Pada setiap setra (kuburan) di Bali biasanya terdapat bangunan suci di bagian hulunya yang disebut Pura Prajapati atau Pelinggih Prajapati. Selain sebagai penstanaan ista dewata, Pura Prajapati juga meryupakan sumber energi maha dahsyat, baik untuk peleburan maupun penciptaan dan pemeliharaan.
Mengenai keberadaan Pura Prajapati memang terdapat dalam berbagai sumber yang uraiannya sedikit berbeda-beda, namun semuanya menyiratkan sebagai bentuk manifestasi Ida Sang Hyang Widhi yang dengan fungsi khususnya bersthana di huluning setra. Penyebutan nama dari pura ini pun beragam, mulai dari menyebutnya dengan Pura Prajapati, Mrajapati, dan di dalam sebuah lontar disebut Rajapati.
Sementara itu keberadaan dan fungsi Pura Prajapati menurut Yama Purana Tattwa: kalau roh yang masih berstatus Preta itu tidak disthanakan di setra dengan Pura Prajapati sebagai hulunya, maka sang roh akan menjadi apa yang disebut atma diyadiyu dan akan gentayangan mengganggu kehidupan di alam nyata. Mensthanakan roh yang masih berstatus Preta tersebut di Pura Prajapati dengan tirtha Pengentas Tanem, dan pada saatnya nanti bila sudah diaben akan dilanjutkan dengan tirtha pengentas pemuput. Roh yang masih di setra di bawah pengawasan Sedahan Setra tersebut statusnya masih dalam proses menuju sorga atau neraka, karena itu perlu diupacarai ngaben.
Pura Prajapati sebagai bagian dari Pura Kahyangan Tiga dibangun di hulun setra berbentuk Padma dan sebuah bentuk bebaturan stana Sedahan Setra. Disebutkan pada sebuah sumber bahwa Pura Prajapati sebagai tempat pemujaan Dewi Durgha dan juga sebagai sthana Sang Hyang Panca Maha Bhuta sebagai unsur-unsur pembentuk alam semesta ini.
Selanjutnya dalam lontar Anda Bhuwana disebutkan Bhatara Siwa bersabda kepada saktiNya, Dewi Uma sebagai berikut. “Duhai Hyang Bhatari, kalau demikian permintaan Bhatari lebih baik Bhatari menetap terus di dunia, semogalah Bhatari dipuja oleh seluruh dunia. Kalau Bhatari berada di timur dipuja oleh orang di Pura Dalem Dhurgalaya namanya, Bhatari bergelar Hyang Bhagavati. Kalau berada di selatan, Bhatari distanakan, dipuja oleh banyak orang di Dalem Cungkub, Bhatari bergelar Dhurgadewati. Kalau Bhatari berada di barat, berstana di Pura Dalem Sunya, bergelar Hyang Laksmidewati. Kalau Bhatari berada di utara, berstana di Pura Dalem Kedewatan, bergelar Hyang Nini Dewati. Kalau di tengah-tengah distanakan di Pura Dalem Darmawisesa, Bhatari bergelar Hyang Nini Dewati. Dipuja oleh semua orang, tiada lain Bhatarilah yang menentukan mati hidupnya semua makhluk.
Setelah selesai demikian, di kemudian hari setelah Bhatari berstana di Pura Dalem Kedewatan, kalau Bhatari ingin bertemu denganKu, pada waktu siang atau malam, perintahkanlah semua manusia membangun “Rajapati” yang merupakan tempatKu bersemayam dengan Bhatari pada waktu Aku datang. Saat kedatanganKu nanti, Aku berbadankan Dhurgakala serta diiringi oleh para dewata dan rsigana, dan semua dewa berbadankan bhuta dan dengen beraneka rupa wujudnya: Bhuta Sweta, Bhuta Rakta, Bhuta Jenar, Bhuta Ireng, Bhuta Mancawarna, Bhuta Ulu Singha, Bhuta Ulu Gajah, Bhuta Brahma, Bhuta Yaksa, Bhuta Siwagni, Bhuta Udug Basur, ….”
Berdasarkan namanya, Prajapati, yaitu terdiri dari kata praja (petugas/pejabat), dan pati (mati), sehingga Pura Prajapati dapat dikatakan sebagai stana dewata yang berwenang mengurusi kematian umat manusia. Dalam Hindu, dewa kematian adalah Yamadipati, dan otoritas Yamadipati sebagai penguasa kematian di Bali kurang populer sebagai figur yang dipuja dalam suatu tempat suci, kecuali dalam stawa atau mantra-mantra. Nampaknya fungsi Yamadipati sebagai penguasa maut di Bali telah disandangkan pada Dewi Durgha (lontar Anda Bhuwana) atau Sang Hyang Prajapati (lontar Gong Besi) dan stananya di Pura Prajapati yang terletak di huluning setra.
Oleh karena dalam lontar Anda Bhuwana disebutkan Dewi Uma yang turun ke dunia menjadi Durgha diberi kuasa oleh Siwa untuk menentukan hidup matinya manusia, maka Pura Prajapati sebagai sthana Beliau menjadi ruang sakral pintu penyeberangan roh ke alam niskala. Berbagai energi spiritual bersumber di Pura Prajapati, mulai dari energi peleburan yang diejawantahkan dalam berbagai bentuk penyakit, maupun energi pemeliharaan, dimana umat Hindu memohon anugerah kesehatan dan keselamatan agar dijauhkan dari gangguan bhuta, pisaca, kala, dan dengen. Berkaitan dengan hal tersebut, keberadaan Pura Prajapati terkesan lebih angker dibandingkan dengan pura-pura lainnya, mengingat keberadaan Bhatari Dhurga bersama pengiringnya serta para roh-roh yang belum disucikan (preta) di tempat tersebut.
Meskipun demikian, dalam fungsinya sehari-hari, Pura Prajapati memiliki dua fungsi, yaitu pemujaan Brahma Prajapati dan pemujaan Dhurga Dewi. Pemujaan kepada Brahma Prajapati dilakukan saat piodalan di Pura tersebut yang ditujukan kepada Dewa Brahma yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya. Hal ini dapat diketahui berdasarkan stawa para pemangku yang diucapkan saat piodalan di Pura Prajapati. Adapun mantra di Pura Prajapati saat piodalan atau persembahyangan: Om Brahma Prajapatih, Sresthah swayambhur warado guruh, Padmayonis catur waktro, Brahma sakalam ucyate. Artinya: Ya Tuhan dalam wujudMu sebagai Brahma Prajapati, pencipta semua makhluk, maha mulia, yang menjadikan diriNya sendiri, pemberi anugerah mahaguru, lahir dari bunga teratai, memiliki empat wajah dalam satu badan, maha sempurna, penuh rahasia, Hyang Brahma Maha Agung.
Sementara itu apabila diadakan upacara pengabenan, maka mantra-mantra yang digunakan pun berbeda, yaitu ditujukan kepada Yama, Dhurga, dan sebagainya yang berkaitan dengan dewa-dewa kematian yang bertujuan menolong roh bersangkutan dapat segera menyeberang kea lam barunya.
Pemuliaan Brahma sebagai Prajapati (Pencipta), dan Dhurga sebagai Prajapati (petugas kematian) dalam satu tempat suci yang sama nampaknya berkaitan dengan ikatan antara Dhurga dengan Brahma. Dalam cerita turunnya Dewi Uma ke bumi menjadi Dhurga disebutkan, saat Dewi Uma dikutuk turun ke dunia dan bersthana di setra, maka Beliau mengalami kelaparan karena tiada yang bisa disantap. Atas kesulitan tersebut Dhurga kemudian memohon anugerah kepada Dewa Brahma, agar diberikan anugerah. Dewa Brahma lantas mengizinkan Dhurga untuk menjadikan manusia yang hidup di jalan adharma sebagai santapannya. Brahma kemudian menganugerahkan berbagai kekuatan gaib penghancur dan penebar berbagai penyakit yang dapat digunakan oleh Dhurga untuk menghancurkan orang-orang adharma. Demikian juga, karena pada hakikatnya umat manusia tunduk pada hukum kematian, Dhurga yang diberi wewenang menyebarkan berbagai penyakit dari berbagai penjuru untuk melebur badan manusia, agar pada masa yang telah ditentukan rohnya dapat terbebas dari belengu badan.
(N. Putrawan)
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar