Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 04 Maret 2013

Mistisisme Kata Pasupati dalam Bingkai Produk

I Ketut Sandika

Belakangan ini marak beredar produk produksi yang menggunakan lebel spiritual. Menggunakan lebel spiritual tentunya memiliki maksud dan tujuan yang beragam. Dari sudut ilmu ekonomi, tentunya produk agar laku dan mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Demikian pula, label spiritual dipandang sebagai salah satu media promosi yang ampuh di zaman ini agar konsumen tertarik dengan produk yang dipasarkan. Terlebih di Bali yang sangat kental dengan kultur klenik dan mistisismenya. Sebut saja sekarang ini lagi trend produk tirtha (air suci) yang sudah dipasupati, demikian pula dupa yang sudah dipasupati, dan tindak ketinggalan aksesoris berupa gelang, cincin, kalung giok dan sejenisnya yang sudah dipasupati.

Beredarnya produk yang demikian menimbulkan beragam pertanyaan dari kita sebagai umat Hindu. Apakah produk tersebut benar-benar sudah dipasupati? Tidakkah hanya ingin meraup keuntungan semata dengan dalih pasupati? Pertanyaan tersebut sah-sah saja muncul dalam pikiran kita, mengingat orang-orang pada zaman Kali ini yang mendewakan materi sampai pada batasan ekstrim dan rela melakukan apapun demi uang. Pencurian pratima, menipu dengan kedok spiritual hal yang wajar, dan sejenisnya adalah sekian banyak contoh perilaku sebagian besar orang-orang yang menghuni zaman Kali, yang tentunya diperbudak oleh material. Bukan tidak mungkin pula, maraknya produk dengan label Pasupati hanya dijadikan media meraup keuntungan semata, dan demi royalti belaka, walaupun tidak semua produk demikian.

Dilihat dari kata Pasupati sendiri, sesungguhnya merupakan kata yang mengandung makna mistisisme yang dalam. Secara umum Pasupati atau pemasupatian dapat dimaknai sebagai sebuah proses pensakaralisasian benda, sehingga benda yang akan dipasupati diyaknini memiliki kekuatan megis atau supranatural. Kekuatan yang ada dalam benda setelah dipasupati inilah diyakini dapat memberikan perlindungan, keselamatan, kekuatan bahkan dapat menghalau segala macam penyakit dan segala rintangan.

Dalam mistisime Sivaistik, Pasupati dapat diartikan sebagai Tuhan Siva sebagai penguasa dari segala sifat hewan, sebab kata pasu sendiri berarti bintang dan pati berarti membunuh atau penguasa. Kita sering melihat bahwa dalam setiap tempat pemujaan Siva, pasti di depannya ada arca Lembu Nandini (Sapi jantan) dan linggam. Keberadaan lembu ini mungkin hanya kita pahami sebatas sebagai wahana Dewa Siva, akan tetapi Lembu Nandini tersebut ladalah lambang pasu, dan pasu adalah jiwa. Sedangkan lingam adalah lambang Siva. Mistisisme Sivaistik menekankan untuk kita mencapai kemanunggalan antara pasu (jiwa) dengan lingam (Siva), dan tidak diperkenankan menyelinap diantara pasu dan lingam.

Untuk mencapai kemanungglan itu, hendaknya kita dapat melaihat Siva dari kedua tanduk Nandini, dalam artian hendaknya kita bisa melihat Siva dalam jiwa. Namun kebanyakan dari kita tidak pernah melihat jiwa ada dalam diri sebagai Siva, dan kebanyakan dari kita mengidentikkan jiwa sebagai badan, dan jiwa hanya kita lihat sebatas mitos pelengkap buku suci. Alhasil hidup selalu menderita. Dalam kitab Upanisad dengan jelas menyebutkan; dehi devalayam proktah sah jiva kevalah sivah, artinya: tubuh ini adalah altar atau pura dari sang jiwa yang tidak lain adalah Tuhan Siva. Jiwa adalah Siva dan tiada lain kita adalah Siva (Sivo aham). Pasu adalah jiwa dan pasupati sendiri adalah Tuhan, maka pasu dan pasupati adalah manunggal. Demikian pula, nandi atau pasu adalah jiwa dan Iswara adalah Tuhan, sehingga menjadi Nadishwara, yakni penguasa jiwa atau penguasa segala sifat binatang. Pasupati dan Nandisiwara adalah dua hal yang sama.

Mistisisme Sivaistik juga menyatakan bahwasannya orang-orang yang masih dalam keadaan terikat oleh segala macam keinginan, rasa kepemilikan, egoisme, maka mereka dapat disebut Pasu, akan tetapi jika mereka dapat melepaskan belenggu tersebut maka mereka layak disebut sebagai Pasupati atau Nandiswara. Dan mereka sangat layak diberikan penghormatan sebagai orang suci. Dengan kata lain, orang yang sudah dapat menguasai sifat kebintangan dalam dirinya, maka orang tersebut dapatlah dikatakan orang yang sudah dipasupati.

Apabila seseorang bisa mempersembahkan Pasu kepada Pasupati, maka ia akan mendapatkan kemanunggalan, dan itulah yajna yang sesungguhnya. Bukan yajna yang menghabiskan uang banyak disebut yajna, namun yajna yang sesugguhnya, yaitu mempersembahkan segala sifat hewani kita kepada altar Siva. Guru suci nan agung Sankaracarya menyebutkan bahwa manusia sama dengan binatang, sebab sifat binatang ada dalam diri manusia. Sama-sama memiliki keinginan untuk makan, membela diri, berhubungan badan dan yang lainnya. Akan tetapi, yang membedakan manusia dengan binatang, manusia dapat berbuat dharma. Bagaimana manusia dapat berbuat dharma? Dengan jalan mempersembahkan sifat kebinatangan (Pasu) kepada Pasupati (Tuhan Siva).

Pasupati adalah aspek Siva sebagai pengikat hidup atau pemberi hidup. Maka tidak salah, jika masyarakat Hindu di Bali melakukan prosesi pemasupatian agar benda yang dipasupati memiliki roh atau jiwa untuk hidup. Siva sebagai Pasupati yang tanpa awal dan akhir, pencipta alam semesta, entitas tunggal yang memiliki berbagai waujud dan bentuk, dan memahami hal itu orang akan mendapatan kedamaian. Olehnya mistisime Sivaistik memberikan pemaknaan yang dalam tentang Pasupati tersebut sebagai sebuah proses penyatuan antara pasu dan Pasupati. Dimana untuk mencapai kemanunggalan tersebut, terlebih dahulu kita melepaskan segala sifat hewani kita yang ada dalam diri. Makna yang demikian, tidak banyak umat yang mengetahui, justru pasupati akhir-akhir ini hanya dijadikan label produk. Hal ini bukan tidak mungkin akan membawa implikasi bias makna ajaran agama dari sakral menuju profanisme, orang Hindu Bali sering menyebut “campah.”

Bukan berarti produk tersebut tidak baik, bukan pula pelaku usaha produk tersebut salah. Akan tetapi yang perlu dipahami, seyogyanya pelaku usaha yang bergerak pada sektor itu benar-benar melakukan proses pemasupatian sebagai mana mestinya terhadap produk yang dihasilkan, agar benar-benar memberikan vibrasi postif bagi konsumen, terlebih jika menggunakan produk tersebut dengan seketika sifat kebinatangan si konsumen lenyap dan mencapai kemanunggalan. Janganlah hanya demi uang kita mengorbankan sisi fundamental ajaran Hindu. mengutif wacana Swami Vivekananda; “Uang tidak dapat diandalkan, tidak juga nama, tidak juga intelek. Hanyalah cinta kasih yang dapat diandalkan”. Om Namah Sivaya.

1 komentar: