Krama Adat Kerta Winangun Kota Palu merupakan organisasi keumatan yang ada di kota Palu dimana krama adat menaungi lima banjar yang ada di kota Palu. Setiap banjar yang ada memiliki jumlah anggota tidak sama, tetapi jumlah anggota krama secara menyeluruh di Kota Palu kurang lebih 545 KK. Salah satu kewajiban krama adalah memberikan pelayanan terhadap umatnya baik dalam hal suka maupun duka.
Dalam hal kedukaan setiap anggota krama adat yang mengalami duka akan mendapatkan haknya sesuai dengan Awig-awig atau peraturan karma, yaitu mandapatkan patus yang mana tujuan patus tersebut adalah membantu meringankan beban setiap anggota yang mengalami kedukaan sampai dengan prosesi Ngaben dan Ngelinggihang Sang Lina.
Bencana alam gempa bumi, tsunami, dan Liquifaksi yang terjadi di Kota Palu pada 28 September 2018 lalu menyebabkan begitu banyak korban Jiwa. Meski ada kesulitan mengumpulkan data pasti terkait jumlah umat Hindu diluar anggota krama yang terdaftar dalam data base yang menjadi korban keganasan tsunami dan liquifaksi, namun dapat dipastikan ada 4 anggota krama adat Kota Palu dinyatakan meninggal dunia. Untuk meringankan beban umat Kota Palu yang mengalami musibah tersebut, maka krama adat melaksanakan pengabenan massal atau ngaben bersama.
Ngaben massal kali ini juga dibuka untuk umum bagi umat Hindu di seluruh kabupaten di Sulawesi Tengah. Menurut Ketua Panitia Pelaksana I Wayan Darmadi, S.Si, M.Pd., didampingi Sekretaris Panitia I Nyoman Lastika, Amd., mengatakan, Ngaben massal kali ini diikuti warga dari Kota Palu, Kabupaten Morowali, Parigi Moutong, Donggala. Tidak hanya itu, Darmadi menyebutkan bahkan ada peserta Ngaben dari Desa Baras, Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat dan satu peserta dari Jimbaran Bali. Jumlah peserta keseluruhan 79, dengan rincian 40 peserta Ngaben dan 39 sampai pada upacara Ngelungah.
Rangkaian prosesi Pengabenan Massal yang telah disosialisasikan kepada warga yang akan mengikuti pengabenan ini secara garis besar adalah sebagai berikut:
Pada hari pertama sabtu 8 Agustus 2018 dimulai dengan pembagian sarana upakara kepada setiap peserta dilanjutkan dengan penyampaian arahan kepada seluruh peserta berkaitan dengan teknis jalannya prosesi yang akan dilalui. Masih di hari pertama prosesi Ngeplugin/Nangunang/Ngendag dilaksanakan dengan runtutan yang pertama peserta membawa sarana Daksina Pengawak/Pengadeg ke lokasi prosesi. Di tempat tersebut dilaksanakan proses ngeplugin yang dipimpin oleh Pinandita atau Jero mangku, prosesi ini bertujuan untuk Ngelinggihang atau menstanakan sang lina di daksina pengawak yang mana daksina pengawak itulah yang akan diproses selanjutnya.
Selanjutnya memunjung dilaksanakan di bale Petak, selain memunjung juga dilaksanakan proses memberikan Oton dan Mesangih bagi keluarga yang akan melaksanakan Upacara tersebut. Memunjung, memberikan otonan, dan mesangih merupakan suatu proses yang dilaksanakan oleh keluarga yang mana kegiatan tersebut tidak harus dilaksanakan oleh setiap peserta, tergantung dari atmanastuti keluarga tersebut. Selanjutnya dilaksanakan Prosesi Ngaskara yang dilaksanakan oleh Ida Sulinggih.
Pada hari kedua prosesi diawali dari mengusung DaksinaPengawak/Pengadeg dari pertigaan Jl. Soekarno-Hata menuju tempat prosesi menggunakan wadah. Kemudian Ngeseng atau pembakaran daksina Pengadeg/Pengawak dilaksanakan secara bersama-sama, setelah selesai proses pengesengan dilanjutkan dengan memasukkan abunya ke Bungkak Nyuh gadang bagi yang Ngelungah sedangkan bagi yang Ngabenabunya dimasukkan ke bungkak Nyuh Gading setelah itu dimasukkan ke Suku Tunggal dilanjutkan dengan meletakkan Suku Tunggal di Bale Petak dan dilanjutkan dengan prosesi Pengabenan Oleh Ida Sulinggih.
Pekiriman atau Ngayud pertama dilaksanakan ngubeng di Kuburan yang mana semestinya pelaksanaannya di laut atau di sungai, mengingat suatu dan lain hal sesuai petunjuk sulinggih, maka proses ini cukup dilaksanakan ngubeng di setra. Ngayud bermakna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh sang lina dengan simbolis menghanyutkan abu
Dilanjutkan Mekelud atau sering disebut Ngerorasin merupakan prosesi pembersihan lingkungan setelah prosesi pengabenan. Prosesi ini disertai dengan upacara Pecaruan dan dilanjutkan dengan prosesi Mepepegat oleh seluruh keluarga yang melaksanakan pengabenan.
Nyekah adalah upacara yang bertujuan untuk memutus ikatan atma roh leluhur dari unsur Panca Maha Butha dan Panca Tan Matra. Prosesi yang dilalui, yaitu Ngajum sekah, Ngaskara, Narpana, Ngeseng Sekah didahului dengan proses Meprelina Sekah merupakan rangkaian terpenting dimana pengesengan sekah ini merupakan simbol menghilangkan Panca Tan Matra dengan tujuan, agar sang atma dapat dengan damai menuju Kayangan/ Swah Loka tidak lagi terikat dengan keduniawian.
Nganyut Sekah merupakan kelanjutan dari proses membuang Panca Maha Buta dan Panca Tan Matra serta menyucikan atma yang dilaksanakan di laut dengan melarung Sekah yang dibawa dari prosesi dilaksanakannya penyekahan. Setelah selesai prosesi Ngayut Sekah dilanjutkan dengan prosesi Ngelinggihang Dewa Hyang yang telah disucikan di Daksina Linggih dilanjutkan dengan melaksanakan upacara Meajar-ajar ke pura, kawitan, namun pelaksanaan Meajar-ajar pada pelaksanaan pengabenan masal ini dilaksanakan Ngubeng di segara setelah selesai ngayut sekah.
Upacara Nilapati atau Ngunggahang dewa pitara/dewa hyang. Nilapati merupakan prosesi akhir pelaksanaan pengabenan dimana upacara ini merupakan prosesi Ngunggahang atau menstanakan Dewa Pitra di Sanggah Kemulan. Pada pelaksanaan prosesi ini dilaksanakan prosesi Pengesengan daksina linggih yang dibawa dari pantai, abu pengesengan tersebut dimasukkan ke bungkak nyuh gading dan dibungkus dengan kain putih lalu n pengabenan ini menggunakan dana sumbangan umat sedharma dari berbagai
sumber pasca bencana gempa bumi dari berbagai kalangan yang masuk ke
rekening Krama Adat sebanyak Rp.60 juta, sumbangan dari PHDI Propinsi Rp
40 juta, sumbangan dari umat secara umum dan selain itu setiapditanam di belakang sanggah Kemulan, setelah itu selesailah prosesi pengabenan tersebut.
Ketua Krama adat Kerthawinangun, Kota Palu, dr. Putu Melaya,M.PH., selaku penginisiatif Ngaben bersama atau Ngaben massal ini menegaskan, bahwa pelaksanaan Pengabenan Masal ini menghabiskan biaya kurang lebih Rp 200 juta. Pendanaa peserta yang berasal dari luar Kota Palu hanya dikenakan kontribusi atau iuran bagi yang ngelungah sebesar Rp 1 000.000, dan bagi yang Ngaben dipungut iuran Rp 2 juta. Nilai positif dari Ngaben bersama ini adalah biaya yang relative kecil dan kemudahan lainnya. “Ke depan Krama Adat berusaha untuk dapat melaksanakan upacara serupa berdasarkan kebutuhan umat,” harap Putu Melaya.
Ngaben Masal Geni Pranawa Krama Adat Kertha Winangun Kota Palu yang dilaksanakan di kawasan Pura Prajapati ini kapuput oleh Ida Pandita Mpu Acharya Bala Nata Dharma dari Griya Taman Sari, Tolai berjalan dengan lancar dan diiringi persembahan tari sakral berupa Topeng Sidhakarya dan tarian sakral lainnya yang dipersembahkan oleh dua seniman serba bias, yaitu Pak Korek dari Desa Lambunu dan Nyoman Slamet,S.Pd. M.Si.
(Wayan Pariatni).
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar