I Ketut Sandika
Berenang pada samudra Hinduisme adalah kebahagiaan yang terdalam, sebab banyak jalan yang disuguhkan dalam rangka manusia menghubungkan diri dengan Tuhan. Bagaikan aliran sungai yang banyak, namun pada akhirnya lebur ke dalam satu samudra yang luas, demikian juga sama halnya seperti banyak jalan untuk menuju puncak yang satu. Pemahaman inilah menempatkan, bahwa Hinduisme merupakan agama yang selalu memperlihatkan elastisitas universalnya dalam setiap kondisi. Demikian pula, Hinduisme adalah agama yang tidak bersandar pada dogma-dogma yang kaku, lebih-lebih menyatakan sesat bagi penganutnya yang beragam. Justru dalam Hinduisme keragaman adalah memunculkan keindahan, dan keragaman berawal dari kecendrungan tipe pemikiran manusia yang berbeda.
Atas dasar itulah dalam Hindu kita akan menemukan keragaman metode dalam manusia mendekatkan diri dengan Tuhan. Terlebih umat Hindu di Bali memiliki berbagai cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, dan hal itu dapat dilihat dari banyaknya hari suci dan ritual yang dapat dimaknai sebagai rambu-rambu penyadaran diri. Banyaknya hari suci, ritual yajna hendaknya jangan dipahami beragama Hindu itu ruwet, mahal dan sejenisnya. Demikian banyaknya hari suci dan ritual sesungguhnya dapat dimaknai tattwanya sebagai media untuk umat Hindu dapat menumbuhkan kesadaran rohani dalam diri. Demikian juga sebagai media untuk kita selalu mawas diri akan tarikan maya di jaman Kali yang demikian hebatnya. Dua ribu satu macam cara maya untuk kita melupakan asas kesejatian kita yang sejati. Oleh karena itu, hari suci dan banyaknya ritual yajna menjadi sangat penting sebagai momentum untuk kita senantiasa eling akan kesejatian diri yang sejati.
Hari suci Tumpek Kandang misalnya, jatuh setiap hari Sabtu Kliwon Wuku Uye menurut perhitungan kalender Bali-Jawa. Hari ini datang setiap enam bulan (210 hari) sekali. Pada hari ini umat Hindu membuat upacara memuja keagungan Siva atau Pasupati sebagai salah satu aspek Tuhan yang memelihara semua mahluk di alam semesta. Pada hari suci Tumpek Kandang, seperti biasa umat Hindu menghaturkan sesaji kepada Dewa Pasupati, seraya memohon agar sarwa sato atau hewan peliharaan atau ternak dapat hidup dengan baik. Bagi yang tidak tahu Hindu, atau yang mengaku Hindu tetapi sebenarnya tidak mengetahui, nampak ritual hari suci Tumpek Kandang terkesan ritual gugon tuwon, gama tuwut, primitif dan berbalut berhalaisme buta, sebab hewan dipuja dibuatkan upacara dan yang lainnya.
Mencermati hari suci Tumpek Kandang di mana umat Hindu mempersembahkan ritual sesungguhnya mengandung beragam makna yang dapat ditafsirkan. Melihat dari sarana (material) ritual yang digunakan pada hari suci Tumpek Kandang sejatinya adalah media dalam mengingatkan kita akan Tuhan yang berada di balik alam material ini. Tuhan sebagai sari yang halus menyusupi segalanya (Chandogya-Upanisad, VI.8.7), semua yang bergerak dan tidak bergerak terbungkus oleh Tuhan (Isa Upanisad,1), Tuhan berada pada segalanya bagaikan api yang berada dalam kayu bakar (Sathapata Brahmana), demikian juga Tuhan meresap pada segalanya bagaikan minyak yang berada dalam santan (Siwa Tattwa). Jadi, penggunaan sarana material ritual secara fundamental untuk menumbuhkan kesadaran akan Tuhan yang berada pada segalanya, di samping untuk membangkitkan bhava kesucian dalam diri. Penggunaan sarana ritual tidaklah pula sebagai upaya menyogok Tuhan, akan tetapi sebagai pengungkapan rasa syukur akan karunia yang telah diberikan. Vedanta berpandangan Tuhan adalah segalanya dan Tuhan pemilik segalanya, maka apalagi yang dapat kita persembahkan selain rasa syukur melalui ritual.
Hari suci Tumpek Kandang sendiri, tidak semata-mata kita hanya mempersembahkan ritual yajna kepada para dewa Pasupati. Namun penting juga memahami dari sudut trancendent, bahwasannya hari Tumpek Kandang merupakan hari di mana kita hendaknya mempersembahkan sifat hewani kita kepada Tuhan, sehingga sifat kedewataan muncul dalam diri. Dalam diri manusia dua sifat, yakni Asuri (keraksasaan, hewani) dan Suri (daiwi, kedewataan) tidak dapat dipisahkan eksistensinya. Jaman dahulu para Dewa dan Asura memiliki tempat tinggal yang berjauhan, dan mereka saling bertempur untuk mengukuhkan supremasi masing-masing. Selanjutnya pada jaman Rama, Rahwana yang mewakili kaum atau sifat Asura berada di sebarang lautan. Kemudian pada jaman Krishna, Kamsa yang mewakili sifat Asura berada dekat dalam keluarga Sri Krishna, dan Kamsa yang tiada lain pamannya Krishna. Sedangkan jaman Kali ini Asura tidak lagi berada jauh di sebarang lautan, atau dalam keluarga, akan tetapi Asura berada dekat, yakni dalam diri. Jadi, musuh itu sebenarnya tidak jauh dari diri kita, tetapi musuh ada dalam diri (Kekawin Ramayan, I.3).
Oleh sebab itu, visi dan misi utama terlahir menjadi manusia adalah menyadari akan musuh yang berada di dalam diri, dan berusaha mengatasinya, sebab musuh ini tidak akan dapat dibunuh dengan senapan, bom dan sejenisnya. Justru, musuh ini akan dapat menghancurkan kita dan membakar diri kita dengan mudah bagaikan tumpukan jerami yang terbakar oleh api.
Hari suci Tumpek Kandang inilah dapat dijadikan momentum untuk manusia dapat membangkitkan kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan oleh sifat Asuri, dan berusaha mengeliminir sifat hewani (Asuri) dalam diri, sehingga sifat Suri (Dewata) dapat muncul dalam diri. Seringnya sifat Suri atau Daiwi memancar dari dalam, maka hati akan selalu memantulkan energi cinta kasih murni, dan sifat hewani atau Asuri akan dapat diatasi. Musuh tersebut hanya dapat dihancurkan dengan senjata cinta kasih murni, demikian juga tidak ada yang tidak dapat ditundukkan di dunia oleh kemauan yang diilhami oleh kasih murni. Mempersembahkan sifat hewani (Asuri ) pada kaki padma Tuhan adalah yajna yang utama, dan dapat dimunculkan pada saat hari suci Tumpek Kandang, sehingga energi cinta kasih universal dapat tumbuh dalam diri, sehingga dapat menginspirasi manusia untuk dapat harmoni dalam cinta kasih. Cinta kasih tidak dalam artian sempit yang identik dengan cemburu, marah, curiga dan sejenisnya, akan tetapi mengutip pernyataan Rsi Narada dalam Narada Bhakti Sutra, cinta kasih murni adalah cinta yang tidak bersyarat dan tidak terbatas.
Sifat Asuri tidak dapat kita melakukan penafikan atas keberadaanya dalam diri, dan sifat ini sangat kuat mencengkram, sehingga Yang Sejati lupa akan keberadaannya. Akan tetapi sifat Daivi Sampat adalah anugrah Tuhan sebagai alat yang seharusnya digunakan untuk mengatasi sifat keraksasaan (Asuri). Adalah kebodohan jika selamanya manusia dikendalikan oleh sifat Asura yang akan berimplikasi pada penderitaan. Sisi spiritual yang dimunculkan melalui perayaan hari suci Tumpek Kandang inilah hendaknya dimunculkan kembali, agar trasformasi spirit Asuri menuju Daivi dapat terwujud. Demikian juga, sudah seharusnya umat Hindu dapat menumbuhkan semangat untuk memaknai setiap event suci, agar umat Hindu tidak selalu berada pada zona nyaman dan kesenangan akibat dari pengaruh sifat Asuri. Tolong diingat dan direnungkan, Vedanta telah memberitahukan bahwa jalan kesenangan (preya) tidak akan membawa manusia pada akhir, sebab kesenangan hanya semu dan tidak abadi.
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar