Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Jumat, 11 November 2016

Kisah Tulasidas Menjadi Maharshi Berkat Nasihat Sang Istri

Oleh I Ketut Winaka

Atmaram dan istrinya Tulasi, adalah bhakta baik, rendah hati dan sangat taat pada Tuhan, namun  mereka  adalah pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak. Setelah memohon dalam kurun waktu yang sangat lama, mereka dikaruniai sorang putra. Tetapi sayang sekali   bahwa   Tulasi   meninggal  dunia  sesaat  seusai  persalinan.

Dalam amarah dan kebencian yang amat sangat Atmaram melepaskan diri dari kelekatan duniawi. Dia pergi masuk ke hutan untuk melakukan tapa dengan bermeditasi, ditinggalkannya putranya dalam titipan pada seorang tetangganya. Keluarga yang mendapat titipan tersebut menjaga dan merawat Sang Bayi. Anak ini tumbuh sehat dan semakin besar, ternyata anak yang masih muda ini sangat tertarik dan terpesona setiap kali mengamati tumbuhan ‘Tulasi’. Oleh karena itu, ia pun diberi nama ‘Tulasidas’. Ia kemudian ikut pada seorang guru dan sangat tertarik mendalami berbagai disiplin ilmu sastra dan kitab suci. Terkesan oleh pencapaian Tulasidas, maka Sang Guru menikahkan Tulasidas dengan putri kandungnya yang bernama Ratnavali. Kemudian mulailah terlihat munculnya babakan baru dalam kehidupan Tulasidas. Ia sangat mabuk kepayang atas istrinya yang cantik dan masih muda, oleh karena kegandrungan birahi tersebut Tulasidas berhenti melaksanakan kegiatan ritual dan membaca Veda. Pemujaan yang sebelumnya dilaksanakan dengan wajar-wajar, kini malah menjadikan Tulasidas ‘kesetanan’ (kerasukan), dengan mengamati hal-hal itu Sang Guru merasakan ada sesuatu yang buruk dalam berubahnya arah perkembangan Tulasidas. Seperti misalnya kejadian yang disebabkan oleh munculnya nafsu birahi, padahal sebelum berkeluarga Tulasidas mampu mengendalikan indrianya, kenapa setelah beristri ia malah menjadi budak nafsu indriawi.
Suau kali di lingkungan keluarga Tulasidas ada seseorang yang meninggal dunia. Tulasidas pun berkunjung kesana untuk memberi hiburan dan membesarkan hati keluarga yang ditinggalkan. Ratnavali melihat hal ini sebagai sebuah kesempatan yang harus dimanfaatkan, maka di rumah ia pun menulis surat yang berisi pesan yang ditujukan kepada Sang Suami (Tulasidas), dan selanjutnya ia segera pergi ke rumah orangtuanya. Malam harinya Tulasidas pulang ke rumah di bawah guyuran hujan lebat, ia melihat rumahnya terkunci. Setelah membaca pesan yang ditulis istrinya, maka Tulasidas bergegas pergi ke rumah mertuanya, untuk menjumpai Ratnavali.
Saat ibu mertuanya hendak membukakan pintu bagi Tulasidas, Ratnvali meminta ibunya untuk jangan repot-repot, kerena ia sendiri yang akan melakukannya. Begitu Ratnavali membuka pintu, dilihatnya Tulasidas basah kuyup tersiram curahan hujan, dan tubuhnya penuh terbalur lumpur. Keadaan itu dimanfaatkan oleh Ratnavali untuk memberi nasehat  pada suaminya: “Dari pada engkau habiskan seluruh waktumu hanya untuk kegiatan-kegiatan yang penuh gairah birahi, kegandrungan pada istri, kesayangan berlebih pada anak dan saudara serta dari pada tergila-gila pada hal-hal kenikmatan duniawi, maka lebih baik bila engkau gunakan waktu mu setidaknya dalam beberapa menit untuk memusatkan pikiran pada kaki suci Tuhan yang Maha Kuasa.”
Nasehat Ratnavali tersebut, tanpa dapat ditunda lagi, segera berhasil merubah sifat Tulsidas. Dengan demikian ia  masuk ke dalam hutan untuk melaksanakan tapa, dan akahirnya ia berhasil menjadi Maharshi yang kemudian memiliki karya besar dengan menulis kisah Ramayana. Teriring perjalanan waktu beberapa orang datang menghadap Sang Maharshi Tulasidas, dalam rombongan tersebut ikut serta Ratnavali. Begitu melihat istrinya, maka Sang Maharshi bersujud di hadapan Ratnavali. Dengan cepat Ratnavali berusaha melarang Maharshi Tulasidas bersujud, namun Maharshi saat itu menjelaskan: “Orang yang menasehati dan mengingatkan akan tugas kewajiban, orang yang menanamkan sopan santun dan susila, adalah orang yang berhak bersetana di kaki padma Tuhan Sang Guru Agung, maka orang tersebut layak mendapat penghormatan, tanpa memandang usia dan jenjang kehidupannya dalam masyarakat.” Setelah kejadian tersebut, Ratnavali juga menjadi seorang ‘Sanyasa’, meninggalkan ikatan duniawi.

(Dipetik dari terjemahan bebas buku  berbahasa Inggris “SATHYA SAI”  the Avatar of Love, halaman 135 – 136,
naskah asli berjudul “Sathya Upanishad”
adalah catatan tanya jawab Sri Bahagvan
dengan K. Anil Kumar).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar