Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 28 Desember 2016

Gotong Royong Dan Kesejahteraan Dalam Kehidupan

Oleh I Wayan Miasa
Pada masyarakat yang kehidupannya bertumpu pada kegiatan agraris,  maka hidup kehidupan dalam kebersamaan berupa gotong royong memegang peranan yang sangat penting. Mereka saling tergantung satu sama lain dalam melakukan kegiatan sehari-harinya entah itu mengerjakan lahan pertanian, perkebunan ataupun dalam berupacara.

Pola hidup bergotong-royong pada masyarakat agraris merupakan hal yang sangat utama dan prinsip mereka adalah makan tidak makan asal kumpul. Kehidupan gotong royong seperti  itu sangat dimungkinkan di lingkungan masyarakat yang kehidupan masyarakat masih “homogen” dimana mereka setiap saat bisa bertemu atau berkumpul dengan sesamanya.  Masyarakat pada zaman dulu sudah puas dengan kehidupannya jika mereka sudah bisa makan bersama dengan kerabat atau teman di sekitarnya.


Seiring dengan berkembangnya peradaban masyarakat dimana kebutuhan hidup masyarakatnya tidak saja berupa makan dan minum, maka pola kehidupan yang mengutamakan kebersamaan fisik mulai ditinggalkan. Pada zaman sekarang ini warga masyarakatnya dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus mampu beradaptasi dalam  kehidupan masa kini terlebih lagi jika mereka memiliki keluarga dengan kehidupan generasi korban teknologi. Kehidupan mereka harus bersaing ketat dengan lingkungan sekitarnya, jika ingin bertahan hidup dan harus rela meninggalkan pola hidup “makan tidak makan asal kumpul”.  Hal ini perlu dimengerti karena pada kehidupan zaman sekarang ini yang butuhkan itu bukan lagi sebatas hidup dalam kebersamaan namun suatu kehidupan yang sejahtera. Jika pada zaman dahulu anak-anak itu cukup puas, jika dibelikan baju baru menjelang hari raya, maka pada pada zaman ini anak-anak itu akan terus berpacu dengan “mode”, entah itu pakaian, alat komunikasi, alat transportasi ataupun makanan.  Pada zaman dahulu kehidupan kebersamaan tersebut merupakan bentuk kehidupan gotong royong yang saling membantu, namun pada zaman sekarang bentuk kebersamaan tersebut merupakan wujud persaingan. Misalnya saja mereka tidak ingin dianggap ketinggalan zaman, maka mereka berusaha memiliki barang yang sama seperti yang dimiliki tetangga atau temannya. Kemudian mereka membentuk suatu komunitas  berupa organisasi-“organisasi status”, misalnya “clun apple iphone owner”, “scooter matic owner club” dan lain sebagainya.
Dari apa yang disebutkan di atas jelaslah bahwa perbedaan kebutuhan pada kehidupan pada zaman agraris dan pada zaman modern. Pada zaman agraris orang berpacu dengan waktu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya dengan cara bergotong royong. Namun pada zaman sekarang ini mereka bekerja di berbagai bidang untuk memperbaiki taraf kehidupan dan untuk bisa mewujudkan kehidupan yang lebih baik atau setidaknya mampu melakukan hal yang seperti yang bisa dilakukan oleh tetangga, teman atau kerabat mereka. Kebersamaan pada zaman dahulu berakhir pada tahapan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Namun sekarang ini pemenuhi kebutuhan sehari-hari tidak lagi harus dilakukan secara bersama-sama seperti pada zaman agraris ataupun pada zaman berburu. Oleh karena itu warga masyarakat  juga harus memahami bahwa di zaman ini  seharusnya mampu beradaptasi dengan keadaan. Masyarakat  sekarang ini mau tidak mau harus mampu bersaing dengan keadaan sesuai dengan keahlian yang mereka kuasai. Begitu pula mereka harus mengerti bahwa kehidupan kebersamaan yang berupa gotong-royong tersebut tidak saja diwujudkan dalam “setor fisik” namun juga bisa dilakukan dengan  menyumbangkan hasil jerih payah  untuk mewujudkan rasa kebersamaan atau gotong-royong.
Kita perlu mengerti dan sadar bahwa pada zaman ini kebersamaan tersebut tidak saja sebatas pada tujuan untuk bisa berkumpul dengan sahabat atau masyarakat di lingkungan sekitar kita, namun juga untuk mewujudkan kehidupan yang lebih sejahtera. Karena pada zaman sekarang ini kehidupan masyarakat  tidak lagi “homogen” seperti di masa silam. Pada zaman ini di hadapkan pada kenyataan bahwa kebutuhan  sangatlah kompleks. Bahkan ada slogan yang mengatakan “kencing pun harus bayar.” Berbeda dengan zaman dahulu dimana bisa  hidup dalam kesederhanaan dan cukup puas dengan apa yang disediakan oleh alam. Organisasi-organisasi yang mereka bentuk pun berupa organisasi yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang dilakukan secara bergotong royong, misalnya ada sekaa semal, sekaa ngogo, sekaa manyi, sekaa nandur, sekaa jogged, sekaa nampah, dan lain sebagainya. Berbeda dengan perkumpulan yang ada pada zaman sekarang ini dimana pekumpulan tersebut muncul sebagai wujud keberhasilan  dalam suatu pekerjaan atau sebagai wujud status sosial mereka.
Oleh karena adanya kenyataan seperti di atas, maka kita sebagai masyarakat Bali yang sangat terkenal dengan kehidupan bergotong-royongnya  perlu mengubah mind set  mengenai kehidupan bergotong-royong tersebut. Artinya bahwa kebersamaan yang diwujudkan dalam bergotong royong itu tidak harus dilakukan dengan cara berkumpul bersama, namun bisa juga dilakukan dengan menyumbangkan hasil jerih payah  untuk membantu meringankan  beban sesama. Karena pada zaman ini masyarakat kita dalam kehidupannya tidak lagi bekerja pada satu bidang pekerjaan dan perlu diingat bahwa di zaman ini waktu, keahlian atau skill sangatlah penting. Untuk mewujudkan pemahaman yang lebih luas mengenai makna kebersamaan itu diperlukan warga yang berpikiran terbuka, agar bisa membuka cakrawala masyarakat  untuk menuju masyarakat yang “gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja”.
Pemikiran mengenai kehidupan kebersamaan berupa gotong royong yang dilaksanakan pada masa lalu yang dimaksudkan dengan tujuan saling menolong dan memenuhi kebutuhan sehari-hari seharusnya pada zaman ini ditingkatkan tujuannya. Artinya kebersamaan tersebut harus dimaksudkan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera dalam keharmonisan berdasarkan tri hita karana dan bukan hanya sekedar pemenuhan isi perut dan setor muka, karena  gotong royong pada zaman ini bisa dilakukan sesuai dengan keahlian yang dimiliki oleh masing-masing individu sesuai dengan desa, kala, patra.
Sebagai masyarakat atau pemeluk Hindu yang mana tujuan hidupnya adalah untuk mencapai suatu kehidupan yang sejahtera materi dan rohani, maka sangatlah penting bagi masing-masing individu untuk memahami makna kebersamaan tersebut secara lebih luas. Tentu kita sebagai pemeluk Hindu harus berani menunjukkan kualitas bukan kuantitas. Biarkan masing-masing individu berkreasi dan mengekspresikan kemampuannya saat mereka masih produktif dan mudah-mudahan mereka kemudian bisa mewujudkan kehidupan yang lebih sejahtera. Karena hanya pada masyarakat yang hidup sejahteralah rasa peduli terhadap sesama akan tumbuh. Warga Hindu seharusnya belajar dari kehidupan nyata. Bilamana warga masyarakat itu hidup dalam kelaparan maka mereka akan mudah digiring pada hal-hal yang negatif. Begitu juga sebaliknya bilamana masyarakat itu sejahtera dan sangat spiritual, maka mereka  tidak mudah digiring ke hal-hal negatif. Maka dari itu sebagai masyarakat Hindu marilah kita tanamkan ajaran kehidupan bergotong royong menuju arah kehidupan yang sejahtera dan bukan bergotong royong untuk memiskinkan warga atau menciptakan masyarakat “skidrow” yang hidup bergerombol namun pikirannya dipenuhi pikiran busuk.
Semoga di masa datang akan terbukti bahwa agama Hindu tersebut mengajarkan kehidupan kebersamaan yang membawa kesejukan dan kedamaian dan bukan kekacauan atau keresahan lingkungan. Marilah kita wujudkan kehidupan bergotong royong untuk mewujudkan kehidupan masyarakat Hindu yang sejahtera dan bukan masyarakat Hindu berjiwa peminta-minta dan penebar keresahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar