Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Minggu, 15 Januari 2017

Berbagai Faktor Penyebab Dosa Bisa Terkabul

Doa adalah salah satu media bhakti kepada Ida Sanghyang Widhi. Menurut Narada Bhakti Sutra, seorang bhakta yang menempuh jalan Bhakti Yoga pada prinsipnya bisa dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu apara bhakti atau gauna bhakti dan para bhakti. Apara bhakti adalah satu tingkatan bhakti, dimana seorang bhakta dalam menjalin keterhubungannya dengan Ida Sanghyang Widhi masih dengan memandang keterpisahan dirinya dengan sang Pencipta.

Karena merasa terpisah, maka golongan seperti ini cenderung melakukan bhakti dengan pamerih-pamerih tertentu. Bhakti yang salah satunya dilakukan lewat doa akan terisi berbagai permohonan terhadap Tuhan yang dipujanya. Sedangkan bagi tingkatan rohaninya telah berevolusi ke jenjang para bhakti, maka mereka ini telah mengalami pertumbuhan spiritual sedemikian rupa, sehingga tiada jarak lagi antara penyembah dengan yang disembahnya. Dalam kondisi batin semacam ini yang ada hanya kepasrahan total kepada Ida Hyang Widhi, dan doa-doanya tidak lagi berhiaskan berbagai permintaan, tetapi hanya luapan kerinduan yang selalu ingin ingat dengan Ida Hyang Widhi.
Dari dua kategori bhakti ini memang ada perbedaannya. Sperti dalam Bhagawad Gita disebutkan bahwa ada tiga kategori orang yang datang kepada Hyang Widhi, yaitu mereka yang menderita, yang mencari kemakmuran (kekayaan) dan ingin menyerahkan diri sepenuhnya pada Hyang Widhi. Dan dari tiga jenis macam pemuja ini, Hyang Widhi menilai mereka yang memuja dengan tulus bhakti untuk menyerahkan diri dipandang paling mulia, sementara dua kategori lainnya tidak disalahkan, tapi dinyatakan kurang tinggi mutunya.


Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pertanyaan tentang ‘mengapa doa bisa tidak terkabul?’ adalah satu pertanyaan yang berasal dari kaum apara bhakti. Tentang hal ini Ida Pandita Mpu Nabe Reka Darmika Sandhiyasa, dari Griya Kayumas Kaja  pernah menyatakan kepada Raditya pada beberapa kesempatan yang lalu, bahwa terdapat  sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam berdoa, pertama: orang yang berdoa tersebut harus yakin akan doanya bisa terkabulkan, sebab bila tidak yakin bisa terkabul untuk apa berdoa, karena berarti kesradhaannya kepada yang dipuja tidak ada. Kedua, pendoa harus siap diri, yaitu menyangkut kesucian dirinya. Ucapan doa juga harus teliti, sebagaimana cerita Kumbakarna ketika berdoa kepada Dewa Brahma. Ketika Kumbakarna melakukan tapasya sangat keras bersama Rahwana, kakaknya maka suatu waktu muncullah Dewa Brahma di hadapannya. ”Apa yang kamu minta,” tanya Dewa Brahma. “Suptasada” jawab Kumbakarna. Padahal yang ingin diminta Kumbakarna adalah sukasada (selalu bahagia), tetapi salah mengucapkan kata menjadi suptasada yang berarti selalu tidur. Akhirnya terkabulkanlah suptasada dimana Kumbakarna memiliki waktu tidur panjang, enam bulan lamanya.
Kemudian faktor ketiga yang menentukan terkabul tidaknya sebuah doa adalah karma wasana si pengucap doa. Tentang hal ini Sarasamuscaya 359 mengatakan demikian: “Purwakarma atau perbuatan yang lalu itu mau tak mau pasti akan dipetik setiap pahalanya oleh yang membuat atau melakukan karma itu. Dan karmaphala itu tidak bingung dalam menentukan dimana ia harus menuju dan tinggal, yaitu pada pembuatnya dahulu. Seperti halnya anak sapi, tidak akan bingung ia dalam mencari induknya untuk menyusui walaupun ratusan sapi yang dihadapinya yang semuanya sedang menyusui anak-anaknya. Walaupun bagaimana bercampuraduknya sekalian induk-induk sapi itu, namun tanpa ragu-ragu anak-anaknya akan mengenali juga induknya.“ Kemudian disambung dengan sloka Sarascamuscaya 360 yang berbunyi: “Dan lagi pahala dari purwakarma itu tahu pasti akan waktu tibanya. Pahala dari purwakarma itu menguasai dirinya sendiri tidak dapat dielakkan, tidak dapat dijauhi dan sia-sia pula jika didesak-desak seperti sifatnya buah dari suatu bunga, ia seolah-olah sadar akan saat-saatnya sehingga jika telah tiba masanya membunuhlah pahala dari karma itu dengan sendirinya”.
Dengan berpijak pada apa yang diungkapkan dalam Sarascamuscaya itu, maka dapatlah dimengerti bagaimana sebuah doa bisa terkabulkan atau tidak, tergantung karma wasana. Ida Pandita Mpu Nabe Reka Darmika Sandhiyasa menegaskan, seorang pendoa hendaknya mampu menyakini sepenuhnya bahwa doanya bakalan terkabulkan. Hanya saja kapan waktu terkabulnya itu dan caranya bagaimana ini yang tidak bisa ditentukan. Tentang kualitas karmawasana seorang pendoa diberikan contoh nyata olehnya, misalnya seorang Maharsi biasanya jarang berdoa dengan memohon sesuatu, tetapi orang-orang seperti itu sekali berdoa dengan sebuah permohonan tertentu, maka akan segera terwujud. Menurutnya ini disebabkan karena orang-orang suci jarang berdoa untuk mohon suatu untuk kepentingan dirinya pribadi, tetapi pasti untuk pihak lain atau kesejahteraan alam. Misalnya berdoa mohon hujan, maka serta merta akan hujan, karena akan memberikan penghidupan pada sarwa kehidupan. Dengan demikian untuk menjadikan doa kita manjur, mustajab dan cespleng, maka tingkatkan dulu kualitas kesucian, sehingga memungkinkan diri kita memetik pahala-pahala kebaikan yang salah satunya tercurah dengan terkabulnya doa.

Tentang Mesesangi
Dalam tradisi di Bali, krama Bali mengenal adanya budaya mesesangi. Ini semacam kaul, yaitu sebuah janji atau ikrar melakukan sesuatu, jika harapannya terkabul. Dan di Bali orang sering mesesangi di pura atau di merajan. Misalnya dengan mengucap: Ratu Bhatara, yening I Wayan Benjang selamet ring pekaryan menek kapal pesiar ke Amerika, tiang jagi ngaturang  guling bawi”, mungkin demikian bunyi sesanginya.
Menurut Ida Pandita Mpu Nabe Reka Darmika Sandhiyasa, sesangi adalah munyi saud (ucapan kepleset- salah), sehingga disebut mesesaudan. Pertanyaanya adalah mengapa Ida Bhatara atau Hyang Widhi diajak berbicara saud (salah). Sepatutnya ucapkanlah sesuatu yang lurus yang benar kepada Beliau. Dengan demikian sebagai orang yang bhakti kepada Hyang Widhi tidak ada umat seolah-olah melakukan transaksi kepada Ida Bhatara. Ini sudah tak benar. Tapi ia memandang mesesangi ini lebih merupakan fenomena psikologis untuk melapangkan perasaan. (tra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar