I Nyoman Tika
Bali sebagai destinasi wisata dunia dan diyakini sebagai etalase Indonesia harus dijaga dan lestarikan nilai-nilai yang berdasarkan Hindu itu. Untuk menjaganya perlu kekuatan baru, sebab berbagai persoalan baru di Bali kerap meminggirkan orang Bali itu sendiri, salah satu adalah revisi RTRW, khususnya pasal-pasal strategis yang berkenaan dengan tata ruang penggunaan lahan. Usulan Pemda Bali layak dikritisi dan diberikan masukan. Pada aspek inilah kepemimpinan di Bali bak bunga sedang memasuki fase sumalaga (menguntum) yang memberikan wajah Bali yang layak dipakai sebagai anirwaken (model) bagi daerah lain di Indonesia.
Pemimpin menjadi titik sentral dari revisi RTRW ini. Di koridor itu dalil bahwa seorang pemimpin adalah orang yang melihat lebih dari yang orang lain lihat, yang melihat lebih jauh daripada yang orang lain lihat dan yang melihat sebelum orang lain melihat. Seakan mendapat tempatnya yang sejati. Pemimpin sejatinya sebagai simbol yang ‘tumirun (ditiru) oleh rakyatnya, memang harus benar-benar ajeg pada kebenaran.
Membangun Bali memang harus waspada, sebab gempuran demi gempuran seakan terus terjadi baik dari luar maupun yang berasal dari diri dan kedirian orang Bali sendiri. Bali yang dibangun dengan kebudayaan Hindu yang telah berurat dan berakar sampai saat ini harus diakui telah membuat Bali bak gadis cantik yang memesona banyak orang, ke depan akan terus menjadi rebutan dan menjadi model untuk pengembangan pariwisata, maupun sosial budaya lainnya.
Sebuah pertanyaan muncul, tidakkah dengan kebijakan-kebijakan yang dirancang pengampu kebijakan di Bali, seperti revisi Perda 16/2009 tentang RTRWP Bali, sebagai sebuah langkah maju atau mundur atau membangun atau merusak Bali? Kedua dimensi itu yang kerap menjadi pisau analisis, agar kita selalu waspada, dan kita perlu renungkan kata bijak di atas dengan asumsi bahwa “pemimpin Bali” benar-benar melihat lebih dari yang dilihat orang lain, (warga masyarakat lainnya). Apakah ini yang dimaksud dengan ‘nangun kerti loka Bali” sesuai dengan visi baru Gubenur Wayan Koster terpilih? Perlu waktu untuk membuktikannya. Kekhawatiran sebagian masyarakat wajar adanya, apakah Bali akan menjadi lebih baik atau malah menjadi tambah rusak dengan aturan yang baru? terus menjadi bahan diskusi yang panjang dan bisa jadi melelahkan.
Salah satu usulannya mengubah Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dari 10 persen menjadi 40 persen. Usulan itu pun mendapat tanggapan para akademisi yang bisa diartikan merusak alam Bali, karena wilayah serapan berkurang, artinya bukankah hal seperti ini membawa bencana?
Gubernur mengajak semua pihak jangan hanya berpikir ekonomi, tetapi secara holistik, terintegrasi bahwa alam ini harus dijaga untuk keselamatan, kesehatan kita semua. Semua wajar meragukannya, sebab belum ada bukti yang menunjukkan bahwa kondisi itu menjadi lebih baik. Lalu sebelum lanjut, apakah yang dimaksud dengan KDB itu?
Koefisien Dasar Bangunan atau KDB merupakan angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan yang dapat dibangun dengan luas lahan yang tersedia. Apa maksudnya? Jadi, KDB adalah batas maksimal lahan yang diperbolehkan untuk dibangun dalam suatu tapak/site. KDB merupakan peraturan yang menentukan seberapa besar luas lantai dasar bangunan Anda yang boleh dibangun.
Apa saja yang terhitung sebagai KDB? KDB ditentukan sebagai bagian luas ruangan beratap yang memiliki dinding lebih dari 1,2 meter dan juga proyeksi bangunan. Proyeksi bangunan sendiri adalah ruang terbuka di lantai dasar yang berada di bawah bangunan dan atau unsur bangunan. Apabila luas proyeksi dinding yang memiliki tinggi tidak lebih dari 1,2 meter, KDB akan dihitung 50 persen dengan catatan tidak melebihi 10 persen dari nilai KDB yang telah ditetapkan. Jika luas proyeksi lebih dari 10 persen, maka KDB akan dihitung 100 persen. Peraturan tersebut juga berlaku untuk ramp sirkulasi kendaraan dan tangga terbuka.
Nilai KDB antara satu wilayah dengan wilayah lainnya tidak sama. Apa yang membuat nilai KDB di setiap wilayah berbeda-beda? Nilai KDB yang berbeda-beda disebabkan karena beberapa hal, antara lain adanya perbedaan peruntukan lahan dan juga lokasi daerahnya. Nilai KDB yang berada di daerah perkotaan pasti akan berbeda dengan nilai KDB di daerah pinggiran kota. Nilai KDB di kawasan industri pasti akan berbeda dengan nilai KDB di kawasan komersial. Kalau begitu, di mana kita bisa tahu besaran nilai KDB? Lalu, siapa yang menentukan perbedaan besaran nilai KDB tersebut? Biasanya nilai KDB dapat ditemukan dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) di masing-masing wilayah. Nilainya ditentukan oleh pemerintah berdasarkan kebutuhan setiap daerah.
Sebagai contoh, jika suatu daerah memiliki besaran nilai KDB 40 persen, itu artinya lahan di kawasan tersebut hanya diperbolehkan untuk memiliki luas lantai dasar sebesar 40 persen dari keseluruhan luas lahannya. Jika luas seluruh lahan 100 m2, maka luas lahan yang diperbolehkan untuk dibangun hanya sebesar 40 m2. Lahan yang tersisa selanjutnya hanya diperbolehkan untuk area terbuka atau ruang terbuka hijau.
Jika kita memiliki bangunan dan ingin mengetahui apakah bangunan tersebut sesuai atau tidak dengan nilai KDB yang berlaku, kita dapat mengeceknya dengan melakukan perhitungan nilai KDB. Dari perhitungan tersebut, kita bisa melihat apakah bangunan kita telah sesuai dengan besaran KDB yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau tidak.
Lalu apakah tujuan yang hendak dicapai dalam perubahan ini? Apakah permasalahan yang muncul saat ini, sehingga perubahan itu terjadi? Inilah beberapa permasalahan yang belum banyak diungkap ke publik. Penataan ruang apakah masih perlu dan dimana tempatnya, itulah yang hendak dilakukan?
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Lalu, pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, sudahkah selama ini dilakukan? Sebab masih banyak tumpang tindih tentang apa-dan apa yang tidak boleh dibangun di Bali,
Pertama, kawasan jalur hijau telah banyak berubah, ketika sang penguasa memiliki kehendak, sehingga rakyat hanya menjadi penonton atas banyaknya perubahan yang dilakukan. Maka dari itu, untuk Bali yang dibutuhkan pemimpinnya, “Pemimpin besar hampir selalu menjadi penyederhana yang besar yang dapat menyederhanakan melalui argumen, debat dan keraguan semata-mata untuk menawarkan kepada semua orang, agar bisa dan mengerti solusi.”
Kedua, bangunan hotel, tidak boleh melebihi tinggi phon kelapa. Masyarakat kurang tahu persis apakah perubahan ini akan terjadi dan orang boleh membuat bangunan tinggi-tinggi, disinilah kekhawatiran itu terjadi, sebab sangat langka dalil ini berlaku saat ini, yaitu pemimpin terbesar belum tentu orang yang melakukan hal terbesar. Dia adalah salah satu yang mencari dan menemukan orang untuk melakukan hal-hal besar.
Ketiga, untuk menjinakkan orang Bali, kerap menggunakan pameo ‘diangkat lalu lupa, maka diinjaklah. Inilah yang kerap digunakan. Bumbu-bumbu yang disuntikkan dari nilai orang Bali dengan bahan memabukkan bak ”psilocybin” yang diekstrak dari budaya Bali sendiri, sehingga kita lupa berbenah. Pemimpin juga kerap memberikan senyawa itu pada rakyatnya sehingga memabukkan. Di koridor itu ada pepatah untuk pemimpin: “Seorang pemimpin adalah orang yang melihat lebih dari yang orang lain lihat, yang melihat lebih jauh daripada yang orang lain lihat dan yang melihat sebelum orang lain melihat,” tulis Leroy Eims, seorang penulis dan pakar kepemimpinan dari Amerika serikat.
Kempat, korupsi, kolusi dan nepostime dan menyelamatkan dukungan untuk berkuasa, dan balas budi politik kerap mewarnai berbagai kebijakan-kebijakan ketika seseorang berkuasa, sebab selama ini kerap kebijakan lebih menguntungkan secara ekonomi bukan untuk masyarakat Bali yang sepenuhnya menunjang kebudayaan Hindu. Seakan teraleanasi warga Bali Hindu tetap mengais.
Kelima, penentuan kawasan strategis kenapa melanggar etika, dengan banyak pura dimanfaatkan obyek wisata, sebab penentuan kawasan strategis adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, pariwisata dan/atau lingkungan. Contoh sudah jelas disebutkan bahwa pengembangan kawasan perkotaan berdasarkan falsafah Tri Hita Karana disesuaikan dengan karakter sosial budaya masyarakat setempat dengan orientasi ruang mengacu pada konsep catus patha dan tri mandala serta penerapan gaya arsitektur tradisional Bali. Kondisi ini tak banyak yang dilakukan dan tidak ada teguran yang jelas.
Keenam, kerap kawasan suci diproritaskan, sebab yang dimaksud dengan kawasan suci sudah jelas kawasan tempat suci adalah kawasan di sekitar pura yang perlu dijaga kesuciannya dalam radius tertentu sesuai status pura sebagaimana ditetapkan dalam Bhisama Kesucian Pura Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat (PHDIP) Tahun 1994. Kasus OTT belakangan yang menghebohkan sudah membuktikan adanya ketidakpekaan terhadp Perda RTRW, sebab sudah jelas bahwa Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Namun tetap saja permasalahan seperti OTT itu menebar ketakutan. Lalu Bali akan tetap terjaga atau rusak, bukan oleh orang lain bisa jadi oleh masyarakatnya atau pemimpinnya yang rakus dan bukan melayani untuk kesejahteraan masyarakat luas.
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar