Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 15 April 2019

HOMO HOPINI LUPUS BUDAYA MANUSIA “MEMAKAN” MANUSIA di ZAMAN KALI

A. A. G. Oka Widana

Dari judul yang tersurat tersebut di atas tentu terbayang dalam dunia imajiner setiap pribadi bahwa tentunya ada hal yang mendasari, sehingga penulis berani mengemukakan istilah “Manusia Memakan Manusia” yang sungguh terasa ngeri. Apakah yang penulis maksud adalah tindakan kanibalisme?
Apakah demikian ekstrem pribadi manusia, sehingga berani memvonis realitas bahwa kesejatian manusia berada pada dinamika prinsip, pola pikir dan bahkan sikap yang demikian kejam? Tentu akan terasa demikian ekstrem manakala analisis hanya terpaku ke dalam kajian imajiner semata tanpa melatih pikiran berkembang ke dalam ruang pemaknaan, dan menjadi tantangan tersendiri bagi hati setiap pribadi untuk mencoba menggali narasi yang sebenarnya (tattwa/ filosofi) tersirat dari judul tersebut.

Seperti yang kita ketahui bersama, realitas “kekejaman” zaman Kali demikian terasa dari hari ke hari. Beragam tindakan kriminal, trend budaya korupsi di kalangan petinggi, penyalahgunaan narkotika dalam skala yang semakin besar, pemutarbalikan fakta melalui berita hoax yang sungguh menohok, pembunuhan yang membabi buta, hingga ke sensitifitas beragama yang mengarah pada perpecahan antarumat beragama seolah tumbuh semakin subur dari hari ke hari. Perlu kiranya kita merenung sejenak sembari bertanya, kira-kira “pupuk” apa yang (oknum) manusia pada era Kaliyuga ini gunakan, sehingga tindakan kriminal tersebut “tumbuh subur’ dengan cabangnya yang mampu menjalar ke tiap pelosok hati manusia lainnya. “Nutrisi” apa yang (oknum) manusia “suntikkan” hingga “duri tajam” kekejaman demikian lebat memenuhi hatinya? “Reward” memabukkan seperti apa yang (oknum) manusia dambakan hingga tindakan kejahatan seolah begitu “digandrungi” untuk dicoba, dan sebaliknya tindakan Dharma (kebenaran) justru makin dijauhi. Hal yang lebih unik lagi adalah, manakala diri justru tidak berani memukul kawan diasumsikan pengecut, diri lebih memilih diam (tenang) diasumsikan nyalinya ciut, diri tidak mau ikut tawuran dibilang penakut, padahal semua tindakan tercela tersebut sejatinya menandakan pikiran mereka sedang kusut.

Tidak dapat dipungkiri bahwa bagi sejumlah oknum konon menyaksikan orang lain (teman, sahabat) bahkan saudara tersiksa memberikan suatu kenikmatan tersendiri. Hal yang lebih lucu lagi adalah susahnya (oknum) manusia melihat orang lain bahagia dan ingin merebut kebahagiaan orang lain tersebut dengan beragam cara yang negatif, seperti menyakiti secara langsung (memukul, membunuh) maupun secara tidak langsung, baik itu dengan jalan mengirimkan “black magic” dan yang sejenisnya. Mungkin realitas tersebut yang menginspirasi munculnya joke “susah melihat orang lain senang, namun senang melihat orang lain susah.” Tanpa bermaksud untuk menyudutkan pihak manapaun, namun demikianlah realitas yang terjadi. Sepertinya memang terbukti benar realitas zaman Kali sebagaimana yang disampaikan dalam Nitisastra, sargah IV.10, yang menguraikan bahwa; “karena pengaruh jaman kaliyuga, manusia menjadi kegila-gilaan, suka berkelahi, berebut kedudukan yang tinggi-tinggi, mereka tidak mengenal dunianya sendiri, bergumul melawan saudara-saudaranya sendiri, mencari perlindungan kepada musuh, barang-barang suci dirusak, tempat suci dimusnahkan dan orang dilarang masuk ke tempat suci, kutukan tak berarti lagi, hak istimewa tidak berlaku, semua itu karena perbuatan orang-orang angkara murka.”

Mengacu pada sloka Nitisastra tersebut secara otomatis akan memberikan pertanyaan pada setiap pribadi terkait apakah anda ataupun kita termasuk orang-orang yang penuh dengan kegilaan, suka menyakiti sesama, senang berebut kedudukan dengan cara licik atau kecurangan dan bahkan dengan cara membunuh, hobi berkelahi dengan saudara sendiri hanya karena warisan, nyaman bergabung dengan geng atau organisasi berbau anarkis? Jika memang nurani anda atau kita secara jujur menjawab “iya”, berarti anda atau kitalah kandidat kuat guna menyandang gelar Homo Hopini Lupus atau generasi yang hobi membiasakan diri mencari kesenangan duniawi dengan jalan menyakiti sesama atau menyerang sesama. Apakah diri harus bangga akan hal itu? Jika diri kembali mengingat wejangan indah dari Saracamuccaya, sloka 4 yang menyebutkan bahwa lahir menjadi manusia sungguh utama dan istimewa serta jalan untuk menolong dirinya sendiri hanyalah dengan senantiasa berbuat baik, tentunya diri sudah memiliki kesimpulan akhir yang jelas dan valid bahwa tidak ada tempat bagi perilaku-perilaku menyimpang untuk kita maklumi keberadaannya, termasuk tidak ada tempat bagi pribadi-pribadi “pemakan” insan sesama demi pemenuhan kenikmatan egosentrismenya sendiri.

Tentunya dengan menyaksikan dan menyadari realitas situasi jaman Kaliyuga yang demikian menyedihkan dan bahkan memprihatinkan, bukan berarti diri hanya perlu merunduk statis tanpa bergerak melakukan perubahan. Sudah seharusnya dan menjadi kewajiban bagi diri kita semua sebagai manusia yang memiliki daya pikir serta daya pembeda (viveka) yang mumpuni untuk berbenah diri. Evaluasi kembali “gelar-gelar” yang menyakitkan hati dan lepas dari jalur Dharma, sebagaimana halnya gelar sebagai “pemakan” sesama yang sering tanpa disadari telah disandang manakala egosentrisme yang menguasai. Diri harus tetap meyakini bahwa kebenaran akan selalu menang dalam kondisi atau situasi apapun. Sadari bahwa eksistensi diri sebagai manusia harus mampu mengendalikan sisi egosentrisme dalam diri (internal). Sadari pula bahwa sebagai makhluk yang dibekali akal pikiran yang mumpuni, seyogyanya diri mampu mengarahkan serta menolong diri sendiri dengan jalan berbuat yang benar, senantiasa membantu sesama dan bukan “memakan” atau “menyerang” sesama. Yakini bahwa Satyam evam jayate nantram, Satyena pantha vitato devayanah, Yena kramanty rsayo hyopta kamayantra tat satya asya paramam nidhanam Artinya: “Hanya kebenaran yang senantiasa jaya, bukan kejahatan, dengan kebenaran terbukalah jalan menuju Tuhan, kemanapun orang-orang bijaksana pergi, tercapailah keinginannya, mereka mencapai kebenaran yang tertinggi” (Mundaka Upanisad, 3.6). Penggores Pena.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar