Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Sabtu, 23 September 2017

Warna Hitam tak Identik Dengan Duka

Oleh Ida Bagus Manuaba

Kegairahan umat Hindu untuk melakukan upacara yadnya baik di Bali maupun di luar Bali terutama di Jawa patut diacungkan jempol. Betapa tidak, pelaksanaan upacara baik mlaspas pura, odalan dan sebagainya berlangsung sangat antusias demikian juga dengan pelaksanaan tirta yatra. Ketika berlangsung acara mekiyis atau melasti atau melis di pura Kahyangan Jagad Tawang Alun, Pulau Merah, di desa Sumber Agung, Kecamatan Pesanggaran, saudara-saudara kita umat Kristen dan umat Islam, juga umat Budha dibuat terkagum-kagum dengan kegairahan umat Hindu sewaktu melaksanakan upacara mekiyis.

Mereka berbondong-bondong ada yang naik sepeda motor, menumpang mobil untuk menghadiri acara mekiyis tersebut. Salah satu kekaguman mereka terhadap umat Hindu tidak saja kekompakan umat Hindu menghadiri acara tersebut, tetapi juga busana yang mereka pakai sangat khas. Berbeda sekali dengan busana umat Kristiani dan umat Budha yang cenderung menggunakan busana nasional untuk melakukan persembahyangan di tempat peribadatan mereka.
Memang busana adalah salah satu kelengkapan yang kita pakai sewaktu melakukan persembahyangan. Pada saat dulu busana ini begitu berwarna-warni bahkan yang terjadi di pura-pura di Jawa sungguh unik. Apalagi sewaktu pertama kali berkembangnya Hindu di Jawa sekitar tahun 1968. Mereka ke pura dengan menggunakan pakaian yang tidak seragam baik warna maupun modelnya, bahkan banyak dari mereka masih menggunakan celana panjang dan memakai songkok hitam.
Seiring berjalannya waktu dan seiring berkembangnya umat Hindu khususnya secara kuantitas budaya berbusana ke pura ini pun mengalami perubahan. Saat ini sudah jarang kita jumpai di Jawa ada umat Hindu yang menggunakan celana panjang dan songkok hitam waktu bersembahyang ke pura.
Fenomena yang terjadi saat ini justru umat Hindu etnis Jawa berlomba-lomba dalam menggunakan busana dalam bersembahyang. Mereka malu apabila ke pura tidak menggunakan busana adat, baik busana adat Jawa maupun busana adat Bali. Meskipun mereka tidak kita pengaruhi agar menggunakan busana adat Bali, tetapi nyatanya mereka dengan kesadaran sendiri menggunakan busana adat Bali. Padahal busana adat Jawa sudah ada, yaitu menggunakan busana adat disertai blangkon. Kalau kita perhatikan di lapangan maka mayoritas mereka menggunakan busana adat Bali daripada busana adat Jawa dan ini tidak bisa disalahkan karena itu kemauan mereka sendiri.
Di tengah kegairahan umat Hindu melaksanakan berbagai aktivitas keagamaan, timbul suatu gejala baru berupa kecenderungan umat untuk mengidentifikasikan diri dengan mengikuti kebiasaan-kebiasaan umum antara lain berupa penyeragaman pakaian atau busana. Kalau dahulu busana yang digunakan saat kegiatan upacara yadnya sangat bervariasi terutama dari segi warna baik warna destar, baju dan juga kainnya, maka sekarang telah terjadi (meskipun tidak melalui keputusan sebuah lembaga) penyeragaman dalam hal berbusana. Bila dalam kaitan upacara di pura misalnya, umat akan pedek tangkil dengan busana serba kuning. Kalau ada upacara kematian maka tanpa dikomando umat akan dengan sendirinya mengenakan busana serba hitam, baik pria maupun wanita. Begitulah keadaan itu berjalan mengikuti arus kebersamaan dan penyeragaman.
 Kalau kita meninjau salah satu Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu, khususnya tentang busana, tidak disebutkan tentang pakaian seragam. Yang ditekankan pada keputusan itu adalah soal komposisi atau kelengkapan dan jenis busana. Kalau busana untuk sulinggih atau pandita memang ada aturan khusus sebagaimana diatur dalam kitab Cilakrama dan Sangkul Putih, tetapi untuk busana walaka atau umat Hindu kebanyakan tidak ada aturan khusus yang mengatur tentang keseragamannya. Apalagi kalau kita berbicara tentang busana adat masyarakat di luar Bali seperti di Tengger, Kaharingan, Batak Karo, Madura dan lain-lain jelas mereka mempunyai busana tersendiri dan ini tidak bisa dipaksakan untuk menggunakan busana adat Bali dan apabila ini dipaksakan akan terjadi penjajahan adat. Lebih-lebih kalau disadari bahwa pakaian hanyalah merupakan kelengkapan tubuh sehingga yang prinsip bukan pada model dan warna, melainkan pada kebersihan dan kenyamanan dalam memakai serta sesuai dengan adat tradisi setempat.
Busana yang dikenal dan acapkali digunakan oleh umat Hindu etnis Bali dalam kaitan upacara keagamaan adalah : busana (payas) gede/agung, busana madya (sedang), dan busana alit.Tingkatan busana ini menunjukkan komposisi atau kelengkapannya bukan model dan warna sebab warna busana termasuk destar di dalam upacara yadnya tidak terikat dan yang pasti bila umat ingin berbusana serba seragam tidak ada larangan. Kalau hendak berbusana warna-warni juga tidak ada halangan yang penting semua dilakukan dengan konteks, kesucian dan kerahayuan. Bukan untuk pamer mode, pamer kekayaan apalagi untuk gagah-gagahan.
Agama Hindu bersifat supel tidak mengenal aturan pelaksanaan ajaran secara mutlak. Bahkan apa yang telah diatur melalui petunjuk lontar-lontar masih memungkinkan untuk diatur kembali sesuai dengan desa kala patra dan juga dresta.
Pemakaian busana dalam kegiatan Panca Yadnya seperti dikutip dari Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu tidak disebutkan tentang ketentuan mutlak dalam hal berbusana. Semua ketentuan tentang baju juga udeng  termasuk saput hanya disebutkan begitu rupa dengan istilah destar dan kwaca termasuk kampuh tanpa penjelasan mengenai warna. Komposisi dan jenis busana itu hanya dibedakan atas kelengkapannya saja tidak menyinggung soal warna.
Karena segala pelaksanaan ajaran agama Hindu khususnya di Bali tidak terlepas dari ketentuan adat atau tradisi, maka soal warna busana (udeng, baju, kampuh) kelihatannya telah mengarah pada pola penyeragaman (tetapi bukan oleh lembaga umat).      Maka seperti kita saksikan bila umat melakukan kegiatan Dewa Yadnya seperti piodalan atau persembahyangan maka umat tanpa dikomando segera mengenakan busana serba putih kuning dan ini sangat relevan karena warna putih melambangkan kesucian dan warna kuning lambang kebijaksanaan. Lain halnya bila terjadi upacara Pitra Yadnya atau ngaben, maka umat serta merta menggunakan warna serba hitam. Tidak tahu dari mana datangnya anggapan bahwa warna hitam adalah warna yang melambangkan duka nestapa atau kesedihan, meskipun busana warna hitam yang bermakna kedukaan atau kesedihan tidak berpijak pada konsep Hindu. Namun  begitulah suryak siu mampu memberikan pengaruh sehingga busana serba hitam pada saat kematian begitu dominan.
Memang warna hitam sering diidentikkan dengan kesedihan juga kedukaan meski menurut Hindu warna hitam bukanlah simbol atau lambang duka. Demikian juga menurut Hindu kematian bukanlah suatu duka yang harus dihadapi dengan ratap tangis kesedihan. Kematian justru merupakan pembebasan dan itu harus diterima dengan hati yang bersih, suci serta ikhlas. Oleh karena itu lebih tepat disimbolkan dengan warna serba putih- kuning.
Busana hitam yang belakangan marak digunakan oleh umat dalam pelaksanaan upacara Pitra Yadnya(termasuk ngaben)  bukanlah pakaian seragam yang wajib  atau harus digunakan bagi umat Hindu. Warna hitam justru berarti kehidupan dan kesuburan. Dewa Wisnu adalah Dewa sebagai manifestasi Tuhan dalam Prabhawanya sebagai pemelihara (sthiti) yang memberikan kehidupan dan kesuburan dalam pengider-ider yang menggunakan busana warna hitam.
Kematian dalam persepsi Hindu bukanlah sesuatu yang harus disesali ataupun diratapi kemudian larut dalam duka cita yang berkepanjangan. Kehidupan dan kematian adalah merupakan rta (hukum) Tuhan yang mau tidak mau harus diterima sebagai kehendak beliau.
Di dalam kitab Bhagawadgita II. Sloka 11 dan 27 dipaparkan wejangan Sri Krisna kepada Arjuna yang ragu maju ke medan laga karena diketahui akan jatuhnya korban.

Sri bhagavan uvaca: asocyan anvasocas tvam prajna- vadams ca bhasase , gatasun agatasums ca nanusocanti panditah.
Artinya, Engkau berduka kepada mereka yang tak patut engkau sedihi, namun engkau bicara tentang kata-kata kebijaksanaan. Orang bijaksana tidak akan bersedih baik bagi yang hidup maupun yang mati. Sesungguhnya setiap yang lahir kematian adalah pasti dan demikian pula setiap yang mati kelahiran adalah pasti, dan ini tak terelakkan, karena itu tak ada alasan engkau merasa menyesal.

Menyimak sloka Bhagawadgita di atas jelaslah bahwa menurut Hindu kematian sesungguhnya merupakan peristiwa biasa,  tetapi bagi kita manusia dirasakan sebagai kehilangan besar. Sesuai dengan pandangan itu maka sebenarnya pertanda duka diekspresikan dengan menggunakan warna hitam dalam kematian sangatlah tidak berdasar. Jadi tren menggunakan busana warna hitam ketika terjadi kematian itu tidak lebih dari kecenderungan mengikuti mode busana umum.
Sedangkan bagi umat Hindu yang berdomisili di luar Bali (dalam hal ini umat Hindu etnis nonBali) tidak kita temukan penggunaan busana  seperti di Bali. Ketika ada upacara yadnya busana yang mereka gunakan cenderung berwarna-warni . Mungkin saja mereka secara filosofi lebih memahami bahwa menurut Hindu warna hitam bukanlah lambang duka.
(Drs. Ida Bagus Manuaba, M.Pd
SMA Negeri 1 Pesanggaran- Banyuwangi, HP. 085336790225).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar