci. Jika swaraning ngasonya sudah terdengar jelas, Werkudara lantas masuk ke guwa garbane Sang Dewa Ruci.

(diambil dari buku berjudul “Pengaruh Ajaran Hindu Terhadap Kehidupan Spiritual Bangsa Indonesia (Prosiding),” Program Pascasarjana IHDN Denpasar. Artikel sudah diringkas sesuai ketersediaan kolom tanpa mengubah isinya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar