Sekarang masih banyak ditemukan pohon-pohon besar tumbuh di dekat areal pura, bahkan ada di dalam pura. Terutama jenis-jenis pohon yang disucikan dan dikeramatkan yang dipercaya memiliki nilai kesucian, seperti beringin, kroya, ancak, pule, dan sebagainya
Para tetua Bali di masa lampau tentu memiliki alasan yang kuat mengapa jenis-jenis pohon tersebut sengaja ditanam di dekat atau dalam pura, meskipun tentu mereka sudah tahu kalau pepohonan jenis tersebut akan tumbuh besar dan menjadi ancaman bagi bagunan fisik pura, baik akan kemungkinan dahan besar yang patah menimpa pelinggih maupun akarnya yang kemungkinan besar dapat merusak bangunan pura. Kondisinya sekarang cenderung mulai berubah, karena justeru ada sejumlah pohon besar dekat pura, terutama beringin dan ancak yang sengaja dipangkas atau ditebang dengan alasan untuk mengamankan bangunan pura yang berbiaya mahal. Itulah cara pandang baru dari generasi kekinian yang cenderung melihat kehadiran pohon-pohon keramat tersebut sebatas ancaman, dan tidak menyelami fungsinya lebih mendalam secara spiritual.
Ada contoh lain, dimana di bawah pohon beringin ditempatkan bebaturan untuk sekadar meletakkan sesaji. Demi menambah nilai artistiknya, lantas batu itu pun diganti dengan pelinggih berbahan batu merah gosok. Akhirnya kelihatan semakin indah, namun ketika dahan beringin patah, maka sekali lagi yang disalahkan adalah pohon beringin itu, bukan mengoreksi perilaku pengempon pura dalam menata ruang peruntukannya.
Lantas, bagaimanakah sebenarnya keberadaan pohon-pohon suci itu di sekitar pura dan apa kerugian yang ditimbulkan setelah menghilangkan jenis-jenis pohon itu dari area l pura? Menurut Made Dwija Nurjaya, S.E., yang merupakan teacher yoga dan praktisi Ayurveda, pohon beringin ditanam di pura adalah atas inisiatif leluhur orang Bali dahulu untuk membantu menjaga kesucian pura. Ia menjelaskan bahwa menurut Ayurveda, di setiap desa dianjurkan untuk menanam empat pohon beringin besar yang ditempatkan di empat penjuru. Dari sisi ekologi, keberadaan pohon beringin besar mampu menyimpan air melalui akar-akarnya, sehingga air hujan tidak berlalu begitu saja ke dalam tanah. Demikian juga saat perubahan musim di mana terjadi migrasi burung-burung, maka pohon besar dengan dedaunan yang rimbun menjadi penghentian sementara bagi kawanan burung-burung yang sedang pindah dari satu tempat ke tempat lain, sehingga burung-burung itu tidak hinggap ke pohon-pohon rendah di dekat perumahan penduduk yang tentu berpotensi menyebarkan virus (contoh: virus flu burung). Selain beringin, fungsi filterisasi burung musiman ini dahulu diperankan oleh pohon ara (punyan bunut) yang berbuah lebat pada musimnya dan disenangi banyak burung. Tetapi sekarang pohon bunut yang sebenarnya baik ditanam di sekitar pesraman, karena aura sejuknya, demikian juga beringin, kroya, dan ancak yang biaa ditanam di pura keberadaannya semakin langka. Masyarakat Bali kini lebih terpesona akan bangunan suci yang berukir dan bahannya kuat seperti batu selem, meskipun tanpa kehadiran pohon-pohon keramat itu sebuah pura sedikit terkesan agak kering dan kehilangan pesona magis.
Mengantar Doa ke Khayangan
Pada 24 Desember 2016 lalu, I Made Dwija mengatakan kepada Raditya di Denpasar, pohon beringin sebagai amrthavrksha yang memberi semangat bahwa kesadaran itu bersifat abadi. “Pohon beringin diciptakan sebagai media untuk membantu proses dalam penyampaiar permohonan atau doa kepada Ida Bhatara, baik membantu proses penyampaiannya maupun penyaluran anugerah kepada para penyembah,” terang Made Dwija. Demikian penting kehadiran pohon beringin maupun ancak dalam kepercayaan orang Hindu dipertegas lagi dengan penggunaan daun beringin dan ancak saat upacara Pitra Yajna, yaitu Nyekah atau Memukur. Hal ini menunjukkan dua jenis pohon ciptaan Tuhan tersebut memang bertuah dalam menyempurnakan evolusi sang roh yang meninggalkan alam material menuju alam yang lebih halus.
Sementara itu pohon ancak yang disebut asvatha dalam bahasa Sanskerta, dikenal juga dengan nama pipal atau ficus religiosa. Pohon ini banyak tumbuh dan dibiarkan membesar di berbagai tempat suci di Bali, seperti pura maupun tempat yang disucikan lainnya. Brahma Purana dan Padma Purana menyebutkan, ketika para asura mengalahkan para dewa, maka Dewa Wisnu bersembunyi dalam pohon pipal, sehingga bila tidak ada pura tempat pensthanaan Dewa Wisnu, maka pemujaan dapat dilakukan melalui ponon ancak. Sementara itu Skanda Purana menyebutkan, bahwa pohon pipal dianggap sebagai lambang Dewa Wisnu. Selain itu banyak pemeluk Hindu di India meyakini kalau ancak ini merupakan penyatuan dari Tri Murti, yaitu: akarnya adalah Dewa Brahma, batang pohonnya adalah Dewa Wisnu, dan dedaunannya adalah perwujudan dari Dewa Siwa.
Demikian utamanya pohon pipal dari sudut pandang kerohanian Hindu, sebagaimana dalam Bhagavadgita X. 26 disebutkan: svattah sarvavrikshanam, devarhsinam cha naradah, gandharvanam citrarathah, siddhanam kapilo munih. Artinya, dari segala kayu-kayuan Aku adalah asvatha, dari semua dewa rsi Aku adalah Narada, diantara Gandharwa Aku adalah Chitarata, diantara para muni, Aku adalah Kapila.
Dalam Upanisad disebutkan buah dari pohon ini digunakan sebagai perumpamaan untuk menjelaskan perbedaan antara tubuh dan jiwa. Tubuh itu seperti buah yang menjulur di luarnya, merasakan dan menikmati segala benda, sedangkan jiwa itu seperti biji di dalam buah yang menjadi saksi segalanya.
Brahma Purana menyebutkan bahwa asvatha dulunya adalah dua ekor asura yang suka mengganggu orang ramai. Asvata akan mengambil rupa sebagai pohon pipal, sedangkan Pipala mengambil rupa sebagai Brahmana. Kemudian Brahmana palsu itu akan menasihati orang-orang untuk menyentuh pohon pipal itu, dan Asvatha akan membunuh setiap orang yang menyentuhnya. Raksasa ini kemudian dibunuh oleh Dewa Sani, dan Dewa Sani memberi karunia, bahwa siapa pun menyentuh pohon Pipal pada hari Sabtu akan memperoleh keselamatan. Dewi Laksmi juga dipercaya bersthana di ponon Ancak. Hari Sabtu dipandang sebagai saat terbaik untuk melakukan pemujaan kepada Laksmi di pohon Ancak untuk memohon kemakmuran.
Dalam kisah Sidharta Gautama ada disebutkan Beliau menerima pencerahan sejati saat merenung di bawah pohon Bodi, sebutan lain dari pohon ancak. Oleh karena itu tidak diragukan lagi kalau pohon ini memiliki aura kesucian alamiah yang hebat, sehingga wajarlah para leluhur orang Bali menanam pohon ini di tempat-tempat suci mereka dengan maksud memperoleh vibrasi kesucian sehingga mendukung aktifitas puja bahkti di pura menjadi lebih khusuk, hening, dan damai. Sebagaimana halnya tanaman beringin, ancak, uduh, peji, dan lain-lain yang lumrah ditanam di kawasan suci adalah pepohonan yang memiliki tuah mengundang dan menyebarkan aura kedewataan, sehingga keberadaan pohon-pohon suci tersebut di setiap pura idealnya merupakan kemutlakan. Andai pun jika tumbuh membesar akar pohon tersebut dikhawatirkan mengancam bangunan pura, penyengker, dan pelinggih-pelinggihnya, maka tentu hal itu dapat disiasati untuk mencegah hal itu tidak terjadi dengan mengatur jarak tanam atau dengan cara pemangkasan yang teratur, agar keberadaan pepohonan beraura suci tersebut tetap lestari di pura. Dengan melestarikan keberadaan pohon-pohon keramat di areal pura selain membantu terbentuknya oksigen bersih di lingkungan pura, juga membantu setiap orang yang sembahyang, agar lebih mudah terkoneksi dengan kesadaran-kesadaran yang lebih halus, sehingga diharapkan mempermudah proses peningkatan kesadaran rohani umat Hindu yang sembahyang ke pura tersebut.
Putrawan
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar