Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, di awal tahun 2017 ini pada tanggal 21 Januari Saniscara Umanis Wuku Watugunung, dilaksanakan upacara Pujawali di Pura Agung Bhuwana Saraswati yang berada di kompleks Univesitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Jadi setiap enam bulan sekali menurut kalender Bali diselenggarakan piodalan (pujawali) oleh para pengemponnya yaitu warga dari Solo Timur.Untuk piodalan kali ini, dibutuhkan dana mencapai puluhan juta rupiah ditanggung oleh warga Solo Timur. Dana berupa uang tunai dikumpulkan lewat iuran tiap bulan dan punia secara sukarela. Selain berupa uang, warga juga ada yang maturan punia berupa barang: janur, beras, air mineral, ayam banten, dan daging babi.
Piodalan di awali dengan matur piuning sehari sebelum hari H, yaitu pada tanggal 20 Januari 2017 sore hari oleh Jero Mangku Made Murti (Mangku Sepuh), sekalian persembahyangan bersama. Kegiatan matur piuning yang selalu dilakukan menjelang hari piodalan, adalah dengan maksud agar di dalam mempersiapkan segala sesuatunya yang berkaitan dengan piodalan, berjalan lancar tanpa ada halangan suatu apapun. Juga berharap agar segala biaya dapat diminimalkan (seefisien mungkin).
Pada hari H (piodalan), seperti biasanya susunan acara dibagi menjadi tiga sesion, yaitu (a) ritual, (b) seremonial, dan (c) nyimpen. Upakara dalam ritual terdiri dari: mecaru yang dimulai pukul 17. 00 dan kaanteb oleh Jero Mangku Ketut Pasek di Madia Mandala yang dilanjutkan dengan acara bersembahyang bersama; kemudian memindahkan pratima dari tempat menyimpan ke Jeroan Pura. Pukul 18.15 acara pujawali dimulai, dipimpin oleh Jero Mangku Made Murti (Mangku Sepuh) di Utama Mandala yang dilanjutkan dengan persembahyangan bersama. Seusai acara ritual, kemudian acara seremonial terdiri dari: laporan ketua Banjar Solo Timur oleh Ida Bagus Arnawa St, sambutan Ketua Parisada Hindu Dhrama Indonesia (PHDI) Surakarta oleh Ida Bagus Suarnawa Mag H, dan dharma wecana oleh pejabat Parisada dari Semarang. Setelah dharma wacana, langsung sajian topeng Siddhakarya. Istirahat sejenak, kemudian nyimpen pada pukul 23.00-24.00. WIB yang kaanteb oleh Jero Mangku Made Murti (Mangku Sepuh) dan diteruskan dengan kerja bakti (melepas pengangge dan bersih-bersih) hingga pukul ) 0 0 1 dini hari. Sebagai penutup acara, para umat makan malam bersama dengan menu babi guling, sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing.
Acara demi acara berjalan dengan rapi dan tertib, kendati umat yang hadir kali ini paling banyak dibanding dengan piodalan-piodalan sebelumnya. Umat yang hadir kali ini melebihi kapasitas yang disediakan, sehingga umat yang bersembhyang sampai memenuhi Bale Gong, karena di Utama dan Madya Mandala sudah penuh. Pada piodalan kali ini, sejak acara mecaru sudah kelihatan suasananya semakin semarak, karena pada piodalan sebelumnya, setiap acara mecaru belum pernah diiringi dengan gamelan Kala Ganjur semeriah saat ini. Pada mecaru kali ini, penulis (selaku seksi kesenian) menggandeng teman-teman dosen dan adik-adik dari Bali yang kuliah S-2 di Pascasarjana ISI Surakarta), untuk bergabung.
Tatkala Jero Mangku nganteb puja wali, disajikan tari Rejang Dewa oleh penari-penari dari mahasiswi ISI Surakarta yang diikuti oleh para umat yang bisa menari. Demikian banyaknya penari rejang menjadikan halaman pura penuh sesak. Ketika Jero Mangku nganteb dan penyajian tari Rejang, diiringi oleh para pengrawit dari Dharma Wanita ISI Surakarta. Acara selanjutnya dilakukan persembahyangan bersama.Seusai acara persembahyangan, bersamaan dengan acara seremonial (dengan urutan seperti telah disinggung di depan), umat disuguhi nasi bungkus.
Sebagai acara seremonial yang terakhir yaitu berupa dharma wacana yang dibawakan oleh pejabat Parisada dari Semarang. Sang pedharma wacana cukup mengusai materi dan menguasai audien. Namun yang mau disampaikan temanya tidak jelas, karena isi dharma wacananya banyak mengupas tentang mantra-mantra dan sloka-sloka yang terdapat dalam kitab suci. Dengan demikian dapat ditebak materi dan pemaparannya menjadi tidak runtut, tidak fokus (bias kemana-mana). Kendati demikian, harapannya isi yang disampaikan dapat diiplementasikan, diamalkan di dalam kehidupan sehari-hari.
Sebelum nyineb, disajikan kesenian berupa topeng Siddhakarya yang ditarikan oleh I Nyoman Chaya (dosen purna tugas ISI Surakarta dan I Nyoman Suendi (dosen STH D Klaten Jawa Tengah). Sajian ini selain bermaksud menghibur pelaku upacara dan umat yang hadir, juga bertujuan agar labdaning karya. Sebagaimana dijelaskan oleh Gede Agus Bidi Adnyana bahwa “Dalem Siddhakarya yang secara harfiah berarti keberhasilan sebuah upacara yadnya, dan setiap upacara besar (minimal setingkat mecatur) nunas tirtha pamuput Siddhakarya agar labda karya, paripurna kasidaning yasa”. Makna senada juga disampaikan Duija (guru besar Institut Hindu Dharma Denpasar), dalam artikelnya berjudul “Tari Wali dalam Upacara Agama Hindu di Bali (sebuah Studi Teo-Estetik) 2014, bahwa “Secara fungsional pertunjukan topeng Sidakarya (Siddhakarya: pen.) berkaitan dengan pelaksanaan upacara sebagai penentu suksesnya sebuah upacara ritual Hindu di Bali khususnya (siddhakarya). Maknanya lebih bersifat simbolik filosofis, estetis relegius magis. Simbolik dapat dilihat dari lakonnya yang merupakan simbol mulainya suatu tatanan baru yang lebih baik dan makmur (sekar ura) simbol kemakmuran. Kemakmuran dan ketentraman bisa dicapai dengan melakukan upacara yadnya yang tulus dan suci dengan Siddhakarya sebagai tokoh pemuput. Filosofis lebih mengarah pada makna siddhakarya (siddha = sukses, karya= aktivitas). Dalam filsafat Hindu, apabila berhasil sebuah yadnya, berarti akan terjadi keseimbangan hidup lahir dan batin . . . .” Sebelum topeng Siddhakarya tampil, didahului dengan beberapa topeng bondres dengan maksud untuk melucu. Namun agaknya tidak berhasil membuat para penonton untuk tertawa. Maklum seniman akademis. Biasanya untuk hal-hal yang lucu, seniman akademis dikalahkan oleh seniman alam.
Acara nyineb yang kaanteb oleh Jero Mangku Made Murti (Mangku Sepuh) kali ini juga agak berbeda dengan piodalan-piodalan sebelumnya. Kendati dimulai pada agak larut malam, yaitu sekitar pukul 23.0 0 WIB, namun umat yang mengikuti acara ini jauh lebih banyak dari nyineb pada piodalan sebelumnya. Realitas ini menunjukkan bahwa para umat semakin meningkat sraddha bhaktinya terhadap leluhur maupun kepada Ida Sang Hyang Widhi. Astungkara. Seusai nyineb, seperti telah disinggung di depan diteruskan dengan kerja bakti (melepas pengangge dan bersih-bersih) hingga pukul 01.00 dini hari. Ketika bersih-bersih, lumayan banyak menghasilkan sampah terutama yang berasal dari janur. Terkait dengan ini penulis pernah mendengar penilaian dari Jero Mangku Widodo (Mangku suku Jawa), bahwa di Bali tanahnya menjadi subur, karena banyak sampah-sampah yang dihasilkan dari upacara. Sebagai penutup acara, sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing para umat makan malam bersama dengan menu babi guling.
Dari paparan di atas, ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi, bahwa yang menjadikan acara pujawali kali ini semakin semarak adalah pertama, kehadiran umat jauh lebih banyak dari piodalan-piodalan sebelumnya. Baik ketika persiapan (para ibu yang nguwopin) maupun ketika piodalan termasuk ketika nyineb; kedua, ketika mecaru iringan dengan karawitan kalaganujur lumayan meriah, karena pengrawitnya hampir komplit dan berkualitas; dan ketiga, umat yang nangkil biasanya setelah acara persembahyangan satu persatu meninggalkan area pura, namun kali ini masih banyak umat yang bertahan dengan tertib untuk mengikuti acara seremonial dan menonton sajian topeng. Realitas ini patut kita syukuri dan apresiasi. Dengan penuh harapan, pada waktu piodalan-piodalan yang akan datang bisa lebih meningkat lagi. Semoga.
(I Ketut Yasa, adalah dosen ISI Surakarta).
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar