Oleh I Nyoman Tika
Umat Hindu secara eksternal terkenal damai dan juga terkesan mudah menerima setiap perubahan, fleksibel dan tak reaktif. Karena filosofi yang dirasakan begitu terinternalisasi, sehingga bagi sebagian orang menyebutnya, umat Hindu diam adalah emas, berpikir sattwam, selalu waspada, bersifat seperti air mengalir, berpikir positif adalah bentuk kebajikan. To be silent is the biggest art in a conversation. Sikap diam adalah seni yang terhebat dalam suatu pembicaraan.Dalam kondisi demikian, maka seakan dalil Tuhan akan selalu bersama orang yang damai itu selalu ada dalam pikiran orang Hindu yang ada di Bali.
Lalu benarkah demikian? Kondisi ini dapat memunculkan beberapa hipotesis, yaitu (1) diam dan damai muncul bisa jadi karena sindrom minoritas, dan (2) kultur budaya intelektual yang dialami umat Hindu belum sepenuhnya dibangun dalam kultur dialektika, kemampuan berdebat, mempertahankan diri memang kurang dalam mempertahankan argumen keagamaannya, atau (3) urusan agama tidak perlu dipamerkan, cukup ditunjukkan dalam perilaku, walaupun jarang ke pura, tri sandya setiap harinya, namun tetap memiliki keyakinan bahwa beragama harus dengan perilaku yang baik.
Hipotesis mana yang benar-benar terbukti dalam kenyataan hidup di Bali, sebagai sentra Hindu? Konsep dialektika menarik untuk diketahui. Dialektika adalah Ilmu Pengetahuan tentang hukum yang paling umum yang mengatur perkembangan alam, masyarakat dan pemikiran. Sedangkan metode dialektis berarti investigasi dan interaksi dengan alam, masyarakat dan pemikirannya. Berdasarkan metode dialektis, kita akan melihat beberapa fenomena yang kembali marak dalam kehidupan beragama Hindu di Bali saat ini
Belum lama berselang, publik cukup dikagetkan kembali membaca berita yang tidak enak. Pandita Mpu yakni salah satu sulinggih yang berasal dari Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR), tidak diperkenankan duduk di bale pemiyosan ketika hendak melakukan pemujaan di Pura Dasar Buana Gelgel. Akibat pelarangan itu, MGPSSR memutuskan, Ida Bhatara Mpu Gana yang diyakini malinggih di Pura Dasar Buana Gelgel akan dituntun dan distanakan sementara di Pura Catur Lawa Besakih. Artinya, ada reorientasi pada tradisi yang sudah berlangsung berabad-abad, kini di zaman digital justru akan ditinggalkan karena kita semua belum sepenuhnya memahami makna sesungguhnya “tentang pandita.” Kondisi ini mengisyaratkan semacam “diskriminasi’ terhadap klan, soroh, dan asal usul rohaniwan Hindu. Lalu kondisi ini menunjukkan bahwa umat Hindu belum ‘move on’ walaupun sumber-sumber sastra demikian banyak di era digital ini yang dengan mudah diakses dengan gawai cerdas, namun kita tetap belum beranjak jauh. Kita masih berada pada dimensi sifat instinktif dengan residual primitif yang dimunculkan ke permukaan. Kerap kita menilai spiritual sesorang berdasarkan klan, atau asal usul, bukan pada laku dan apa yang saat ini dilakukan. Kita sedang menggunakan bentuk assesment semu dalam menilai “spiritual’ seseorang.
Di terminal itu, local primordial seakan kembali mencuat ke permukaan seakan tak pernah usang mengerogoti umat Hindu untuk mengakui kemampuan sesama. Dan semakin menguat, lebih-lebih di saat berbagai konflik kepentingan menyeruak dalam kehidupan bangsa, seperti konflik politik, bisnis, etnis maupun konflik lokal. Kondisi mental ini seakan sulit memudar dan masih bercokol dengan keras di komunitas Hindu di Bali
Pandita, dari manapun asalnya mereka adalah laku yang telah melalui proses yang selama ini mampu menguncarkan Weda, dan mereka tak perlu dilecehkan, dan dibatasi oleh ruang dan waktu. Kalau itu terjadi, maka kita masih menenggelamkan diri pada cara pandang beragama berjenjang dan terjebak pada kesalahan pengkastaan manusia dan kasta –kasta itulah yang selama ini memperburuk citra Hindu.
Lalu muncul sebuah dalil, ketika pura dibuat berjarak dengan para rohaniawan dan sebagai ruang pengklasteran, maka pendekatan Durkheim sulit dibantah, Pura telah memasuki wilayah fungsionalisme baru, yaitu lembaga sosial sebagai sarana kolektif untuk memenuhi kebutuhan individu, telah tergerus dan fokus pada cara-cara di mana lembaga-lembaga sosial memenuhi kebutuhan sosial, terutama stabilitas sosial. Dalam tataran ini tempat suci menjadi arena bukan berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan sebagai zat asali, namun menjadi hubungan dengan manusia dan kekuasaan. Pada tataran ini pura menjadi terkotori oleh kehendak motif-motif rendah, yaitu kekuasaan yang condong koruptif.
Dalam bingkai itu pura diarahkan maemasuki zona individualistik, sehingga ruangnya menyempit, belum meluber menjadi ruang yang jamak dan multi sudut pandang. Akibatnya, pengabdi menjadi tumpul, lamban, dan malas karena meningkatnya tamo guna ‘sifat tamas.’
Dengan tamo guna adalah memunculkan egos kian merebak, sehingga tanpa waspada bisa menjadi bagian dari pertentangan antar kelompok, generasi dan kelas dalam rangka meneguhkan dan meligitimasi praktek dan institusi baru. Dalam kasus di Pura Dasar Buwana Gelgel, saya harus mengangkat topi pada sesepuh dan pemimpin keluarga Pasek, dengan arif beliau memutuskan sesuatu yang bijak dengan memindahkan sementara, sambil menunggu keputusan selanjutnya, tanpa harus saling menyakiti atau memasalahkan pihak lain. Namun sebagai seorang yang lahir dari pergulatan dinamika Hindu, saya harus mengkritisi secara keseluruhan cara kita mendidik umat dan membangun kecerdasan Umat Hindu, sebab inilah yang sering dilupakan ketika lembaga pembinaan umat Hindu, Litbangnya alpha membangun dinamisasi pergesekan ini. Akibatnya, kerap terlupakan juga, pengkajian teori tentang individualisme mencari ranah kontras dari kebudayaan-kebudayaan lain yang tidak memiliki individualisme sebagai titik perbandingannya, sehingga sinkritisme adalah solusi yang kita bisa nikmati hingga saat ini di Bali. Sayang saat ini kita seakan mau mengamputasinya dengan cara halus, sungguh sangat disayangkan.
Penyebab utamanya adalah komunikasi antar budaya generasi yang tersumbat. Sungguh aneh di zaman modern ini bisa terjadi, bisa mencontoh, di zaman kuno hubungan antar etnis sering dilakukan oleh saudagar Cina, Madagaskar, India dan bangsa lainnya tanpa pertumpahan darah bahkan sering terjadi perkawinan antar etnis untuk melanggengkan tali kekeluargaan. Kita kenal komunikasi antar budaya Cina ke Eropah dan Asia dengan “Jalur Sutera“ yang selain bermisi dagang juga memiliki misi budaya. Namun kita tidak banyak melestarikan dan mencontoh cara-cara mereka.
Mengapa demikian? Individualisme dianggap sebagai ideologi paling dominan dalam masyarakat kapitalis dan sistem kepercayaan perusak yang sangat bertentangan dengan model eksistensi yang kolektif dan tradisional saat ini, karena mereka dapat menumbuhkan dimensi baru krisis dalam memerangi kemiskinan dan keterbelakangan kelompok. Inilah sebenarnya yang kita takutkan merebak dalam ekosistem beragama di Bali. Terbukti walaupun banyak orang di Bali yang Hindu, namun angka kemiskinan dan putus sekolah tidak beranjak jauh. Tat Twam Asi, belum sepenuhnya bisa terlaksana, karena tidak ada internalisasi nilai.
Inilah yang kita khawatirkan dari pemikiran Marx dan Weber yang memandang individualisme sebagai unsur alamiah tatanan kapitalis kompetitif yang meligitimasi hak milik dan mengatakan bahwa reformasi yang merupakan lahan persemaian individualisme dalam bidang politik dan ekonomi. Akibatnya, tempat suci menjadi wilayah yang diperebutkan untuk menularkan eksistensi kekuasaan.
Kekhawatiran pura sebagai komoditas adalah cermin dari realisasi pemikiran Max, yakni bahwa masyarakat yang didasarkan pada produksi komoditi, dimana produsen terjun langsung ke dalam relasi sosial dan memposisikan produk itu sendiri sebagai komoditi sekaligus nilai. Kerja individual privat ini direduksi menjadi standar kerja manusia yang homogen, sehingga bagi masyarakat ini menjadi semacam agama baru. Agama dengan nilai spiritualnya berdiri berjarak dengan nilai kehidupannya.
Di bingkai itu agama semakin dibuat sesuai dengan teori dari Antropolog Bronisław Malinowski (1884-1942) bahwa agama hanya mengatasi kematian. Dia melihat sains sebagai pengetahuan praktis bahwa setiap masyarakat perlu berlimpah cara untuk bertahan hidup dan diantaranya sihir yang terkait dengan pengetahuan praktis ini, tetapi umumnya berhubungan dengan fenomena bahwa manusia tidak dapat mengendalikan. Akibatnya, agama meriah dalam prosesi kematian.
Selain itu, genenerasi muda Hindu yang berada dalam garis depan telah menunjukkan kebekuan akal, dan nalar, sehingga melahirkan generasi yang membebek, dan tidak mampu mandiri, dan kerap tak mampu menyuarakan kepentingan umat Hindu, misal di kelas saya mengajar 200 mahasiswa agama Hindu, mereka mahasiswa baru, tak satu pun dari mereka mampu memberikan nalar jernih tentang’penomena kepanditaan dan makna “diskriminasi” kependetaan dalam ranah yang merebak di media sosial, dan lingkup pemikirannya. Tidak ada ada solusi dan banyak diantara mereka diam, lalu, tidak tahu, dan topik itu tak menarik untuk diketahui, itu adalah urusan orang tua, dan lain-lain. Siapa yang salah, karena pembelajaran agama di kelas-kelas di bawahnya lebih banyak menghafal dan tidak diabawa pada proses ikut memikirkan memecahkan secara kontekstual.
Oleh karena itu tidak mengherankan kalau mahasiswa yang saya beri kuliah agama Hindu saat ini memang lebih mudah menggunakan sumber, namun tak mampu membangun nalar yang inovatif dalam memahami agama Hindu. Kondisi ini menunjukkan bahwa (social cognitive theory) yang dikemukakan oleh Albert Bandura Belum sepenuhnya terhadaptasi pada budaya pengajaran kita. Mereka diberikan pembelajaran agama, dan proses menginternalisasi nilai agama Hindu belum sepenuhnya tersentuh.
Oleh karena itu, menarik menata dari awal, menginternalisasi nilai agama Hindu haruslah dimulai sejak dini, mulai dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Bagi mereka yang mampu lakukanlah sebuah terobosan untuk menjadi orang tua asuh, agar banyak generasi muda Hindu tercerdaskan. Benar kata-kata bijak “Knowledge And Skills Are Tools, The Workman Is Character- Pengetahuan Dan Keterampilan Adalah Alat, Yang Menentukan Sukses Adalah Tabiat.
(Raditya esisi Oktober 2016)
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar