Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Jumat, 15 Maret 2019

Kisah Ganesa dalam Berbagai Sumber

Ni Made Riani
Balai Diklat Keagamaan  Denpasar

Di Indonesia Ganesa lebih populer dikenal dengan dewa pengetahuan atau dewa kekuatan, maksudnya adalah dewa yang mampu menghalau segala kekuatan jahat dan mara bahaya, sehingga kehidupan menjadi aman dan sejahtera. Dewa Ganesa bersenjatakan kapak dan Trisula.   Di samping gelar di atas Ganesa juga merupakan  salah satu dewa terkenal dalam agama Hindu dan banyak dipuja oleh umat Hindu, yang memiliki gelar sebagai dewa pengetahuan dan kecerdasan, dewa pelindung, dewa penolak bala/bencana, dan dewa kebijaksanaan.

 Lukisan dan patungnya banyak ditemukan di berbagai penjuru India; termasuk Nepal, Tibet dan Asia Tenggara. Dalam relief, patung dan lukisan, ia sering digambarkan berkepala gajah, berlengan empat dan berbadan gemuk. Ia dikenal pula dengan nama Ganapati, Winayaka. Dalam tradisi pewayangan, ia disebut Bhatara Gana, dan dianggap merupakan salah satu putera Bhatara Guru (Siwa).

Berbagai sekte dalam agama Hindu memujanya tanpa mempedulikan golongan. Pemujaan terhadap Ganesa amat luas hingga menjalar ke umat Jaina, Buddha, dan di luar India. Meskipun ia dikenal memiliki banyak atribut, kepalanya yang berbentuk gajah membuatnya mudah untuk dikenali. Ganesa mahsyur sebagai “Pengusir segala rintangan” dan lebih umum dikenal sebagai “Dewa saat memulai pekerjaan” dan “Dewa segala rintangan” (Wignesa, Wigneswara), “Pelindung seni dan ilmu pengetahuan”, dan “Dewa kecerdasan dan kebijaksanaan”. Ia dihormati saat memulai suatu upacara dan dipanggil sebagai pelindung/pemantau tulisan saat keperluan menulis dalam upacara. Beberapa kitab mengandung anekdot mistis yang dihubungkan dengan kelahirannya dan menjelaskan ciri-cirinya yang tertentu.

Ganesa muncul sebagai dewa tertentu dengan wujud yang khas pada abad ke-4 sampai abad ke-5 Masehi, selama periode Gupta, meskipun ia mewarisi sifat-sifat pelopornya pada zaman Weda dan pra-Weda.  Ketenarannya naik dengan cepat, dan ia dimasukkan di antara lima dewa utama dalam ajaran Smarta (sebuah denominasi Hindu) pada abad ke-9. Sekte para pemujanya yang disebut Ganapatya,  yang menganggap Ganesa sebagai dewa yang utama, muncul selama periode itu. Kitab utama yang didedikasikan untuk Ganesa adalah Ganesapurana, Mudgalapurana, dan Ganapati Atharwashirsa.

Etimologi dan nama lain
Ganesa memiliki banyak gelar dan nama pujian, termasuk Ganapati dan Wigneswara. Gelar dalam agama Hindu yang dipakai sebagai penghormatan, yaitu Sri (Sanskerta: sri, juga dieja Shri atau Shree) seringkali ditambahkan di depan namanya. Salah satu cara yang terkenal dalam memuja Ganesa adalah dengan menyanyikan Ganesa Sahasranama, sebuah doa pengucapan “seribu nama Ganesa”. Setiap nama dalam sahasranama mengandung arti berbeda-beda dan melambangkan berbagai aspek dari Ganesa. Sekurang-kurangnya ada dua versi Ganesa Sahasranama; salah satu versi diambil dari Ganeshapurana, yaitu sastra Hindu untuk menghormati Ganesa. 

Nama Ganesa adalah sebuah kata majemuk dalam bahasa Sanskerta, terdiri dari kata gana, berarti kelompok, orang banyak, atau sistem pengelompokan, dan isha, berarti penguasa atau pemimpin. Kata gana ketika dihubungkan dengan Ganesa seringkali merujuk kepada para gana, pasukan makhluk setengah dewa yang menjadi pengikut Siwa. Istilah itu secara lebih umum berarti golongan, kelas, komunitas, persekutuan, atau perserikatan.

Ganapati, nama lain Ganesa, adalah kata majemuk yang terdiri dari kata gana, yang berarti “kelompok”, dan pati, berarti “pengatur” atau “pemimpin”. Kitab Amarakosha, yaitu kamus bahasa Sanskerta, memiliki daftar delapan nama lain Ganesa: Winayaka, Wignaraja (sama dengan Wignesa), Dwaimatura (yang memiliki dua ibu), Ganadipa (sama dengan Ganapati dan Ganesa), Ekadanta (yang memiliki satu gading), Heramba, Lambodara (yang memiliki perut bak periuk, atau, secara harfiah, yang perutnya bergelayutan), dan Gajanana (yang bermuka gajah).  Winayaka (Sanskerta: vinayaka) adalah nama umum bagi Ganesa yang muncul dalam kitab-kitab Purana Hindu dan Tantra agama Buddha. Nama ini mencerminkan sebutan terhadap delapan kuil Ganesa yang terkenal di Maharashtra yang mahsyur sebagai astawinayaka. Nama Wignesa (Sanskerta: vighnesa) dan Wigneswara (Sanskerta: vighnesvara) (Penguasa segala rintangan) merujuk kepada tugas utamanya dalam mitologi Hindu sebagai pencipta sekaligus penyingkir segala rintangan (vighna).

Nama yang mahsyur bagi Ganesa dalam bahasa Tamil adalah Pille atau Pilleyar (“anak kecil”). A. K. Narain membedakan arti istilah-istilah tersebut dengan mengatakan bahwa pille berarti seorang “anak” sementara pilleyar berarti seorang “anak yang mulia”. Dia menambahkan bahwa kata pallu, pella, dan pell dalam bahasa-bahasa rumpun Dravida berarti “gigi atau gading gajah”, namun lebih lazim diartikan “gajah.” Seorang penulis buku yang bernama Anita Raina Thapan menambahkan bahwa akar kata pille pada nama Pillaiyar mungkin aslinya berarti “gajah muda,” karena kata pillaka dalam bahasa Pali berarti “gajah muda.”

Penggambaran
Ganesa adalah figur yang terkenal dalam kesenian India. Citra tentang Ganesa menjamur di berbagai penjuru India sekitar abad ke-6. Tidak seperti dewa-dewi lainnya, penggambaran sosok Ganesa memiliki berbagai variasi yang luas dan pola-pola berbeda yang berubah dari waktu ke waktu. Dia kadangkala digambarkan berdiri, menari, beraksi dengan gagah berani melawan para iblis, bermain bersama keluarganya sebagai anak lelaki, duduk di bawah, atau bersikap manis dalam suatu keadaan.
Biasanya Ganesa digambarkan berkepala gajah dengan perut buncit. Patungnya memiliki empat lengan, yang merupakan penggambaran utama tentang Ganesa. Dia membawa patahan gadingnya dengan tangan kanan bawah dan membawa kudapan manis, yang ia comot dengan belalainya, pada tangan kiri bawah. Motif Ganesa yang belalainya melengkung tajam ke kiri untuk mencicipi manisan pada tangan kiri bawahnya adalah ciri-ciri yang utama dari zaman dulu. Patung yang lebih primitif di Gua Ellora dengan ciri-ciri umum tersebut, ditaksir berasal dari abad ke-7.[13] Dalam perwujudan yang biasa, Ganesa digambarkan memegang sebuah kapak atau angkus pada tangan sebelah atas dan sebuah jerat pada tangan atas lainnya.

Pengaruh unsur-unsur kuno dalam susunan penggambaran tersebut masih bisa diamati dalam penggambaran Ganesa secara kontemporer. Dalam sebuah penggambaran modern, satu-satunya variasi terhadap unsur-unsur kuno adalah tangan kanan bawah Ganesa tidak memegang patahan gading namun seolah-olah terarah ke mata pengamat dengan gerak tangan yang melambangkan perlindungan atau penyingkir ketakutan (abhaya mudra).[14] Kombinasi yang sama terhadap empat lengan dan atribut, muncul pada patung Ganesa yang sedang menari, yang merupakan tema terkenal.
Atribut umum lain adalah Ganesa digambarkan berkepala gajah semenjak awal kemunculannya dalam kesenian India. Mitologi dalam Purana memberi beberapa penjelasan mengenai kejadian yang menyebabkannya berkepala gajah. Salah satu perwujudannya yang terkenal, yakni Heramba-Ganapati, memiliki lima kepala gajah, dan variasi kecil lainnya pada jumlah kepala diketahui.

Sementara beberapa kitab mengatakan bahwa Ganesa terlahir dengan kepala gajah, pada cerita yang terkenal dikatakan bahwa ia memperoleh kepala gajah di kemudian hari. Motif utama yang terulang dalam cerita-cerita tersebut adalah bahwa Ganesa lahir dengan tubuh dan kepala manusia, kemudian Siwa memenggalnya ketika Ganesa mencampuri urusan antara Siwa dan Parwati. Kemudian Siwa mengganti kepala asli Ganesa dengan kepala gajah.

Detail kisah pertempuran dan penggantian kepala, memiliki beragam versi menurut sumber yang berbeda-beda. Dalam kitab Brahmawaiwartapurana terdapat kisah yang cukup menarik. Saat Ganesa lahir, ibunya, Parwati, menunjukkan bayinya yang baru lahir ke hadapan para dewa. Tiba-tiba, Dewa Sani (Saturnus), yang konon memiliki mata terkutuk, memandang kepala Ganesa, sehingga kepala si bayi terbakar menjadi abu. Dewa Wisnu datang menyelamatkan dan mengganti kepala yang lenyap dengan kepala gajah. Kisah lain dalam kitab Warahapurana mengatakan bahwa Ganesa tercipta secara langsung oleh tawa Siwa. Karena Siwa merasa Ganesa terlalu memikat perhatian, ia memberinya kepala gajah dan perut buncit.

Nama Ganesa pada mulanya adalah Ekadanta (satu gading), merujuk kepada gadingnya yang utuh hanya berjumlah satu, sedangkan yang lainnya patah. Beberapa citra menunjukkan ia sedang membawa patahan gadingnya. Hal penting di balik penampilan khusus ini dikandung dalam kitab Mudgalapurana, yang mengatakan bahwa nama penjelmaan Ganesa yang kedua adalah Ekadanta.
Perut buncit Ganesa muncul sebagai ciri-ciri khusus pada kesenian patung sejak zaman dulu, yang ditaksir sejak periode Gupta (sekitar abad IV-VI). Penampilan ini amat penting, karena menurut Mudgalapurana, dua penjelmaan Ganesa yang berbeda memakai nama yang diambil dari Lambodara (perut buncit, atau, secara harfiah, perut bergelantungan) dan Mahodara (perut besar).  Kedua nama tersebut merupakan kata majemuk dalam bahasa Sanskerta yang melukiskan bagaimana keadaan perutnya.

Kitab Brahmandapurana mengatakan bahwa Ganesa bernama Lambodara karena segala semesta  di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang ada di dalam tubuhnya. Jumlah lengan Ganesa bervariasi; wujudnya yang terkenal memiliki sekitar dua sampai enam belas lengan. Banyak penggambaran tentang Ganesa yang menampilkan ia bertangan empat, yang telah disebut dalam Purana dan ditetapkan sebagai wujud standar dalam beberapa kitab tentang ikonografi. Wujudnya pada masa awal memiliki dua lengan. Wujud dengan 14 dan 20 lengan muncul di India Tengah selama abad ke-9 dan abad ke-10. Ular adalah tampilan yang umum dalam penggambaran tentang Ganesa dan muncul dalam beragam bentuk.

Menurut Ganesapurana, Ganesa melilitkan ular Basuki di lehernya. Penggambaran lain tentang ular meliputi kegunaannya sebagai benang suci  yang dililitkan melingkari perut sebagai sabuk, dipegang di tangan, dililitkan di pergelangan kaki, atau dipakai sebagai mahkota. Pada dahi Ganesa kemungkinan ada mata ketiga atau simbol sekte Siwa (Sanskerta: tilaka), yang berupa tiga garis mendatar. Ganeshapurana mengatakan bahwa tanda tilaka sama saja dengan bulan sabit pada dahi kepala. Wujud tertentu dari Ganesa yang disebut Bhalachandra memasukkan unsur penggambaran tersebut. Namun warna lain yang spesifik dihubungkan dengan wujud tertentu. Beberapa contoh mengenai hubungan warna dengan gerakan meditasi tertentu dinyatakan dalam Sritattvanidhi, sebuah buku tentang ikonografi dalam Hinduisme. Sebagai contoh, putih dihubungkan dengan wujud Ganesa sebagai Heramba-Ganapati dan Rina-Mochana-Ganapati (Ganapati yang membebaskan dari belenggu). Ekadanta-Ganapati digambarkan berwarna biru selama bermeditasi dalam wujud itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar