Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Jumat, 15 Februari 2019

Pasraman dan Dialektika Hindu yang Dinamis

I Nyoman Tika

Saat ini pasraman  negeri mulai bermunculan di  Bali, seiring terpilihnya pemimpin daerah  dengan  visi yang jelas untuk memberdayakan  sradha umat  Hindu. Sebab, selama ini ada  semacam hambatan psikologis  dan  kurang militansi bila seseorang beragama Hindu di Indonesia, menyuarakan kepentingan umatnya. Artinya  ada semacam sindrom inferioritas, biasanya dominan  tokoh yang beragama Hindu selalu  mengalami gap  ‘argumentasi” dalam menjembatani kepentingan agama secara nasional. Ada berbagai dugaan mengapa  gejala ini muncul, salah satunya adalah, karena ‘konsepsi pendidikan agama masih berada di aras langit. Yang masih  terlalu  banyak menggunakan bahasa kontemplatif dan kerap tidak mengakar pada masalah realitas sosial.
Oleh karena itu, adagium, diam berarti emas, atau sedikit bicara agar tidak salah, sering membelenggu  pikiran dan membuat peserta didik tak mengembangkan nalar.  Dan mungkin bisa jadi, karena pembelajaran beragama Hindu kita hanya bersifat turun temurun, tanpa proses menuju  holistik dalam ketataran nyata. Untuk menghadapi masalah ini, pasraman modern menjadi solusi alternatif.

Pasraman bagi dunia mahasiswa  adalah  kampus dengan peran yang lebih melembaga. Oleh karena itu pasraman memang harus terus diimprovisasi menuju sebuah lembaga pendidikan khusus alternatif  bidang agama Hindu yang ke depan menjadi semacam kebutuhan nyata dalam ‘pembangunan karakter kehinduan di negeri ini.

Lembaga  pasraman ini merupakan alternatif, karena pendidikan agama Hindu yang diajarkan di sekolah formal dari tingkat sekolah dasar sampai dengan di sekolah tinggi agama Hindu, sesungguhnya  belum optimal, sebab pada sekolah formal agama Hindu diajarkan sebagai ilmu pengetahuan, sedangkan di pasraman tidak sebatas ilmu pengetahuan, melainkan sebagai bentuk latihan disiplin spiritual dan latihan menata hidup yang baik. Walaupun konsepnya meniru dengan Guru Kulam yang ada di India, namun sesungguhnya pasraman jauh lebih dari itu, yaitu pasraman mengemban visi yang sangat baik, yaitu membangun dan meningkatkan perilaku yang baik (spiritual) dari peserta didik. Dengan demikian diperlukan suatu cara untuk menggagas pengelolaan pasraman, agar dapat dikelola dengan baik

Pemerintah RI dalam KMA (Keputusan Menteri Agama) No. 56 Tahun 2014, pemerintah mengakomodasi pendidikan agama dan keagamaan Hindu. Dalam KMA ini, pendidikan agama dan keagamaan Hindu disebut Pendidikan Pasraman. Lalu, cikal bakal pendidikan Pasraman telah diundangkan dalam PP No. 55 Tahun 2007. Bahkan, embrionya sudah ada dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Salah satu   tugas  pasraman adalah  meyukseskan tercapainya tujuan pendidikan Hindu, salah satunya adalah, mempersiapkan kematangan dan daya resistensi siswa dalam mengadaptasi diri terhadap lingkungan fisik dan sosial. Dalam mencapai tujuan inilah proses dialog, diskusi  dengan topik-topik terhangat terus dilakukan di pasraman.


Pertanyaannya adalah mengapa Pasraman Hindu negeri di Bali susah tumbuhnya? Sebuah pertanyaan   sederhana. Jawabannya adalah, kesulitan untuk mendapatkan tanah, begitulah yang tertangkap dalam Musrenbang Pemda Bali baru-baru ini. Artinya, banyak pihak yang belum ikhlas menghibahkan tanahnya untuk pasraman Hindu, berbeda dengan membangun SD  jaman dahulu orang beramai ramai untuk itu. Padahal pasraman Hindu bisa berfungsi lebih dari pada sekolah umum.

Pasraman Hindu akan melatih siswa/mahasiswa dalam perilaku dan mencirikan sebuah kerendahan hati, sebab kerendahan seseorang diketahui melalui dua hal: banyak berbicara tentang hal-hal yang tidak berguna, dan bercerita padahal tidak ditanya.  Demikian kata Plato. Disanalah proses dialektika seseorang yang terus bergema dalam jiwanya.  Kita banyak berharap bahwa generasi yang didik di wilayah pasraman  akan bercerita dan ingin mengabdi pada negara adalah perihal kemapanan jiwa untuk berkorban, menjadi keadaan yang terus mengalami internalisasi dalam pasraman.
Lalu, intelektualitasnya ada di ruang yang mengayomi semua mazab. Percayalah kata Filsuf Plato itu, “Orang yang berilmu mengetahui orang yang bodoh karena dia pernah bodoh, sedangkan orang yang bodoh tidak mengetahui orang yang berilmu karena dia tidak pernah berilmu.” Sebuah makna kekisruhan berpikir yang demikian dalam,  sebab manusia itu adalah dimensi teatrikal yang menyeluruh, Perilaku manusia mengalir dari tiga sumber utama: keinginan, emosi, dan pengetahuan. Dan agama Hindu memberikan filosofi bahwa manusia dalam kehidupannya untuk mencapai tujuan hidup, dharma harta, kama, moksha.

Ketika kekisruhan  melanda dunia,  pasraman menjadi tempat yang nyaman untuk melatih dan mendamaikan pikiran. Dunia pasraman adalah dunia penuh argumentasi rasional. Tak salah  institusi pendidikan dibangun atas fondasi, kultur  Academos Plato menjadi kian tak bermakna manakala kebebasan akademik  ruang sepi yang berdebu. Padahal Plato sang penggagas sekolah dan kampus menjadi ruang pencarian pencerahaan yang tak bertepi dalam ranah rasional dan metafisika. Ini dilakukan oleh karena Socrates sang gurunya, harus dihabisi ‘dengan meminum  racun’ karena diduga memberikan pemikiran pencerahan alternatif bagi generasi muda. Pasraman akan tetap berdiri manakala ‘pendidikan Hindu yang diembannya’ berdasarkan nilai-nilai rasional.

Pasraman  layaknya kampus, tidak diharapkan  sepi dari ruang perdebatan ilmu dosen, maka manusia intelektual yang terdiri dari tubuh, jiwa, roh, tanah, dan air, dengan impian, fantasi. Dan juga emosi-emosi yang dominan dengan  rasa kurang, bangga, hasrat punya harga diri, nafsu untuk jadi kaya dan bermartabat atau jadi orang sederhana saja, tidak akan memberikan seberkas warna bagi institusi pasraman yang dibangunnya. Pasraman akan tetap sebagai seonggok batu dan puing yang tak bermakna  bagi sejarah peradaban bangsa. Disana  ruang pasraman adalah sebagai ruang dan tempat untuk sekedar menghirup udara kehidupan, namun tak memberikan makna dan warna bagi kehidupan itu sendiri, selain menjadi beban budaya, kalau hanya pasraman dibangun tanpa proses dialektika yang dalam. Termasuk di dalamnya ada kebebasan akademik, maha pasraman (kampusnya mahasiswa untuk pasraman) juga menjunjung tinggi  kebebasan akademik pun menjadi tuntutan penting dalam pasraman,  merupakan ruang bagi kebebasan yang dimiliki oleh anggota  akademika untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab dan mandiri. Artinya dosen boleh bebas melakukan ekspresi ilmu dan teknologi, termasuk seni, namun ada bingkai akademis yang dijunjung dalam percaturan manusia beradab. Dalam konteks itu, benar apa yang dikemukakan oleh Arthur Lovejoy (1948)  bahwa kebebasan akademik adalah kebebasan seseorang atau seorang peneliti di lembaga ilmu pengetahuan untuk mengkaji persoalan serta mengutarakan kesimpulannya baik melalui penerbitan atau perkuliahan tanpa campur tangan dari penguasa politik atau keagamaan atau dan lembaga tempatnya bekerja  kecuali apabila metode yang digunakannya tidak memadai atau bertentangan dengan etika profesional atau lembaga yang berwenang dalam bidang keilmuannya. Sehingga ruang kebebasan akademik memunculkan intensitas warna jati diri pribadi seseorang.
Jati diri untuk menyuarakan kebebasan atas eksistensi keilmuan itulah berdiri gagah di  ruang akademis yang sulit ditekan, manakala metode ilmiah seorang dosen benar-benar diberlakukan. Pada koridor inilah, Nymeyer (1956) memberikan pengertian yang tajam tentang makna kebebasan akademik itu sendiri, yaitu kebebasan akademik adalah kebebasan anggota fakultas untuk mengajar pada suatu sekolah dengan pikirannya sendiri dan mempromosikan spekulasi dan kesimpulan yang dibuat secara independen atau bebas dari apa yang mungkin institusi kehendaki.

Namun dunia akademis versus kekuasaan juga sering tampak tidak ada garis batas inilah yang tampak janggal dalam ruang yang dibangun oleh Machiavelli. Banyak dorongan yang mengikuti gaya Marchiavelli, dimana  nilai atas kekuasan para tokoh agama saat pemikirannya ia tuangkan mengharapkan sesuatu.  Dorongan pertama bukanlah dorongan religius, bukan untuk mendekatkan diri kepada kebaikan yang kekal, melainkan dorongan politik: berkuasa dan melahirkan ketertiban. Hanya itu, oleh karena itu mimbar kampus tidak selalu bebas, kebebasan akademis, selalu terkukung oleh sebuah firasat buruk “kekuasaan” dan demam panggung tanpa kekuasaan. Inilah polutan dalam atmosfer akademik, yang dibangun atas strata  dan kasta-kasta baru. Yang ditonjolkan adalah inovasi rekrutmen pendukung kekuasaan, dan bukan  kemampuan intelektual kampus.

Akhirnya harapan dialektika di pasraman Hindu dapat melahirkan sebuah komunitas yang terus berjuang secara politik tentang negara  yang damai, dan memberikan kebebasan untuk warganya beribadah secara bebas. Kondisi ini harus terus dijaga oleh negara, dimana peran intelektualnya harus terus secara dinamis menjaga kesimbangan antara dharma negara dan dharma agama. OM NAMA SIWAYA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar