Program Pascasarjana IHDN Denpasar kembali berhasil melahirkan seorang doktor baru setelah pada Jumat, 28 Oktober 2016 lalu I Nyoman Ananda berhasil mempertahankan disertasinya di hadapan panitia penguji dalam ujian terbuka yang digelar di Gedung Pascasarjana IHDN Denpasar, Jalan Kenyeri, Denpasar.
I Nyoman Ananda yang juga dosen di Fakultas Darma Duta di lembaga tersebut berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Teo-Filosofi dalam Teks Wrhaspati Tattwa: Struktur dan Hakikat Serta Kontekstualisasinya Bagi Sulinggih di Kota Denpasar.” Dalam ujian terbuka yang dipimpin panitia penguji, Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum., yang sekaligus sebagai promotor, I Nyoman Ananda dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan. Adapun anggota penguji dalam ujian terbuka itu, yaitu: Prof. Dr. Drs. I Made Suweta, M.Si., Dr. Drs. I Ketut Sumadi, M.Par., Prof. Dr. Drs. I Nengah Duija, M.Si., Drs. I Ketut Donder, M.Ag., Ph.D., Dr. Ida Ayu Tary Puspa. S.Ag., M.Par., Dr. I Gede Suwindia, S.Ag., M.A., Prof. Dr. Drs. I Made Surada, M.A., dan Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si.
Dalam paparannya, Ananda yang kelahiran Tanggahan Peken, Bangli, 11 Maret 1967 ini menguraikan bahwa teks Wrhaspati Tattwa di samping sebagai teks yang bersifat teologis bagi penganut Siwa Siddhanta di Indonesia, khususnya Bali, juga merupakan teks filosofis yang membicarakan tentang hakikat realitas tertinggi yang disebut Siwatattwa (SiwaAspek filosofis teks Wrhaspati Tattwa ). Dalam agama Hindu filsafat yang berdasarkan rasio dan teologi yang berdasarkan sraddha dapat berjalan berdampingan dan saling melengkapi.n Dalam agama Hindu filsafat bukan hanya spekulasi mental, tetapi memiliki tujuan tertinggi seperti dikatakan oleh Profesor MaxMuller bahwa filsafat direkomendasikan di India bukan demi pengetahuan semata, tetapi untuk tujuan tertinggi yang bisa dicapai manusia dalam kehidupan ini. Dengan demikian
Setiap spekulasi filosofis memiliki aspek praktisnya karena dalam filsafat Hindu tujuan berfilsafat bukan hanya mengetahui, tetapi menjadi. Dalam teks Wrhaspati Tattwa hal yang berhubungan ajaran ketuhanan sangat banyak disebutkan. Tuhan dalam teks Wrhaspati Tattwa adalah Bhatara Siwa sebagai sumber segalanya dan beliaulah yang mengajarkan kepada para dewa tentang berbagai pengetahuan suci yangerbeda-beda, dan hal tersebut sesyuai dengan yoni atau azas dari kelahiran kembali. Teks Wrhaspati Tattwa menjelaskan bahwa penciptaan berawal dari suatu sebab, yakni bertemunya dua unsure, yakni Purusa dan Pradhana dan dalam pandangan Samkhya disebut dengan Purusa dan Prakerti sebagai unsure kejiwaan dan kebendaan. Berdasarkan atas beberapa sloka dapat dikatakan bahwa ajaran penciptaan dalam teks Wrhaspati Tattwa berangkat dari sebuah teori penciptaan yang bersandar pada proses mengalir dan melalui pentahapan.
Dalam teks Wrhaspati Tattwa ajaran keselamatan berhubungan dengan pembebasan dari segala belengu kebingungab dan ketidaksadaran berdasarkan atas keimanan. Teks Wrhaspati Tattwa menjelaskan bahwa moksa merupakan tujuan tertinggi dan akhir dari segala tattwa, tetapi untuk mencapai akhir dari segala tattwa ada beberapa cara yang harus dijalankan seseorang yang berkeinginan berada dalam jelan keselamatan, antara lain: Jnanabhyudendreka (pengetahuan tentang semua tattwa), Indriyayogamarga (orang yang tidak menikmati indriya), dan Trsnadsoksaya (menghilangkan pengaruh nafsu atau memusnahkan buah perbuatan baik dan buruk).
Selain itu, ada juga dengan cara tapa adalah sebuah jalan pengekangan atau pengendalian diri. Selanjutnya, yaitu karma. Teks ini menyebutkan bahwa sebagai seorang pertapa, seyogyanya melakukan prinsip-prinsip karma, yaitu tindakan dan perbuatan fisik. Jadi, pertapa dalam hal ini melakukan karma kanda, yakni bertindak nelakukan pemujaan, merafalkan japa mantra, melakukan pemujaan api ( mahoma) dan semacamnya. Selain karma, disebutkan juga dalam Wrhaspati Tattwa bahwa jalan Jnana adalah jalan pengetahuan dan sudah paham bahwa segala dewa-dewa ada di dalam badan.
Selanjutnya struktur teks Wrhaspati Tattwa menjelaskan tentang yoga dan Prayogasandhi, yaitu yang merlukan media untuk mengetahui wisesa tersebut yang dikenal dengan istilah Pramana. Ketiga Pramana tersebut meliputi gurutah, sastratah, dan svatah. Struktur ajaran selanjutnya adalah Sadangga Yoga yang terdiri Prtayahara (penarikan diri), Dhyana (meditasi), Pranayama (pengendalian nafas), Dharana (menahan), tarka (renungan), Samadhi (konsentrasi).
Adapun atma dalam Wrhaspati Tattwa disebutkan pada sloka 14 bahwa atma yang sebenarnya adalah Siwatattwa yang tidak memiliki kesadaran. Dalam hal ini sudah berulangkali dijelaskan bahwa faktor ketidaksadaran yang menjadi penentu kualitas atau guna dari Siwatattwa. Ketidaksadaran sebagai refleksi dari Mayatattwa menjadikan Siwatattwa kehilangan kekuatan sehingga diriNya bukan lagi sebagai yang dipenuhi dengan kesadaran. Atma adalah saripati yang paling halus yang berada di balik entitas kehidupan.
Selanjutnya, suami dari Ir. Ni Luh Wayan Suparmi ini menambahkan, bahwa tentang karma disebutkan sebagai segala gerak dan aktivitas yang dilakukan oleh manusia, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, yang disadari maupun di luar kesadaran. Kata karma berasal dari bahasa Sansekerta yaitu urat kata “kr” yang berari berbuat atau bertingkah laku. Kemudian menjadi kata “karma” artinya adalah perbuatan atau tingkah laku , baik jasmani maupun rohani. Ada tiga bidang karma yang dilakukam, yaitu meliputi aspek pikiran (manah), ucapan (wak), dan jasmani (kaya). Teks Wrhaspati Tattwa menjelaskan bahwa ada beberapa bentuk Karma Phala, yaitu Sancita Karmaphala, Prarandha Karmaphala, dan Kryamana Karma phala.
Berdasarkan penelitian yang dilakukannya selama ini, ia mendapat kesimpulan bahwa kontekstualisasi filsafat ketuhanan teks Wrhaspati Tattwa memberikan pengaruh yang kuat bagi sulinggih di Kota Denpasar. Hal itu tampak dalam praktik beragama, baik secara esoteric maupun eksoterik. Praktik beragama secara esoteric merupakan internalisasi dari konsep Sadanggayoga yang jelas terdiri dari: (1) praktik seda raga dalam ritus diksa; (2) argapatra yang merupakan sadhana penyucian yang dilakukan setiap hari, karena melalui argapatra segala bentuk kekotoran (mala) yang melekat dalam diri sang dwija dapat dimusnahkan; (3) ritus sakral surya sewana setiap hari sebagai bentuk pemujaan kepada Bhatara Siwa dalam aspeknya sebagai Sang Siwa Raditya; dan (4) ritus kalepasan (kadyatmikan), dalam Wrhaspati Tattwa disebutkan ada tiga cara atau jalan untuk mencapai kelepasan, yaitu: jananabhyudreka, artinya pengetahuan tentang tattwa, indriyayogamarga, yakni tidak menikmati indriya, dan trsnadosaksaya yang berarti orang yang memusnahkan perbuatan baik dan buruk.
Selanjutnya dalam praktik beragama secara eksternal banyak ditemukan dalam praktik sesana kawikon yang dilakukan secara ketat oleh sulinggih. Selain itu, pengaruh juga nampak jelas dalam praktik-praktik beritual dalam acara agama Hindu. Khususnya dalam menggunakan upakara banten pada hakikatnya adalah simbolik wujud Bhatara Siwa sebagai yang Maha Segalanya, sebagai wujud manusia itu sendiri, dan sebagai sarana pemujaan. (Putra)
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar