Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Jumat, 15 Februari 2019

Mahabharata Lebih Hebat dari Tirtha Puskara

I Wayan Supartha

Dalam Swargarohanika Parwa, dialog antara Bhagawan Vaisampayana dengan Janamejaya menunjukkan bahwa betapa pentingnya Mahabharata untuk dibaca, didengar, dicamkan, karena dapat menghapus dosa dan papa. Atas pertanyaan Janamejaya, Vaisampayana menjelaskan, apalah artinya tirtha Puskara, dibandingkan dengan berkah-berkah yang bisa didapatkan dari pemahaman kitab Mahabharata. Kisah inilah air suci, air kehidupan yang langsung mengucur dari bibir Krsna Dvaipayana Vyasa. Sifatnya yang menyucikan itu tidak dapat dibandingkan dengan apapun juga. Ia tidak terbatas, keramat, menghapus segala dosa dan lebih-lebih lagi dapat memberikan keberuntungan.

Lebih lanjut, Vaisampayana menjelaskan, orang yang membaca cerita Mahabharata ini di hadapan orang banyak, haruslah orang yang bersih jasmani dan rohaninya, bertingkah laku sopan, dan pantas mengenakan jubah putih yang berarti dapat menguasai nafsu indriya, mentaati semua larangan dan matang dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Dijelaskan pula, dosa-dosa jasmani, perkataan dan pikiran akan hapus semuanya apabila mendengarkan cerita Mahabharata ini, bagaikan kegelapan yang lenyap dengan munculnya sang matahari.

Di Bali orang yang sering menyampaikan cerita Ramayana dan Mahabharata adalah para dalang. Bahkan, para dalang melakukan “pangruwatan” baik terhadap orang hidup maupun orang setelah meninggal. Ada pula kepercayaan sejumlah dalang, bahwa jika mementaskan wayang di siang hari atau “Wayang Lemah” maka dalang itu memakai pakaian serba putih. Dengan demikian, apa yang dilakukan umat Hindu di Bali dalam aktivitas keagamaan rupanya sudah sesuai dengan amanat kitab-kitab suci.

Pokok-Pokok Ajaran Itihasa
Ramayana karya Maharsi Valmìki disebut Mahakavya yang artinya karya puisi yang besar (agung). Yang memenuhi semua persyaratan sebuah naskah dalam bentuk puisi. Sebagai persyaratan sebuah Mahakavya diperlukan  adanya pahlawan laki-laki dan pahlawan perempuan. Dewi Sita dalam Ramayana memegang peranan yang sangat penting dan dominan sebagai pahlawan wanita dalam mahakarya tersebut. 
 
Cerita Rama sesungguhnya merupakan tuntunan mulia untuk seluruh umat manusia di seluruh dunia, sejak masa yang silam hingga dewasa ini masih relevan. Cerita ini sama seperti amrta, sama seperti Sungai Ganga yang maha suci (nadìtama). Cerita ini mengandung koleksi beberapa idealisme agung seperti putra yang dermawan, kakak yang ramah, suami yang tercinta dan penuh tanggung jawab. Ayah yang memenuhi kewajiban dan contoh raja bijak pelindung warga negara, Rama yang merupakan tokoh dan pahlawan utama dalam Ramayana dianggap lebih tinggi dari Gunung Sumeru, lebih besar dari langit, lebih dalam dibandingkan dengan dalamnya samudra dan lain-lain memuji kemuliaan Srì Ràma, oleh karena itu cerita ini sangat terkenal di seluruh dunia.

Di Asia Timur dan Tenggara cerita Sri Rama sudah sangat populer dan menduduki tempat yang sangat terhormat. Di Laos cerita Rama dikenal sebagai Fa Lak-Fa Lam (Lak = Laksmana, Lam= Rama, Rama dan Laksmana). Di Thailand dikenal sebagai Ramakien  dan di Indonesia dikenal sebagai Ramayana Kakawin. Cerita Rama ini sangat umum sebagai cerita wayang Indonesia.
Istilah Yunani “epos” adalah padanan dari istilah Sanskerta Itihasa. Kedua epos Iliad dan Odisseus (Odyssey) dan buku I Sejarah dari Titus-Livius merupakan padanan Yunani-Romawi kuno (Pra-Nasrani), dari Mahabharata dan Ramayana. Istilah Yunani “epos” menjelma menjadi istilah “epopee” di dalam bahasa Perancis (Tristani, 2002:1).

Menurut tradisi sastra India, kitab Mahabharata mengandung beberapa unsure, yaitu: ajaran tentang dharma, filsafat hidup, kesusastraan, musik, kesenian, bentuk bangunan, permainan, tari-tarian, ilmu nujum, ilmu falak (astronomi), dan sebagainya. Kitab Mahabharata dikenal juga sebagai Pancama Veda (Veda kelima). Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud-Nya sebagai Krsna mengatakan rahasia àtma (jiwa) kepada Arjuna dan jalan seseorang untuk membebaskan dirinya dari rangkaian hidup dan mati untuk mencapai Moksa, bersatu kembali dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Dilihat dari isinya, sesuai dengan sloka dalam Adiparva, maka kitab Mahabharata digambarkan sebagai kitab Dharmasastra, sebagai Arthasastra, Kamasastra, dan sebagai Moksasastra. Lebih jauh dinyatakan bahwa apa saja tentang ajaran dharma, artha, kama dan moksa, terkandung dalam kitab Mahabharata ini, barangkali dapat dijumpai di tempat-tempat lainnya, tetapi apa yang tidak ada di dalam kitab ini tidak akan pernah dijumpai di kitab-kitab lainnya (Dharme carthe ca kame ca mokse ca Bhsratarsarbha, yadihasti tadanyatra yannehasti na kutra kvacit. Svargarohanaparva. V.50).
Sloka Svargarohanparva (V.50) di atas diterjemahkan dalam kitab Sarasamuccaya (1)  berbahasa Jawa Kuno sebagai berikut.

“Anaku kamung Janamejaya, salviring varavarah, yavat makapadarthang caturvarga, savataranya, sakopanyasanya, hana juga ya ngke, sangskepanya, ikang hana ngke, ya ika hana ing len sangkeriki, ikang tan hana ngge, tan hana ike ring le sangkeriki”.

 “Anakda Janamejaya, segala ajaran tentang catur varga (Dharma, Artha, Kàma, dan Moksa) baikpun sumber, maupun uraian arti atau tafsirnya, ada terdapat di sini; singkatnya, segala yang terdapat di sini akan terdapat dalam sastra lain; yang tidak terdapat di sini tidak akan ditemukan dalam sastra lain dari sastra ini”

Mahabhàrata tidak hanya puisi sejarah kepahlawanan (itihasa, tetapi juga merupakan buku hukum dan moralitas (dharmasastra), buku etika (tata susila) atau nìti, dan faktanya merupakan sebuah buku ensiklopedia tentang budaya India, yang di dalamnya terdapat berbagai permasalahan moralitas. Menurut S. G. Kantawala (1989:89) Mahabharata merupakan kompedium berbagai legenda, cerita-cerita, pengajaran dan pendidikan, hukum, moral, filsafat, dan sebagainya. Mahabharata juga disebut sebuah Kavya, sebuah Dharmasastra, dan sebuah cerita kepahlawanan (Itihàsa) seperti dijumpai dalam Àdiparva (56.21, 56.19, 1.17, 1.52, 56.18). Berdasarkan kutipan di atas Mahabharata merupakan sebuah cerita berbingkai yang di dalamnya terkandung berbagai pengetahuan, moralitas, hukum, pendidikan budi pekerti, filsafat hidup, cerita kepahlawanan, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar