I Nyoman Tika
Konsepsi kehinduan untuk hubungan antara binatang dan manusia, serta alam sekitarnya kerap hadir dalam bentuk ekosistem spiritual, yang kemudian dimaknai sebagai bentuk yang abstrak “Tri Hita karana”, Konsep ini hadir dan bergemuruh dalam tataran kehidupan umat Hindu. Harmonisasi dengan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan Lingkungan dan manusia dengan manusia. Yang dilandasi sesanti “Sarwa Brahma Mayam, Tatwam asi , sarwa prani hitangkarah” semua itu sebagai pegangan bagi umat Hindu, untuk selalu have to game in one’s hands’ (yakin berhasil) dalam mengarungi samudera kehidupan ini.
Bisa dimaklumi bahwa, hubungan yang paling dekat antara manusia dengan Lingkungan adalah tahap awal interaksi itu. Lingkungan mendapat satu sisi harmoni dengan unsur pendukungnya, yaitu tumbuhan, hewan dan panca mahabuta (pertiwi, bayu, teja, apah/air, akasa). Ketiganya dimaknai sebagai jaring-jaring energi dalam bentuk yadnya yang memberikan tenaga untuk kehidupan yang lebih baik bagi komunitas manusia. Di koridor jejaring kehidupan dan harmonisai untuk hewan itu, umat Hindu, tradisi Hindu menyodorkan formulasi Tumpek Kandang/Uye. Pengormatan pada kekuatan roh yang menghidupi hewan, karena itu merupakan keagungan Hyang Widhi. Sarwabhutam Kauntenya, prakritim yanti mamikam,-Semua mahluk hidup datang dari pakerti-Ku (Gita, IX.7).
Dalam bingkai itu, hubungan antara manusia dan binatang paling tidak dapat diekstrak beberapa aspek, antara lain, (1) hubungan manusia dan binatang adalah hubungan yang menguntungkan manusia. Manusia di sudut itu dapat disebut sebagai mutualisme, (2) manusia dapat mempelajari bahwa sifat-sifat binatang jauh lebih unggul untuk kasus tertentu dibandingkan dengan sosok manusia, (3) atas keanekaragaman itu, manusia dapat lebih bersujud dan patuh ke Esaan Hyang Widhi, sebab semua makhluk bersumber dari Nya. Oleh karena itu berikut ada tiga ulasan pemaknaan itu.
Pertama, hubungan manusia dan binatang dianggap sebagai wujud harmoni dalam pelaksaaan yadnya. Manusia melakukan pelayanan dengan proses domestikasi hewan liar menjadi hewan peliharaan, agar mudah dimanfaatkan untuk manusia. Sesungguhnya adalah untuk beryadnya, sisa dari yadnya adalah untuk keperluan diri manusia. Itulah makna sederhana yang selalu muncul dalam kebanyakan aktivitas ritual agama Hindu. Korban suci untuk buta yadnya, misanya, dilakukan penangkaran dan proses domestikasi yang sepenuhnya belum dihayati dengan nafas yadnya, sehingga banyak yadnya membutuhkan hewan-hewan yang unik dan kerap langka. Tujuan sejatinya adalah ada pada aspek pelestarian, dan budidaya, bukan pada aspek penggunaan semata. Kesan muncul konsepsi bahwa yadnya, tawur dan mecaru prosesi yang ikut memusnahkan, namun alpa pada aspek pelestarian semakin menguat. Di dimensi itu, maka pelestarian lebih dahulu dilakukan untuk tujuan yadnya. Di bingkai inilah kerap dilupakan orang, selama ini. Orang memburu penyu, kidang, buron tukang, badak, untuk bahan upacara, namun alpa untuk ikut melestarikannya.
Ketika ada aspek pelestarian, maka upacara akan bersifat Sattwanurupa, dan sangat bermanfaat bagi pertumbuhan karakter manusia. Setiap yadnya yang dilakukan harus memunculkan unsur pelestarian muncul dari semua unsur pelaksana upacara yadnya, mulai dari pemimpin sampai ke tingkat bawah. Sraddha bhawati otomatis akan bergelora dalam relung hati, sehingga membuncahkan keyakinan umat beragama, sehingga yadnya yang dihaturkan bersifat satwika, maka akan berakibat pada Yajante sattwika dewan, pemujaan dengan yadnya satwika akan mencapai Hyang Widhi. Inilah unsur pelestarian yang saya sebut “Marga Satwa Model Hindu,” yaitu proses domestikasi/budidaya untuk yadnya.
Berbeda dengan model pelestarian selama ini yang didengungkan oleh pemerintah, memang kerap terkikis sedikit-demi sedikit, karena belum diangun dengan semangat yadnya. Namun kental unsur proyeknya, seperti kawasan cagar alam, suaka marga satwa, yang terus menerus dicaplok oleh manusia, karena alasan ekonomi.
Umat Hindu belum sepenuhnya mengambil peran untuk ikut mempromosikan konsep ini, kita bisa mengusulkan untuk penghormatan kepada Hyang widhi, untuk kebun binatang, saat tumpek Uye ini.
Di terminal itu, kita dapat mencontoh monument yang dibuat oleh leluhur Hindu dengan pelestariannya dengan membuat pura di setiap lokasi tertentu. Misal Pura Pulaki, Sangeh, Alas kedaton dan lain-lain. Dalam pura itu ada kera, yang jumlahnya cukup banyak, tetap terjaga karena mereka sudah dikonotasikan milik bhatara, duwe, ancangan, dan lain sebagainya, dengan label-label itu manusia dapat mengerem diri untuk memangsa kera, dan binatang lainnya, sehaingga tetap lestari. Namun tindakan itu belum sepenuhnya ikut membantu melestarikan, karena sumbangan umat Hindu bukan tidak memangsanya, namun harus juga merawatnya. Bagaimana caranya? Kita melihat kera-kera yang sangat liar dan juga ganas, karna mereka lapar perlu makanan. Oleh karena itu kera-kera ini perlu diberikan makanan terlebih dahulu. Caranya adalah dengan memberikan dana punia. Panitia pura harus menyiapkan kotak khusus untuk dana punia itu, sehingga ada digunakan untuk membeli makanan kera, seperti ketela, jagung, dan lain-lain. Sebelum sembahyang. Pagi hari kera-kera ini diberikan makanan terlebih dahulu, sehingga tidak mengganggu para pemedek yang akan sembahyang. Hal yang sama saya juga pernah saya dengar ketika di Pura Alas Kedaton, kera-kera diberi berkarung-karung ketela rambat sehingga di tidak menganggu petani sekitarnya. Inilah bentuk lain dari kepedulian kita memandang Tumpek Uye, sebagi inisiasi untuk melakukan kegiatan “harmonisasi lingkungan.”
Kedua, hewan dan manusia, relasinya selalu dikaitkan dengan karakter unik dari binatang yang alami dapat ditiru manusia. Selama ini, manusia menganggap dirinya super man atas hewan/binatang. Hal ini didasarkan bahwa manusia memiliki kemampuan kodrati yang lebih tinggi, yaitu bayu sabda, hidep, sedangkan hewan disebut sebagai memiliki bayu dan sabda. Manusia sejatinya piranti alat pikir yang tinggi dianugerahkan oleh Tuhan pada diri manusia. Namun kerap manusia terjerumus bahwa sifat-sifat binatang muncul dalam diri manusia dan malah lebih. Sifat-sifat binatang menjelma lebih hebat dari pada sifat–sifat alami binatang, sehingga manusia disebut sebagai Homo homini lupus, manusia memangsa spesiesnya melebihi binatang manapun di dunia ini.
Ketiga, nilai-nilai bijak bisa kita pelajari oleh seekor binatang. Contoh anjing. Saya memiliki seekor anjing dari ras kintamani. Ketika kami pindah ke rumah yang baru, anjing itu tidak diajak ikut, kami pergi sendiri sendiri tanpa memberitahunya. Setelah beberapa lama, dia dipelihari oleh orang-orang yang menghuni tempat kos kami itu. Anjing itu pun setia kepada tuan yang baru. Hampir setahun, setelah itu, anjing itu ketemu saya di jalan, ternyata dia berusaha mencari saya, dan datang ke rumah saya yang baru. Anjing itu sangat senang dan gembira, kami kasi makan dan seterusnya. Saya bebaskan dan tidak mengikatnya untuk tinggal bersama kita atau dengan tuan yang baru. Anjing itu selalu datang dengan adil, beberapa hari jaga di rumah saya, dan beberapa kali datang di rumah kost kami dulu. Dia bisa membagi diri, sebuah bentuk kesetiaan yang luar biasa ditunjukkan oleh anjing.
Berbeda dengan manusia, manusia bisa tidak setia, walaupun kita kasi makan dan pelihara dengan kasih, lalu ketika kita salah, manusia yang kita pelihara tidak segan-segan mengkhianati kita. Inilah manusia, dia berproses karena pikirannya. Dalam hidupnya, manusia berevolusi dari pasutwam, denawathwam, manusatwam dan pasupatitwam. Yakni dari sifat binatang, ke sifat raksasa, sifat manusia, terakhir ke sifat dewa. Dalam konsep itulah, yang perlu diubah adalah pikiran lewat ajaran jnana. Sebab pikiran merupakan titik pusat bagi roda kehidupan, suatu titik sumber dari segala kegiatan duniawi. Agar dapat menembus titik pusat ini dan memperoleh penampakan atma atau diri yang abadi. Semoga pikiran baik datang dari segala arah. Om nama Siwaya.
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar