Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 19 Maret 2013

Mereka Tidur Layaknya di Kolong Jembatan

Dewa Putu Arga (61) kini tidak punya apa-apa lagi. Nasib serupa juga dialami teman-temannya. Rumahnya, yang terletak di belakang Kodim Sumbawa, tepatnya di Jl. Baru No 16 Sumbawa Besar hancur diterjang massa pada 22 Januari 2013 lalu. Tembok depan dan belakang kamarnya dijebol serta seisi rumahnya dijarah.

Beban hidupnya kini semakin berat. Sebab, satu dari lima anaknya mengalami tekanan jiwa pasca kerusuhan itu. Boleh dikatakan masa depannya suram. Di Sumbawa dia hidup tanpa istri. “Istri saya sudah ke Bali untuk menenangkan diri.” Di perantauan dia hidup bersama tiga anaknya. Yakni anak ketiga, keempat, dan si bungsu. Dua anaknya yang lain sudah mandiri dan memilih hidup di luar Sumbawa. Untuk makan saja, dia harus menunggu belas kasihan dari warga lain yang menaruh iba kepadanya. Kebutuhan makan setiap hari didapat dari tetangga atau teman. Ada saja yang sudi memberikan uang untuk membeli nasi. Kalau tak ada sama sekali yang memberi, maka dia akan pergi ke balai banjar. Di balai banjar ada semacam dapur umum. Bagi masyarakat etnis Bali yang sama sekali tak sanggup membeli beras untuk dimasak, dipersilakan datang ke balai banjar.

Anak ketiganya, karena mengalami stres berat, terpaksa diisolasi di kamar lain. Pada dinding kamar anaknya setiap saat digantung nasi bungkus atau minuman kopi. “Kalau dia bangun dan lapar, maka otomatis sudah menemukan nasi di tembok itu,” tutur Dewa Putu Arga.

Sedangkan dua anaknya yang lain dibiarkan “meminta-minta” pada keluarga besar Bali yang ada di Sumbawa Besar. Kadang kedua anaknya itu hanya setor muka saja pada pagi hari. Siang hingga malam tak terpantau. “Saya percaya dua anak saya tersebut baik-baik saja walau jarang di rumah. Pasti ada tempat untuk meminta nasi, begitupun dengan tidurnya, pasti ada saja keluarga yang bersedia menampung mereka untuk menginap,” imbuhnya.

Ketika Raditya mengunjungi rumah Dewa Putu Arga, kedua anaknya yang dibicarakan itu memang tak di rumah. Mungkin kedua anaknya itu sumpek bila ada di rumahnya. Sebab, selain kecil, rumahnya itu sudah tidak ada apa-apanya lagi. Sedang anak ketiganya, yang mengalami depresi, tidur di kamar kecil tanpa alas sama sekali.

Ya, Dewa Putu, yang berprofesi sebagai tukang itu kini hidupnya melarat. Memang itulah harapan pihak penyerbu. Rumah-rumah etnis Bali sengaja dirusak, dijarah, lalu dibakar, dengan harapan mereka menderita. Kalau mungkin mereka terusir dan akhirnya balik ke Bali. “Saya sudah mengenal tabiat mereka,” sambungnya lagi.

Bayangkan, setiap malam Dewa Putu tidur dengan kamar terbuka. Karena bagian depan rumahnya, yang menghadap jalan raya, sudah tidak berpintu dan berjendela lagi. Sementara dinding belakangnya, yang berhadapan dengan sawah, dijebol seluruhnya sehingga udara leluasa keluar masuk. Balai untuk tempat tidur pun tak ada lagi. Untuk itu bila dia ingin tidur, Dewa Putu cukup menggelar tikar saja. Kondisi tidur seperti itu tak ubahnya dengan pengemis yang tidur di kolong jembatan, seperti yang sering dijumpai di kota-kota besar.

Apa dia tidak takut tidur sederhana dengan kamar terbuka pada kedua sisinya? Pertanyaan itu dijawab dengan santai. “Saya tidak takut tidur sendirian seperti ini. Saya sudah tahu karakter masyarakat di sini. Kalau mereka sudah puas melampiaskan dendamnya, maka pasti akan membiarkan saja saya tidur tanpa perlindungan. Tidak akan diapa-apakan,” jelasnya.

Lalu tidur dengan kamar terbuka seperti itu apa tidak kedinginan? “Di sini udaranya panas sekali. Kadang malah saya harus buka baju dulu untuk bisa tidur.” Walau sudah dibuat menderita sedemikian rupa, namun dia bersikukuh meyatakan akan tetap tinggal di Sumbawa Besar. Sebab dia sudah mengidentikkan diri sebagai warga Sumbawa. Sudah 43 tahun lamanya dia merantau di sana.

Untuk merehab rumahnya, Dewa Putu sangat berharap pemerintah pusat maupun daerah sudi mengucurkan dana sehingga kondisi rumahnya segera dapat diperbaiki dan layak disebut rumah. Tetangganya, Dewa Made Kantun (50), juga mengalami nasib serupa. Antara Dewa Putu Arga dan Dewa Kantun tidak ada hubungan saudara. Kantun berasal dari Karangasem, sementara Arga dari Gianyar. Hanya persamaan nasib yang membawanya hidup berdampingan di Sumbawa Besar.

Dewa Kantun sehari-harinya berprofesi sebagai bengkel sepeda motor. Sementara istrinya, Nengah Ariasih (45) berjualan canang dan keperluan lain untuk sembahyang, seperti dupa, bokor, dll. Untuk sementara Kantun harus istirahat bekerja karena semua peralatan perbengkelannya dijarah. “Kompresor angin juga lenyap,” katanya. Hanya istrinya yang masih bisa meneruskan usahanya berjualan canang di tempat darurat. Hal itu dimungkinkan karena Ariasih memiliki keterampilan membuat banten sehingga usahanya masih bisa dilanjutkan. Mudah ditebak, mengapa dia berjualan di tempat darurat. Sebab, warung dan bengkelnya yang menyatu dengan rumah, dihancurkan massa.

Sama seperti Dewa Arga, Kantun dan Ariasih memiliki lima anak. Hanya satu yang sudah mandiri dan tinggal di Kota Mataram. Empat anaknya masih ikut dengan orangtuanya. Sehingga tanggungan mereka tidak kalah berat dengan Dewa Arga. Kini mereka hanya mengandalkan hasil dari menjual canang untuk makan bagi enam orang. Dewa Kantun pun berharap, pemda segera bisa membantu agar usaha bengkelnya dapat dioperasionalkan kembali.

Dapat dibayangkan, rumah milik Dewa Arga dan Dewa Kantun yang relatif sederhana saja dijarah dan dibakar, apalagi rumah yang tergolong mewah. Seperti yang dialami Wayan Jumu (61). Rumahnya di Jl Kebayan No 11 Sumbawa Besar dirusak dan dijarah. Masih beruntung rumahnya itu tidak dibakar. “Tapi toko kami di Pasar Seketeng dan di Sumir Payung kena juga. Kerugian mencapai milyaran rupiah,” katanya ketika Raditya berkunjung ke rumahnya, pada 7 Februari 2013 lalu.

Lalu dapatkan pemerintah membantu merehab rumah-rumah mereka sebagaimana yang diharapkan? “Kami tidak punya target waktu kapan akan memulai. Sebab masalah ini harus ditanggung bersama antara pemkab, pemprov, dan pusat. Jadi, tidak sederhana,” kata Bupati Sumbawa Jamaludin Malik kepada Raditya. Pertanyaan mengenai komitmen pemerintah itu Raditya ajukan kepada bupati ketika beliau berkesempatan mengunjungi balai banjar suka-duka pada Kamis 7 Februari 2013.

Lebih lanjut Bupati Sumbawa menjelaskan, yang pertama-tama dilakukan pemda adalah membangkitkan kembali keterpurukan masyarakat etnis Bali. Karena itu ia menyampaikan terima kasih atas partisipasi PHDI Bali dan tim psikiater FK Unud yang telah datang ke Sumbawa guna memulihkan kejiwaan mereka. Soal pembangunan kembali rumah-rumah masyarakat, bupati belum dapat menjanjikan kapan akan dimulai. Jika waktu memulai saja tidak dapat dipastikan, apalagi bicara soal selesainya rehab.

Nah, masyarakat etnis Bali yang menjadi korban kerusuhan massa secara tidak langsung diminta untuk bersabar. Bersabar untuk berapa lama? Bisa lagi tiga bulan, enam bulan, bahkan mungkin setahun lebih. Jadi, Dewa Arga dan teman-temannya yang bernasib kurang-lebih sama dengan dia harus melewati waktu lama tidur dengan kamar terbuka. Duh, betapa malangnya nasib mereka. Menjadi minoritas di Indonesia seakan tak memiliki HAM. Pancasila dan nilai-nilai toleransi di Indonesia kini semakin menipis tergerus kefanatikan yang membabi-buta. (mm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar