Laporan Putu Sari, Yogyakarta
Untuk ketiga kalinya sejak tahun 2017, umat Hindu di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tanggal 3 Februari 2019 menyelenggarakan rangkaian menyambut hari raya Nyepi dengan melaksanakan Upacara Giri Kerti di wilayah Gunung Merapi sisi selatan yang masuk wilayah Kabupaten Sleman, DIY. Giri Kerti menyambut tahun baru caka 1941, tahun 2019 kali ini dihadiri oleh lebih dari 400 orang umat Hindu.
Giri Kerti bagi warga Sleman khususnya yang bermukim di sekitar Gunung Merapi bukanlah hal baru, karena berdasarkan informasi, setiap tahun warga di seputaran Gunung Merapi pasti melaksanakan upacara atau ritual dengan tujuan terciptanya keharmonisan alam, dengan sebutan lokal Merti Desa dan Labuhan. Kegiatan ini didukung Pemda Sleman dan Pihak Keraton yang dikemas dalam kegiatan melestarikan budaya lokal, dimana di dalamnya tidak bisa dilepaskan pasti ada ritual, doa-doa, labuhan, gunungan dan sesaji.
Umat Hindu, sebagai bagian dari warga Sleman dan DIY, kali ini di bawah Koordinasi Panitia Nyepi DIY dan PHDI Kabupaten Sleman, bekerjasama dengan PHDI DIY, Bimas Hindu Kemenag RI Provinsi DIY, PT AMI Yogyakarta, Pemda Sleman (Pemerintah Kecamatan Pakem), bersama seluruh elemen masyarakat Hindu DIY termasuk mahasiswa Hindu dari berbagai universitas ikut berpartisipasi melaksanakan rangkaian kegiatan Giri Kerti di Gunung Merapi, tepatnya di Obyek Taman Wisata Kaliurang.
Giri Kerti berasal dari bahasa Sansekerta, giri artinya gunung dan kerti artinya bakti atau pelayanan konteks memelihara, sehingga merunut arti masing-masing kata tersebut, Giri Kerti bermakna melakukan atau mewujudkan rasa bakti melalui pelayanan yang tulus ikhlas kepada Gunung dengan cara memelihara dan melestarikan sumberdaya alam di dalamnya. Pelayanan dalam konteks memelihara alam semesta yang dimaksudkan dalam bentuk: Pertama, upacara atau ritual sebagai wujud terima kasih kepada Sang Pencipta yang sudah menganugerahkan berbagai sumber kehidupan melalui gunung dan segala sumberdaya alam di dalamnya; kedua, laku atau action langsung melalui menanam bibit pohon yang bermanfaat untuk menjaga sumberdaya hayati tetap lestari, sehingga mendukung kehidupan makhluk hidup di sekitarnya.
Giri kerti yang ketiga kali dilakukan oleh Umat Hindu DIY ini didahului oleh prosesi kirab sesaji seperti tumpeng abang, tumpeng sewu lengkap dengan lauk pauknya, Bubur merah putih lengkap, segehan dengan gecoknya, sesaji buah-buahan dan kue/jajan pasar lengkap, rokok klobot dengan kinangan lengkap, sesaji teh kopi pahit, rujak, kembang setaman dan lain sebagainya yang masing-masing ditempatkan dalam tampah. Kemudian sesaji tersebut masing-masing diusung oleh ibu-ibu, diiringi Pasukan Bregodo dan diikuti iring-iringan umat Hindu sejauh sekitar 1 Kilometer mulai dari lokasi parkir Tlogo Putri sampai dengan lokasi acara, yaitu Taman Wisata Kaliurang.
Giri kerti tahun ini tidak menyertakan gunungan seperti perayaan Giri Kerti sebelumnya, namun demikian tumpeng yang diusung oleh Ibu-ibu umat Hindu juga merupakan simbol gunung. Baik gunungan maupun tumpeng adalah reflika gunung itu sendiri yang mengandung filosofi yang sama walaupun bahannya berbeda. Gunungan dibuat dari kayu dan bambu yang dirangkai sedemikian rupa menyerupai gunung kemudian di atasnya diisi dengan susunan hasil bumi, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, bunga dan di atasnya dilengkapi tumpeng dengan bumbu dapur.
Gunungan juga bisa diisi dengan kue. Gunungan bagi masyarakat Jawa merupakan simbul sarana yadnya yang dihasilkan oleh alam, sehingga menghadirkan gunungan dalam setiap upacara juga merupakan ungkapan rasa syukur atas anugerah hasil bumi yang melimpah.Tumpeng juga menyiratkan makna yang sama dengan gunungan walau hanya dibuat dari beras yang dimasak kemudian dibentuk seperti gunung. Keberadaan gunung menyiratkan makna mendalam sebagai sumber kemakmuran dan kesejahteraan makhluk hidup terutama Manusia.
Gunung telah memberikan kamandanu sebagai sumber kehidupan (amerta) yang tidak pernah habis-habisnya. Gunung telah memberikan inspirasi berkorban dengan tulus bagi seluruh makhluk hidup ciptaan Hyang Kuasa, Gunung telah memberikan perlindungan, kenyamanan, bagi makhluk hidup dan masih banyak lagi yang telah diberikan gunung kepada keberlangsungan kehidupan. Pantas dan tidak berlebihan, jika Gunung disebutkan oleh para bijak sebagai tempat yang sangat suci, tempat bersemayamnya para dewa dan roh suci. Wajar saja apabila umat Hindu memandang Giri Kerti menjadi sebuah momen sangat penting untuk mengejawantahkan rasa bakti dan syukurnya kepada Sang Pencipta melalui gunung yang ada di sekitarya.
Dalam sambutannya, Ketua PHDI Kabupaten Sleman, Bapak A.A. Alit Merthayasa, Ph.D., menyampaikan bahwa menurut sejarah yang disabdakan oleh Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X, di tempat inilah terakhir kalinya pada tahun 1878, leluhur kita melaksanakan yadnya sangat besar. Setelah tahun tersebut, tidak pernah lagi dilaksanakan, baru tahun 2014, Beliau sendiri Ngarso Dalem Sri Sultan HB X, duduk di hadapan, di bawah pohon kantil (cempaka) yang usianya sudah ratusan tahun tersebut. Satu lagi yang merupakan kaitan dengan tempat ritual yang sangat penting di sekitar Gunung Merapi adalah Batu Tumpang. Inilah yang menjadi alasan kenapa Giri Kerti dilaksanakan di Taman Wisata Kaliurang, yang berpindah dari 2 tahun terakhir pelaksanaan Giri Kerti di Pendopo Mbah Maridjan.
Ketua Parisada Sleman juga menyampaitama adalah nuwur tirta yang nantinya akan digunakan dalam tawur agung di Candi Prambanan, itulah sebabnya pelaksanaan Giri Kerti ini merupakan rangkaian upacara Tawur Agung Kesangakan bahwa kegiatan Giri Kerti ini terdiri dari 2 bagian, yaitu seremonial dan ritual. Ritual u, dimana tawur agung tersebut merupakan bagian utama dari perayaan hari raya Nyepi.
Camat Pakem dalam sambutannya menyambut baik dengan adanya Giri Kerti yang bahasa Jawanya Giri (Gunung) Kerti (memelihara). Camat juga mengapresiasi apabila Giri Kerti akan terus diagendakan, dirutinkan menjadi daya tarik wisata tersendiri di Pakem. Lebih lanjut Camat Pakem menyampaikan dengan adanya Giri Kerti, diharapkan Gunung Merapi menjadi bersahabat, aman terkendali, tidak ada gangguan yang bisa membahayakan warga.
Ketua PHDI DIY, Ir. Ida Bagus Agung, MT. dalam dharma wacananya menyampaikan bahwa Giri Kerti itu ada sumber ajarannya, terangkum dalam ajaran Sad Kerti. Kerti juga disebut kertih. Sad kertih ada enam: Wana Kertih (kaitan dengan hutan), Danu Kertih (kaitan dengan danau), Segara Kertih (kaitan dengan laut), Jagat Kertih (kaitan dengan buana agung dan buana alit), Atma Kertih (berkait dengan atma/jiwa), dan Manusa Kertih.
Giri Kerti melekat dengan Wana Kertih, itulah sebabnya ada acara kegiatan menanam pohon. Giri Kerti selalu terkait dengan Wana Kertih (hutan). Tujuan dari kegiatan ini memahayu hayuning bhuwana, mengharmoniskan alam semesta, mengharmoniskan bhuwana agung dengan bhuwana alit adalah memelihara alam lingkungan ini, karena manusia bisa merasa bahagia, merasa lengkap apabila damai, rukun, harmoni baik dengan Tuhan yang disembah, dengan sesama manusia, dan dengan alam lingkungannya.
Ketua PHDI DIY juga mengajak umat Hindu untuk memusatkan bayu, sabda, idep, memahayu hayuning bhuwana alit, membersihkan dan menyucikan atma yang ada dalam diri masing-masing, karena sejatinya manusia itu bukan badan tetapi sejatinya kita atman itu sendiri.
Selesai acara seremonial, sebelum memasuki acara ritual, dilakukan penanaman pohon oleh Direktur Utama PT. AMI, bersama Ketua PHDI DIY, Pembimas Hindu, Ketua PHDI Kabupaten Sleman, Ketua Panitia Nyepi DIY.
Gunung Merapi telah menjadi saksi sejarah tumbuh dan berkembangnya peradaban hebat di jaman Mataram Kuno. Gunung Merapi Juga telah memberikan anugerah amerta sumber kehidupan yang tidak pernah habis bagi masyarakat di sekitarnya maupun masyarakat DIY termasuk umat Hindu hingga saat ini. Maka Upacara Giri Kerti harus terus dilakukan tanpa menunggu datangnya hari raya besar, karena kewajiban kita sebagai manusia untuk mensyukuri, berterima kasih, menjaga dan melestarikan hutan, gunung dan alam untuk kesejahteraan dan kemakmuran makhluk hidup termasuk kita di dalamnya.
Hal seperti ini sangat sejalan dengan kondisi sekarang yang sudah terjadi, bencana tanah longsor, banjir dimana-mana disebabkan karena perbuatan kita sebagai manusia yang sudah lalai untuk menjaga lingkungan tetap lestari. Pohon yang belum saatnya dipanen ditebangi, tanah produktif beralih fungsi, lahan kosong dibiarkan begitu saja, tanah dengan kontur miring didirikan bangunan dengan dalih penciptaan peluang ekonomi. Semua itu menghasilkan multiplayer effect, yang tanpa disadari keserakahan tersebut telah menjerumuskan diri kepada hadirnya ketidaknyamanan, maka respon sebaliknya ditunjukkan oleh alam lingkungan itu sendiri, berpulang dari apa yang kita buat, tanpa memperhatikan keharmonisan keseimbangan alam, terjadilah yang kita sebut bencana. Bukti bahwa jika kita tidak mampu membuat harmonisnya lingkungan, maka lingkungan itu sendiri yang menyeimbangkan diri.
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar