Oleh I Nyoman Tika
Permasalahan yang muncul saat ini adalah korupsi belum bisa memudar. Korupsi diduga terjadi karena pemahaman etika beragama semakin meluntur. Manusia sudah semakin fragmatis, pemuja materi dan lupa bahwa hidup itu sangat pendek. Jerat korupsi melibas hampir berbagai kalangan, termasuk umat yang beragama Hindu. Di koridor itu etika beragama Hindu nampaknya perlu direvitalisasi.
Etika dapat dijelaskan secara operasional adalah nilai-nilai serta norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam hal ini etika dirumuskan sebagai sistem nilai yang bisa berfungsi baik dalam kehidupan manusia perseorangan maupun pada tarap sosial. Selain itu etika juga bisa dipandang, sebuah tindakan refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok. Lalu etika Hindu apa saja isinya?
Agama Hindu mempunyai bangunan dasar agama yang sangat ketat, hal ini sebagai pedoman bagi umat Hindu dalam menjalankan ibadah serta syariat agamanya sehari-hari. Semua ajaran tentang kerangka dasar ini bersumber dari Kitab Suci Weda dan Kitab-kitab Suci Agama Hindu lainnya. Kerangka dasar agama Hindu tersebut ialah: (1)Tattwa atau Filsafat Agama Hindu, (2) Susila atau Etika Agama Hindu, (3) Upacara atau Ritual Agama Hindu. Bagi umat Hindu menjalani serta memahami ketiga kerangka dasar tersebut menjadi suatu kewajiban dan sangat penting. Oleh karenanya setiap umat Hindu akan dengan sungguh-sungguh melaksanakan ketiga kewajiban tersebut.
Dalam agama Hindu etika dinamakan susila, yang berasal dari dua suku kata, su yang berarti baik, dan sila berarti kebiasaan atau tingkah laku perbuatan manusia yang baik. Dalam hal ini maka etika dalam agama Hindu dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tata nilai, tentang baik dan buruknya suatu perbuatan manusia, mengenai apa yang harus dikerjakan dan apa yang harus ditinggalkan, sehingga dengan demikian akan tercipta kehidupan yang rukun dan damai dalam kehidupan manusia. Pada dasarnya etika merupakan rasa cinta kasih, rasa kasih sayang, dimana seseorang yang menjalani dan melaksanakan etika itu karena ia mencintai dirinya sendiri dan menghargai orang lain. Etika menjadikan kehidupan masyarakat menjadi harmonis, karena saling menjunjung tinggi rasa saling menghargai antar sesama dan saling tolong menolong. Dengan etika akan membina masyarakat untuk menjadi anggota keluarga dan anggota masyarakat yang baik, menjadi warga negara yang mulia.
Ketika para pejabat negara tersandung kasus korupsi, sebuah pertanyaan muncul? Mengapa para pejabat yang terhormat dengan fasilitas mewah dan gaji besar masih harus maling uang negara? Pertanyaan itu wajar, model hidup seperti apa yang diharapkan lagi dengan materi yang melimpah dari hasil korupsi. Dalam dimensi itu, nampaknya, ada pergeseran nilai dalam masyarakat. Nilai itu, sesungguhnya, meminjam terminologi psikolog Harvad University Henry Alexander Murray (1893-1988) menyebutnya sebagai ‘extraception, yaitu sikap skeptis atau biasa-biasa saja seseorang terhadap fenomena yang ada dilingkungannya.
Respon extraception (ekstrasepsi), muncul karena lingkungan sosial tidak memberikan tekanan terhadap tindakan yang melanggar norma, seperti korupsi. Korupsi sudah dianggap tindakan biasa dan umum, karena punishment yang diberikan kepada koruptor sangat ringan, sehingga tidak memberikan efek jera. Akibatnya, korupsi telah mengalami proses internalisasi di ”long term memory otak nya “secara permanen pada sebagian warga bangsa, dan tidak menimbulkan instabilitas pada diri seseorang bila mereka melakukan korupsi walau itu melanggar hukum. Celakanya, tindakan-tindakan yang diakibatkan akan terus menular pada orang lain.
Ekstrasepsi pun telah membangun dimensi baru dalam benak individu, bahwa korupsi menjadi semacam budaya instan agar bisa kaya dengan cara cepat, karena adanya pasal karet yang bisa dibeli,. Tidak sedikit aparat hukum juga berperan sebagai maklar kasus, sehingga hukuman benar-benar ringan dan bebas. Sampai disini berlaku Teori Ramirez Torres tentang korupsi, yaitu korupsi adalah kejahatan kalkulasi atau perhitungan (crime of calculation) bukan hanya sekedar keinginan (passion). Seseorang akan melakukan korupsi jika hasil yang didapat dari korupsi lebih tinggi dari hukuman yang didapat dengan kemungkinan tertangkapnya yang kecil. Lebih-lebih mantan korupsi bisa menjadi pejabat, juga tetap kaya, sehingga terus terpandang. Dalam masyarakat yang sakit, menjadi pejabat adalah cita-cita agar bisa mendapat kesempatan untuk merampok uang negara, sehingga proses menjadi pejabat dan duduk di pemerintahan dapat dilakoni dengan ‘menghalalkan segala cara” termasuk membeli suara rakyat karena punya uang hasil korupsi.
Akibatnya muncul “kondisi masyarakat sakit, dengan ciri-ciri yang amat jelas, yaitu, pertama, sistem hukum yang ada terbukti telah gagal melindungi masyarakat dan menghilangkan atau mengurangi kejahatan. Kedua, penegak hukum gagal menjalankan fungsinya secara benar. Ketiga, berkembang suasana anarkhisme massal, yakni ketika terjadi kecenderungan, bahwa tiap persoalan yang ada di tengah masyarakat, penyelesaiannya ditempuh dengan cara kekerasan. Ketiga ciri itu sangat akrab pada diri masyarakat kita.
Dalam bingkai itu, ekstrasepsi semakin menyuburkan budaya korupsi pada aras budaya patronisme. Tak aneh , bila bupati, gubernur, DPRD, DPR , MK, dan terakhir DPD sudah terinfeksi virus korupsi. Peristiwa terakhir menunjukkan bahwa kekuasaan memang sangat menentukan di negeri ini, sebab memperdagangkan pengaruh (trading in influence), juga praktek korupsi, baik memberi tawaran (active trading in influence), maupun menerima tawaran (pasive trading in influence). Akibatnya saat ini, tidak ada institusi dan entitas negeri ini yang steril dari virus korupsi. Mulai dari keluarga, suami istri, atau orang tua –anak, berkolaborasi untuk melakukan korupsi. Celakanya, juga entitas penjaga moral dan etika pun tak kebal dari korupsi, sehingga perlu diberikan antibodi untuk mencegah penyakit korupsi itu.
Entitas kekuasaan memang rentan dengan infeksi korupsi, mana kala pengendalinya, juga terpapar korupsi. Di bingkai itu, menurut Klitgaard (1988) dalam buku “Controlling Corruption, menyebutkan bahwa monopoli kekuatan oleh pimpinan (monopoly of power) ditambah dengan tingginya kekuasaan yang dimiliki seseorang (discretion of official) tanpa adanya pengawasan yang memadai dari aparat pengawas (minus accountability), menyebabkan dorongan melakukan tindak pidana korupsi. Pejabat publik melakukan tindakan korupsi, adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yaitu pemerintahan oleh para pencuri. Kondisi ini telah didengungkan dengan keras oleh Lord Acton (1834 -1902), bahwa kekuasan berkorelasi positif dengan korupsi. Ia mengatakan power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.
Ekstrasepsi itu pun semakin dalam memasuki bahwa sadar masyarakat dengan semakin banyak kasus-kasus korupsi terbongkar. Walaupun Presiden Joko Widodo terus menerus mendengungkan penegakan hukum, dan turun ke bawah melihat berbagai penyimpangan, tetapi merebaknya korupsi di tanah air adalah ironi, karena penindakan korupsi terus melemah, artinya dapat diduga “semua dapat bagian.” Itu menunjukkan bahwa walaupun usia kemerdekaan kita sudah 71 tahun, penegakan hukum seakan semakin kusut. Penegak keadilan tidak menunjukkan kinerja yang mumpuni.
Lalu, diperparah lagi oleh isu jual beli status justice colaborator. Kondisi ini semakin menunjukkan sebuah preseden buruk penegakan hukum di negeri ini. Justice colaborator itu menjadi ladang empuk, pelaku tindak pidana yang bekerjasama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatannya menjadi salah satu syarat bagi terpidana guna mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat. Tapi celakanya, dengan aset dan dana yang dimiliki dari hasil korupsi ini, memang tidak sulit bagi koruptor untuk menyuap agar mendapatkan status justice collaborator”
Mengatasi ekstrasepsi, KPK yang mendorong agar koruptor juga dikenai beban biaya sosial, untuk menimbulkan efek jera, gentar, yang nantinya dapat mengembalikan (memulihkan) kerugian keuangan negara, yang pada akhirnya dapat meningkatkan hukuman yang diterima, oleh koruptor. Pasalnya sederhana dua tahun terakhir menunurut catatan ICW, rata-rata vonis korupsi paling lama 2 tahun, 1 bulan, untuk tahun 2016, turun dari 2 tahun 11 bulan tahun 2013. Kondisi ini ditengarai kemenganan lobi koruptor untuk penegakkan hukum di Indonesia.
Solusi yang ditawarkan untuk memberikan imunisasi agar kebal terhadap infeksi korupsi adalah, pertama, memberikan pemahaman agar generasi muda melek dan tidak tertular mental korupsi, maka salah satu cara adalah pengenalan korupsi sejak dini. Baik di keluarga sekolah dan di masyarakat.Dalam pendidikan di Perguruan Tinggi, berbagai kebijakan ditempuh untuk program anti korupsi. Misal Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, pendidikan anti korupsi terintegrasi dalam mata pelajaran Agama, khusus Agama Hindu, para dosen mengintegrasikan (menyisipkan) dalam pokok bahasan etika beragama. Bahwa tindakan korupsi bertentangan dengan ajaran agama. Kondisi ini menurut hemat penulis memang belum sepenuhnya manjur, karena ruang pendidikan kampus dan sekolah, adalah satu diantara wahana pendidikan, diperlukan kerjasama yang terus menuerus antar orang tua, pemerintah, masyarakat dalam membangun moral generasi muda yang bebas dari korupsi.
Kedua, meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hukum, dan pemegang otoritas kekuasaan harus memiliki karakter, yaitu melayani masyarakat dengan konsep yang diajarkan oleh Mahatma Gandhi, melayani (yadnya), memberikan yang lebih dan mengambil sedikit (dana), dan tahu batas/pengendalian diri (tapa). Kondisi ini sejalan dengan Erich Fromm dalam bukunya Escape From Freedom (1997), mengartikan otoritas bukan sebagai kualitas yang dimiliki seorang pribadi dalam arti memiliki kekayaan atau kualitas-kualitas fisik. Otoritas, menurut Fromm, menunjuk pada hubungan antar-pribadi, dimana orang yang satu memandang orang lain lebih tinggi ataupun lebih rendah daripada dirinya.
Ketiga, membangun supremasi hukum dengan kuat, hukum adalah pilar keadilan. Ketika hukum tak sanggup lagi menegakkan sendi-sendi keadilan, maka runtuhlah kepercayaan publik pada institusi ini. Ketidakjelasan kinerja para pelaku hukum akan memberi ruang pada koruptor untuk berkembang dengan leluasa. Untuk itu sangat perlu dilakukan membangun supremasi hukum yang kuat. Tidak ada manusia yang kebal hukum, serta penegak hukum tidak tebang pilih dalam mengadili.
Lalu sudah beragam aksi dilakukan yang pada akhirnya mencederai kepercayaan publik pada kinerja pemerintah. Akibatnya, menarik merenungi ucapan peraih hadiah Nobel (1987) yang juga presiden Kosta Rika, Oscar Arias Sanchez, “ Skandal korupsi berkepanjangan, membuat rakyat frustasi dan akhirnya dapat melumpuhkan demokrasi. Demokrasi dapat lumpuh ketika korupsi meraja lela.
Akhirnya, tak bisa disangkal, kata-kata bijak Bernardus Maria Taverne (1894-1944) dia berkata dengan inspiratif, “ “Berikan aku hakim, jaksa, polisi, dan advokat, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang.”” (Geef me goede rechter, goede rechter commissarisen, goede officieren van justitien, goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboeken van strafprocessrecht het geode beruken). Dalam penegakan hukum bukan undang-undang yang menentukan, melainkan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh manusianya. Dinamika penegakan hukum di Indonesia memperlihatkan kebenaran pernyataan Taverne. Warna penegakan hukum banyak ditentukan komitmen dan sosok pribadi orang yang menjadi polisi, jaksa, hakim dan advokat. Di tataran itu maka implementasi etika Hindu perlu ditegakkan untuk membina agar umat Hindu dapat memelihara hubungan baik, hidup rukun dan harmonis di dalam keluarga maupun masyarakat.
(Penulis, Dosen Pascasarjana Undiksha).
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar