Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 15 Januari 2018

Agama, Kepercayaan dan Keyakinan

Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memenangkan tuntutan para penganut kepercayaan terkait ketidaksetaraan perlakuan terhadap para penganut kepercayaan tersebut, di mana poin ke 2 amar putusan MK berbunyi “Menyatakan kata agama dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan ............. bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk “kepercayaan”,

Keputusan MK ini, dari pemahaman dan pendirian saya sebagai penganut Hindu, adalah keputusan yang patut diapresiasi dan disyukuri. Meskipun sebagai penganut agama yang diakui pemerintah saya cenderung terlindungi dari ketidakl-adilan atau ketidak-setaraan perlakuan khususnya dalam konteks undang-undang dimaksud, tetapi agama saya mengajarkan saya untuk berlaku adil meski bila keadilan itu mungkin akan merugikan saya dalam kalkulasi tertentu. Dalam itihasa Mahabharata dikisahkan, ketika 4 adik Yudistira mati dan Raja Yaksha memberikan kesempatan kepadanya untuk memilih salah satu dari saudaranya untuk dihidupkan kembali, Yudistira dengan penuh keyakinan memilih Nakula. Yaksha yang menguji bertanya, mengapa Yudistira memilih Nakula, bukan Bhima yang bertenaga seribu gajah atau Arjuna yang tak terkalahkan karena memiliki ilmu panah terbaik di jagat raya. Yudistira menjawab, ia memilih Nakula demi memberi keadilan bagi ibu tirinya, Dewi Madri. Satu anak Kunti masih hidup, yaitu dirinya. Maka ia memilih Nakula, agar ada satu anak dari ibu tirinya yang hidup. Pilihan Yudistira itu mengesampingkan kepentingan individunya sebagai raja yang membutuhkan ksatria hebat, tetapi ia memilih semata demi keadilan.


Kembali ke keputusan MK, 9 hakim konstitusi pantas mendapatkan rasa hormat dan saya yakin nama mereka akan dikenang sebagai pahlawan keadilan. Mereka, 9 hakim itu, sama seperti saya, adalah penganut dari “agama-agama resmi”, tetapi mereka mampu menghadirkan keadilan bagi orang lain di luar kelompok mereka. Mereka bahkan berhasil mengesampingkan kemungkinan kekecewaan dari kelompok-kelompok dalam agama mereka sendiri yang khawatir kehilangan pengikut karena beberapa pengikut berpotensi memilih kembali ke kepercayaan leluhur mereka. Sementara itu beberapa kelompok dari penganut agama-agama resmi sudah terlanjur nyaman menganggap agama yang mereka anut lebih tinggi posisinya dibanding aliran kepercayaan yang ada. Ini bisa jadi adalah hasil doktrinasi massif dari tokoh-tokoh agama dan pada beberapa tafsir didukung oleh ayat-ayat dalam Kitab suci.

Saya sendiri masih bingung, apa sebenarnya beda makna dari kata “agama”, “kepercayaan”, “keyakinan”. Dari KBBI, definisi agama disebutkan “sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya”. Sesuai definisi ini, rasanya sulit menarik garis tegas perbedaan antara agama dan kepercayaan. Karena - dalam kadar tertentu setiap kepercayaan juga pasti memiliki sistem yang mengatur tata kepercayaan, peribadatan kepada Tuhan yang mereka percayai, dan ajaran moral yang mengatur tata pergaulan sosial. Pada beberapa poin, kadang ajaran kebaikan mereka terasa lebih “bersifat spiritual lokal” dibanding tafsir-tafsir kitab agama resmi. Dari sisi ini, setiap kepercayaan juga secara substantif bisa bahkan harus disebut agama. Atau sebaliknya, setiap agama juga bisa disebut kepercayaan. Keduanya bersandar pada “keyakinan”, yaitu keyakinan penganutnya masing-masing. Mungkin karena itu, MK memutuskan “kata “agama”..... tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk “kepercayaan”. Saya memaknai kalimat tersebut sebagai: setiap kata “agama” harus diartikan pula sebagai “kepercayaan”. Kedua kata ini bisa saling menstubstitusi.

Beberapa teman bertanya: seberapa besar potensi keputusan MK ini mengurangi populasi agama yang saya anut? Saya jawab: saya tidak tau, saya tidak punya datanya. Mungkin saja beberapa penganut Hindu akan menanggalkan kata Hindu dan menggunakan kepercayaan saja. Mungkin saja. Jadi ada potensi kuantitas umat Hindu dalam tampilan statistik akan berkurang. Tapi apa sih sesungguhnya kepentingan meninggikan angka jumlah penganut itu? Apakah demi ego? Atau untuk keperluan budgeting karena alokasi anggaran negara untuk agama-agama resmi didasarkan pada persentase jumlah pengikut? Dari sisi perintah Tuhan dalam kitab yang semestinya kita jadikan petunjuk dalam bertindak, lebih penting mana : memenuhi tuntutan ego atau memberi keadilan bagi penganut kepercayaan itu? Saya pribadi yakin memilih yang kedua. Petunjuk itihasa yang saya sunting di atas itu jelas mengajarkan saya untuk mengedepankan sikap adil.

Secara kebetulan juga, ajaran yang saya anut tidak mengajarkan saya untuk menghakimi keyakinan lain. Agama Hindu tidak secara khusus memberikan penilaian atas kebenaran agama atau kepercayaan lain, bahkan tidak pula mendeklarasikan Agama Hindu sebagai satu-satunya jalan menuju Tuhan. Hal ini dapat dimaklumi karena dua alasan: pertama saat agama Hindu lahir hampir tidak ada persentuhan dengan agama-agama lain sehingga komparasi agama saat itu tidak dibutuhkan. Kedua, mungkin sebagai akibat dari kondisi pertama, agama Hindu mengajarkan untuk lebih fokus melihat ke dalam diri, bukannya sibuk mengurus “orang lain”. Dalam ajaran Hindu, “musuh” selalu berasal dari dalam diri (awidya, sad ripu, sapta timira). Menurut keyakinan Hindu, setiap mahluk (bukan hanya manusia) sedang menjalani evolusi secara kesadaran dan fisik, dari kekurang sempurnaan menuju kesempurnaan. Fisik adalah alat bagi kesadaran, sehingga fisik, badan material, selalu disesuaikan dengan level kesadaran. Kesadaran butha maka diberi badan butha, kesadaran binatang diberi badan binatang, kesadaran manusia memperoleh badan manusia. Dengan keyakinan ini, Hindu tidak secara hitam putih melihat sebuah keyakinan sebagai “sesat dan calon penghuni neraka” sehingga perlu “diselamatkan”, atau di lain pihak mengaku “sempurna dan satu-satunya jalan yang diakui Tuhan”, melainkan melihat agama dan kepercayaan sebagai tangga-tangga kesadaran yang harus dijalani dan didaki secara personal oleh setiap mahluk, setahap demi setahap, selangkah demi selangkah, menuju kesadaran illahi, di mana saat itu tidak ada lagi perbedaan antara “aku” dan “kamu” karena saat itu semua adalah Tuhan, aham brahma asmi.

Ajaran yang saya percayai menunjukkan 4 jalan menuju Tuhan yaitu jalan Karma (kerja), Bhakti (cinta dan ketundukan hati), Jnana (pengetahuan) dan Yoga. “Jalan mana pun yang kau tempuh (di antara 4 jalan itu), maka engkau akan sampai kepadaKU”, demikian sabda Brahman dalam Gita. Dengan ajaran ini, saya tidak mengalami kesulitan dan dilema etik ketika harus menjawab pertanyaan: di antara si Putu yang Hindu tetapi membunuh dengan Bill Gate yang non Hindu tetapi mendermakan trilyunan hartanya untuk kemanusiaan, siapakah yang akan diberikan tempat terbaik oleh Tuhan? Agama dengan segala atribut dan ritualnya hanyalah satu pintu di antara 4 pintu yang tersedia. Para penganut kepercayaan itu mungkin saja lebih sempurna dan tekun dalam menempuh ke 4 jalan itu. Mereka beragama meski agama mereka tidak masuk dalam list agama resmi yang diakui pemerintah. Padahal list ini adalah urusan administrasi, siapakah pemerintah yang dapat menilai kadar keagungan suatu kepercayaan? Mereka mungkin saja lebih khusuk dalam menundukkan diri dalam sujud bhakti kepada Yang Illahi. Mereka mungkin bekerja lebih baik dan memupuk lebih banyak hal-hal mulia. Mereka, dengan itu semua,  mungkin lebih dekat kepada Hyang Murbeng Jagat. Siapa tahu? Siapa yang berhak menilai?

Dalam Gita Tuhan bersabda :
“Yo yo yam yam thanum bhaktah, Sraddhaya rchitum ichichhati, Tasya tasya chalam sraddham, Tam eva vidadhamy aham”
(BG VII.21)
(Apapun bentuk kepercayaan, Yang ingin dipeluk oleh seorang penganut, Aku perlakukan kepercayaan mereka secara sama, Dan dengan itu mereka teguh dan sejahtera.
“Sa taya sraddhaya yuktas, Tasya radhanam ihate, Labhate cha tatah kaman, Mayai va vihitam hi tan”
(BG VII.22)
(Berpegang teguh pada kepercayaan itu, Mereka berbakti sesuai keyakinan itu, Dan daripadanya mereka memperoleh harapan, Yang sebenarnya dikabulkan olehKu
Siapakah AKU dalam bait-bait wahyu diatas?
“Raso ham apsu kaunteya, Prabha smi sasisuryayoh, Pranavah sarvavedeshu, Sabdah khe paurusham nrishu”
(Aku adalah rasa dalam air, Aku adalah cahaya pada bulan dan matahari, Aku adalah aksara pranawa dalam kitab-kitab Weda, Aku adalah suara di angkasa dan kemanusiaan pada manusia)
“Punyo gandhah prithivyam cha, Tejas cha smi vibhavasau, Jivanam sarvabhuteshu, Tapas cha smi tapasvishu”
(Aku adalah harum sucinya tanah, Aku adalah benderang nyalanya api, Aku adalah nyawa semua insan, Aku adalah semangat tapabrata pertapa)
“Bijam mam sarvabhutanam, Viddhi partha sanatanam, Buddhir buddhimatam asmi, Tejas tejasvinam aham”
(Ketahuilah wahai Partha, Aku adalah benih abadi semua mahluk, Aku adalah budipekerti kaum cendekia, Aku adalah cemerlangnya keindahan).
(BG VII 8-10)
Menyimak AKU pada bait-bait di atas, mustahil manusia tersesat mencariNYA sepanjang pencarian itu mengedepankan prinsip kebaikan yang banyak darinya bersifat universal. Ajaran-ajaran kepercayaan sepanjang menyangkut keyakinan akan Yang Illahi, pantas mendapatkan rasa hormat yang sama dan patut diberikan praduga benar  karena dalam wujud dan sifat apapun DIA dipuja, sangat mungkin itu memang DIA. Bukankah DIA adalah inti dari semua keberadaan sesuai wahyunya diatas?
Lalu siapakah yang kita sebut “sesat”? Iaadalah yang buruk dalam prinsip, dalam tulisan, dalam ucapan dan dalam perbuatan.
“Pravrittim cha nivrittim cha, Jana na vidur asurah, Na saucham na pi cha charo, Na satyam teshu vidyate”
(BG XVI.7)
(Mereka yang jahat tidak tahu yang harus diperbuat, Dan apa yang tidak boleh diperbuat, Demikian pula tidak ada kesucian, Pun tidak ada perbuatan baik dan kebenaran pada mereka)
“Kamam asritya dushpuram, Dambha mana madanvitah, Mohad grihitva sadgrahan, Pravartante suchivratah”
(BG XVI.10)
(Dengan menyerahkan diri pada nafsu, Penuh kepura-puraan kesombongan, Memiliki pandangan salah karena ilusi, Mereka berbuat hal-hal keji
“Ahamkaram balam darpam, Kamam krodham cha samsritah, Mam atma paradeheshu, Pradvishanty bhyasuyakah”
(BG XVI. 18)
(Membiarkan diri dibatasi egoisme, Keangkuhan dan nafsu serta kemarahan, Mereka yang durhaka ini (sesungguhnya) membenci AKU, Yang ada didalam diri mereka sendiri dan didalam yang lainnya)

Jadi, ketersesatan tidak dapat dinilai ketika masih dalam bentuk keyakinan. Ketersesatan ditemukan jejak-jejaknya dalam ucapan dan laku/tindakan. Ucapan, laku, tindakan yang diuraikan dalam 3 ayat di atas. Bila jejak-jejak itu ditemukan dalam laku penganut sebuah kepercayaan, bolehlah dicari rujukannya dalam ajarannya. Pun itu belum bisa divonis ajaran kepercayaannya yang sesat. Bisa jadi itu hanya “oknum” yang salah tafsir. Sepanjang sebuah kepercayaan berhasil menciptakan manusia yang berkesadaran, yang berkebalikan dari sifat-sifat dalam 3 sloka terakhir di atas, maka kepercayaan tersebut pantas diterima dan dihormati. Dan kata agama dapat mensubstitusi setiap kata kepercayaan yang selama ini dilekatkan pada mereka. Terlepas namanya ada dalam list pemerintah atau tidak.

Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengucapkan selamat kepada “agama-agama baru” yang diakui sehubungan dengan kata “agama” yang harus selalu diartikan juga sebagai “kepercayaan”. Selamat kepada aliran kepercayaan yang akhirnya memperoleh status setara dengan “agama resmi” khususnya dalam konteks UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Semoga pengakuan ini menjadikan penganutnya semakin khusuk dalam usaha melakukan pencarian hakikat Hyang Wenang, dan pada akhirnya menemukan kedamaian. Saya sangat yakin, kedamaian dalam diri setiap mahluk pada akhirnya akan berkontribusi pada kedamaian semesta,

I Ketut Budiasa, Sekjen Ikatan Cendekiawan Hindu Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar