Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 15 Januari 2019

Apa yang Salah dengan Hindu-isme?


Anand Krishna

Jadi, pertama-tama dan yang terpenting, kesalahan ini harus diperbaiki. “Isme” didasarkan pada dogma dan doktrin. “Isme” harus memiliki “sebuah” kitab, seorang prophet, seorang savior, seorang utusan – dan jika ada lebih dari satu prophet, satu savior atau satu utusan, maka salah satu dari mereka harus berada di urutan teratas. Demikian pula, jika ada lebih dari satu kitab, maka salah satunya pasti lebih penting daripada yang lain.

“Isme” adalah tentang sistem kepercayaan. Dan, semua sistem kepercayaan harus didasarkan pada landasan kepercayaan tertentu, dogma dan doktrin tertentu. Para pengikut tidak dapat meragukan atau memperdebatkan landasan kepercayaan, dogma, dan doktrin tersebut. Mereka harus menerima semua hal tersebut apa adanya. Jangan bertanya! Titik.
Tidak ada yang salah dengan mengikuti sistem kepercayaan seperti itu, “isme” – “isme” seperti itu. Namun Hindu bukanlah sistem kepercayaan seperti itu. Hindu bukan “isme”.

Oleh karena itu, Saat Kita Menambahkan Akhiran “-isme” ke kata “Hindu,” kita kehilangan semangat Hindu yang non-dogmatis dan non-doktrinal. Kita mengurangi Hindu menjadi sistem kepercayaan yang berpatokan kaku pada kitab, sedangkan umat Hindu sesungguhnya paling banter menganggap kitab mereka sebagai petunjuk; sebagai buku panduan; sebagai sarana dan bukan tujuan. Kita menjadi eksklusif seperti kebanyakan sistem kepercayaan, dan tidak lagi inklusif yang sejatinya Hindu.

 Hindu-isme adalah Istilah yang Keliru
Bebaskan cara hidup Hindu, ilmu-sekaligus-seni hidup ala Hindu dari akhiran “-isme” – dan kesalahan pertama terperbaiki. Barulah setelah itu kita dapat mengapresiasi keindahan filosofi hidup non-dogmatis dan non-doktrinal ini. Barulah setelah itu kita dapat memahami spiritualitas murni Hindu yang melampaui segala bentuk sistem yang baku dan bisa menimbulkan fanatisme.
Hindu tanpa “-isme” adalah tentang dialog. Bagi Mind (gugusan pikiran dan perasaan) Hindu, sekadar monolog tidaklah memuaskan. Bagi Intelek Hindu, Tuhan bukan hanya  transenden dan abstrak, tetapi juga imanen, yang dekat. Tuhan adalah Yang Tak Berwujud sekaligus Yang Berwujud, karena semua wujud sesungguhnya adalah wujud-Nya. Ya, Tuhan mencakup semua gender sekaligus melampaui semua.

Bukan Hindu-”isme” tapi Hindu Dharma
Dharma mengacu pada seperangkat Hukum Alam, yang telah ada sejak entah kapan. Dan, jika waktu tidak terbatas, tak berawal dan tak berakhir, maka Dharma juga demikian, tak berawal dan tak berakhir.
Para resi dan bijak kita dulu – baik para ilmuwan jiwa dan mereka yang meneliti dunia kebendaan di masa lalu – telah sejak lama menyatakan bahwa seluruh ciptaan ini, keberadaan ini, alam semesta ini – universe atau lebih tepatnya multiverses ini – adalah Anadi dan Ananta, tanpa awal dan tanpa akhir.

 Fisikawan Generasi Baru Mulai Menyetujui
Ketika saya menulis kalimat-kalimat ini, dan ketika Anda akan membacanya kelak – serangkaian big bang masih terjadi. Galaksi-galaksi baru dan sistem perbintangan baru sedang terbentuk, alam semesta baru mulai terbentuk.

Jika Anda melihat satu episode penciptaan “sistem galaksi kita yang kecil mungil”– maka ya, kita dimulai dari “sebuah”big bang beberapa miliar tahun yang lalu, Stephen Hawking benar. Tapi, jika Anda melihat gambaran yang lebih besar, maka satu episode tunggal ini, di mana kita semua adalah bagian darinya, sebenarnya tidak terlalu berarti. Seluruh ciptaan ini, keberadaan ini amat jauh lebih besar dari tata surya kita, galaksi kita, alam semesta sebagaimana yang kita kenal.

Hindu Dharma disebut sebagai Sanatana atau Abadi
Istilah awal untuk Dharma yang digunakan oleh para resi zaman Veda adalah Rta. Kemudian, agar tidak keliru dengan istilah Riti yang berarti norma sosial atau duniawi, istilah lain – Dharma – diciptakan.

Riti berubah seiring waktu, dari waktu ke waktu. Norma-norma yang bagus – dalam artian masih relevan – dapat diteruskan, dapat dilanjutkan ke generasi berikutnya. Adapula yang sudah tidak relevan dan harus dibuang.
Tidak demikian halnya dengan Dharma. Dharma adalah tentang Hukum Alam Universal, yang tidak berubah dari waktu ke waktu. Malahan Dharma menyangga, menunjang alam semesta. Alam Semesta ini, seluruh keberadaan ini bergantung pada Dharma.Dharma adalah Sang Penyangga.
Kita sebut saja salah satu dari hukum tersebut, yaitu Hukum Ketiga Newton tentang Gerak menyatakan bahwa  untuk setiap aksi selalu ada reaksi yang sama besar dan berlawanan arah. Newton tidak menciptakan hukum ini, ia hanya menemukannya, memahaminya, dan meneruskannya, atau lebih tepatnya, berbagi pengetahuannya dengan kita.

Hindu menyebutnya sebagai Hukum Karma, Hukum Konsekuensi – setiap sebab memiliki akibat. Nah, hukum ini tidak berubah seiring dengan berlalunya waktu. Ia telah ada, ia masih ada, dan akan tetap ada selama alam semesta tetap ada, atau setidaknya ia tidak akan berubah dalam waktu dekat.
Jika hukum ini telah ada selama 4-5 miliar tahun terakhir atau lebih sejak “terciptanya” tata surya kita atau “kelahiran planet kita”, maka ia akan tetap ada setidaknya selama 4-5 miliar tahun atau lebih. Itu bila kita tetap menyetujui teori Hawking tentang alam semesta yang mengembang dan menyusut. Meski demikian, jangan khawatir, itu tidak akan terjadi selama beberapa miliar tahun lagi!

Hindu, Dharma adalah Sanatana
Sekilas saja mari kita lihat Hukum Pertama Termodinamika, yang juga dikenal sebagai Hukum Kekekalan Energi yang menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan; energi hanya dapat ditransfer atau diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Demikian pula pemahaman Hindu tentang jiwa. Jiwa tidak mati ketika tubuh dilepaskan. Jiwa bergerak untuk mengambil tubuh lain. Bahkan tubuh yang membusuk dan terurai di bawah tanah atau dibakar menjadi abu – tetap menjadi atom, dan atom juga tak termusnahkan.
Berdasarkan hukum-hukum universal tersebut yang tidak hanya mengikat manusia, tetapi semua bentuk kehidupan, baik yang bergerak seperti kita, atau tampaknya tidak bergerak dan lembam seperti gunung – Hindu, atau lebih tepatnya, Sanatana Dharma tidak bisa tidak menjadi inklusif karena memang itulah sifat alaminya.
Begitu kita memahami poin ini, kita menjadi sadar akan esensi kehidupan, akan hukum-hukum kehidupan. Dan, akhiran “-isme” pada Hindu akan gugur dengan sendirinya.

*Penulis lebih dari 180 judul buku dan Pendiri Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, www.anandashram.or.id, www.anandkrishna.org) | Periksa YouTube Channel dan Subscribe untuk upload baru setiap minggu: AnandAshramIndonesia dan AnandKrishnaIndo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar