Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 19 Maret 2013

Tragedi Etnis Bali di Sumbawa: Penegakan Hukum Lemah dan Kecemburuan Ekonomi

Pengantar Redaksi: Setelah masyarakat etnis Bali di Lampung diterjang amuk massa sebanyak dua kali pada 2012, maka pada awal 2013 etnis Bali di rantauan kembali mengalami nasib serupa. Kali ini dialami oleh masyarakat Hindu yang ada di Kabupaten Sumbawa, NTB. Nah, untuk mengetahui lebih detil kejadian dan dampak kerusuhan yang dilancarkan sepihak itu, wartawan Raditya Made Mustika, mengunjungi Sumbawa Besar pada 6 dan 7 Februari 2013. Berikut ini laporannya dalam tiga tulisan.

Ya, setelah peristiwa Lampung, kembali etnis Bali yang tinggal di rantauan menjadi korban serangan kelompok massa tertentu. Pembaca pasti sudah maklum. Pada 22 Januari 2013, warga etnis Bali yang sudah puluhan tahun berdiam di Kabupaten Sumbawa, diserang oleh warga lokal tanpa mendapat perlindungan sama sekali dari aparat keamanan dan pemerintah setempat.

Warga etnis Bali di Sumbawa Besar (Ibukota Kabupaten Sumbawa) menuturkan, mereka hanya disuruh meninggalkan rumahnya ke titik-titik pengungsian. Titik pengungsian itu meliputi Polres, Kodim, dan Kompi Tentara. Namun massa yang menjarah dan lanjut membakar hanya ditonton oleh pejabat dan aparat berwenang.

“Kami sebagai polisi yang berpangkat rendah tidak berani mengambil langkah sendiri sebelum ada perintah dari komandan,” demikian seorang polisi etnis Bali yang bertugas di Polres Sumbawa bercerita kepada Raditya. Raditya berkesempatan ke Sumbawa Besar pada 6 dan 7 Februari 2013.

Ketika sampai di kota itu, udara amat panas dan kering. Sebagai perbandingan, Sumbawa Besar lebih panas dari Singaraja, kota yang diakui paling panas di Bali. Apakah iklim yang demikian itu mempengaruhi karakter masyarakatnya? Entahlah! Namun yang jelas, penyerangan terhadap etnis Bali di Sumbawa oleh masyarakat lokal di sana sudah dua kali. Kasus pertama terjadi tahun 1980. Peristiwa 33 tahun lalu itu bahkan sampai memakan korban 9 nyawa dari pihak etnis Bali. Karena penanganannya tidak jelas, dimana hukum di Indonesia dikenal loyo, maka pihak-pihak tertentu tak pernah jera melakukan kekerasan demi kekerasan. Dan begitulah kejadian pelanggaran HAM berat terhadap kelompok minoritas berulang lagi pada awal tahun 2013.

“Kami sangat sayangkan sekali. Mengapa aparat begitu terlambat mengambil sikap,” kata Dewa Gde Gedung yang mengaku merantau ke Sumbawa Besar sejak 1986. Dewa Gde merasa terpukul sekali dengan kejadian terakhir. Sebagai seorang wirausahawan yang menyuplai berbagai minuman kemasan ke toko-toko grosir di Sumbawa Besar, pihaknya mengaku mengalami kerugian miliaran rupiah. Gudangnya “dirampok”, tepatnya dijarah sampai tak ada yang tersisa.

Diceritakan, peristiwa bermula dari kematian gadis Sumbawa yang dibonceng pacarnya. Pacar gadis itu adalah seorang pemuda Bali yang bertugas di Polres Sumbawa. Ya, dia adalah seorang polisi. Sebutlah namanya Gede. Gede berasal dari Karangasem. Dia membawa kebiasaan buruk orang Bali ke Sumbawa. Dia suka minum minuman beralkohol sampai mabuk. Tatkala malam minggu, 19 Januari 2013, dia membonceng pacarnya dengan sepeda motor. Karena terlebih dahulu Gede sudah mengonsumsi alkohol, maka kesadarannya tak sepenuhnya terkontrol. Singkatnya, di perjalanan, sepasang kekasih itu mengalami kecelakaan. Ada yang menyebut, Gede memacu sepeda motornya dalam kecepatan tinggi. Ngebut. Sehingga kecelakaan yang dialami berakibat fatal. Dirinya harus dirujuk ke rumah sakit di Mataram. Sementara sang kekasih meninggal di tempat kejadian.

Upaya perdamaian terhadap keluarga korban diupayakan melalui petugas dari Polres Sumbawa. Walau berat, namun pada akhirnya keluarga korban dapat menerima kemalangan itu. Akan tetapi orang-orang lain yang tak terkait dengan keluarga korban justru pada ribut. Bahkan diembuskan isu yang tak benar melalui sms, facebook, dan twitter. Isu yang diembuskan adalah korban sengaja dibunuh. Isu lain mengatakan, sebagaimana disebutkan warga, gadis itu diperkosa terlebih dahulu sebelum dibunuh. Isu-isu itu menyebar dan memprovokasi warga. Anehnya, warga yang menerima isu itu percaya begitu saja. Maka, pada Selasa 22 Januari 2013, saat Pemda Sumbawa tengah memperingati hari jadinya yang ke-54, sekitar pukul 12.00 Wita, massa dengan sepeda motor berputar-putar di kota Sumbawa Besar. Mereka memprovokasi dan menyemangati teman-temannya untuk melakukan pengerusakan, penjarahan, dan pengrusakan terhadap rumah-rumah penduduk etnis Bali.

Di sinilah, menurut Dewa Gde Agung, sangat disayangkan karena tidak ada upaya untuk menghalau massa dari aparat keamanan maupun pemda. Karena dibiarkan, mereka jadi berani. Pengerusakan bangunan di mulai dari Pura Agung Giri Natha yang terletak di Jl. Yos Sudarso No 8 Sumbawa Besar. Pura itu semacam Pura Jagatnatha. Di sebelah pura, ada dua bangunan penting lain yang sering dimanfaatkan umat Hindu di sana. Yakni sekolah minggu untuk para pelajar dan mahasiswa Hindu belajar agama pada setiap hari Minggu. Satunya lagi adalah balai suka-duka bagi warga Hindu di Sumbawa Besar. Kedua bangunan itu juga dirusak.

Karena merasa tak terhalangi, maka pergerakan massa mulai mencari rumah-rumah etnis Bali. Maka begitulah, satu per satu rumah-rumah yang telah ditetapkan sasarannya dirusak, dijarah isinya, lalu dibakar. Tidak semua rumah yang dijarah lalu dihanguskan. Ada beberapa rumah setelah isinya dijarah, ditinggalkan begitu saja.

Sehari kemudian, jumlah rumah yang dirusak didata pemda setempat. Hasilnya? Sekitar 20 rumah penduduk mengalami kerusakan berat di mana seisi rumahnya dijarah dan dibakar. Sementara sekitar 50 rumah lainnya dirusak dan dijarah namun tidak dibakar.

Sebuah hotel dan restoran yang cukup besar, yang terletak di sebelah kantor bupati dan tak jauh dari Polres Sumbawa, “dibiarkan” dibumihanguskan. Isinya tentu saja dijarah terlebih dahulu. Hotel itu milik orang Bali. Tidak ketinggalan sebuah super market juga dirusak serta isinya dijarah. Kios-kios pedagang di Pasar Seketeng, yang dimiliki etnis Bali tidak ketinggalan juga menjadi sasaran amuk massa.

Total kerusakan rumah-rumah etnis Bali di seluruh Kabupaten Sumbawa mencapai 498 buah, sebagaimana disebutkan Bupati Jamaluddin Malik. Tidak dirinci berapa yang dijarah dan dibakar dan berapa yang dijarah dan dirusak tetapi tidak dibakar. Kejadian tersebut masih saja ada yang menilai tidak bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Bagaimana mereka bisa berkomentar demikian? Coba saksikan, kios-kios dagangan orang Bali. Walau keberadaannya di tengah-tengah pasar, namun mengapa massa memilih sasaran ke tengah jua? Mengapa tidak merusak yang paling pinggir, yang bukan miliknya orang Bali? Kejadian di Sumbawa itu sangat jelas bernuansa SARA karena sasarannya dipilih-pilih berdasarkan etnis.

Menurut Ketua PHDI Sumbawa, Made Suaryadala, penyerangan sepihak itu diduga dilandasi oleh kecemburuan sosial. Dia menjelaskan, banyak di antara orang Bali di sana yang meraih kemajuan signifikan di bidang ekonomi dibanding penduduk lokal. Namun semua pencapaian itu dilandasi oleh kerja keras. Tidak dengan cara-cara yang tidak fair. Pengerusakan di siang hari itu sempat berhenti sebentar, namun kumpulan massa masih meraung-raung di jalanan. Lalu ketika matahari tenggelam di ufuk barat, dan hari berganti malam, massa melanjutkan pengerusakan, penjarahan, dan pembakaran itu sampai tengah malam.

Massa baru berhenti bergerak dan kocar-kacir setelah aparat keamanan, baik polisi maupun tentara, menyalakkan senjatanya pada pukul 24.00. Tembakan itu pun diarahkan ke atas. Tak sampai lima menit massa langsung membubarkan diri. Mereka pulang ke rumahnya masing-masing sambil membawa hasil jarahan. “Kalau saja tembakan demikian dilakukan pada siang hari, ketika mereka masih berputar-putar di jalan, saya yakin tak sampai begini kejadiannya. Mengapa keputusan itu begitu terlambat diambil?” sesal Dewa Gde Agung.

Sekali lagi kejadian itu sebenarnya diawali oleh peristiwa sangat sederhana, kalau tidak boleh dibilang sepele. Hanya peristiwa kecelakaan. Mengapa mereka berlebihan menanggapi? Dugaan PHDI Sumbawa kiranya sangat tepat untuk menguraikan latar belakang peristiwa dimaksud. Namun di Bali juga banyak para perantau yang sukses melebihi pencapaian orang Bali sendiri. Di Bali juga banyak tindakan para pendatang yang menodai martabat dan sosiokultur masyarakat Bali. Akan tetapi semua itu diserahkan ke ranah hukum.
(Made Mustika)

2 komentar:

  1. makanya, saya sarankan kepada teman2 yg merantau jangan lupa kawitan di bali, bila punya uang lebih belilah tanah atau rumah di bali, walaupun kecil, bila kejadian seperti disumbawa terulang, kita sudah punya tempat berreduh di bali, orang balipun jangan obral tanah, sisakan untuk anak cucu dan cicit, dan usahakan yg laki2 jangan pacaran dengan yg lain agama, cepat atau lambat istri anda akan pasti kembali keasalnya

    BalasHapus
  2. Emang..,orang seperti kita..di jdikn msuh..dan saingan..cba malaysia di lwan..cman orang bodoh yang melawan saudaranya

    BalasHapus