Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 04 Maret 2013

Mencintai Produksi Warga Hindu Lewat Brand PASUPATI

I Wayan Miasa

Warga Hindu memang memiliki sifat toleran yang sangat tinggi terhadap segala hal dalam kehidupannya dan dalam membeli suatu produk entah itu produk makanan, bahan upacara ataupun yang lainnya jarang memperhatikan darimana produk itu berasal, apa bahannya, dan lain-lainnya. Hal ini sangat berbeda dengan pemeluk non Hindu dimana mereka sangat memperhatikan label sebuah produk dan mereka selalu memperhatikan apakah produk itu sudah direstui oleh organisasi keagamaannya atau tidak, apa bahannya, darimana asalnya dan lain sebagainya.


Jika kita bandingkan dengan warga kita yang menganut Hindu, hal semacam ini sering diabaikan. Kita sering tidak memperhatikan hal-hal tersebut. Tengoklah saat kita berbelanja di lingkungan pura saat odalan, walaupun jelas-jelas orang yang jualan itu non Hindu dan produk yang dijual tersebut sebenarnya tidak diijinkan dimakan menurut ajaran Hindu, tetapi kita sering abaikan hal tersebut dan kita sering tidak menghargai kepercayaan kita sendiri. Sudah jelas dalam ajaran Hindu bahwa sapi itu sangat dihormati, maka kita seharusnya kita tidak makan makanan yang diolah mengandung bahan daging sapi, tetapi kenyataannya sering berbalik seratus persen. Bahkan kita sering merasa acuh terhadap hal ini dan kita makan produk tersebut tanpa rasa bersalah dengan mencari alasan pembenar.

Seiring dengan meningkatnya persaingan dalam memenuhi kebutuhan materi dan rohani dalam kehidupan kita, maka sekarang sudah mulai ada warga Hindu yang berani menyatakan sikapnya dalam dunia bisnis ini dengan membuat produk-produk yang dilabeli kata “pasupati”. Dengan label ini kita berharap bahwa produk yang dipasarkan tersebut bisa membuka mata hati warga kita. Kita perlu melakukan “branding” semacam ini guna membangun rasa setia terhadap usaha saudara kita dan dengan kesetiaan ini kita bisa membangun kesejahteraan di antara kita semua. Hal ini akan bisa berdampak yang bagus di lingkungan kita, di mana peredaran ekonomi akan bisa dinikmati oleh warga kita. Juga melalui branding semacam ini kita berharap suatu saat nanti warga kita semakin sadar akan pentingnya membantu usaha warga Hindu lewat memanfaatkan produk-produk yang diproduksi warga Hindu sendiri. Dan dengan cara seperti ini kita berharap suatu saat nanti bisa berswadesi dalam praktek beragama dengan tidak bergantung sepenuhnya terhadap produk-produk luar. Seperti misalnya dalam pemenuhan kebutuhan upacara seperti dupa, busung, buah dan lain sebagainya.

Dengan membeli produk yang dilabel dengan “pasupati” atau dilabel dengan kata-kata yang mencerminkan suatu tanda keagamaan, maka diharapkan agar rasa persaudaraan antar warga Hindu semakin meningkat. Begitu juga mengenai bahan-bahan yang dipakai juga bisa kita pertanggungjawabkan asal muasalnya. Hal ini bisa dimungkinkan karena bila yang membuat produk tersebut adalah warga Hindu tentu rasa bertanggung jawab, rasa bhakti juga akan menyertai pembuatan produk tersebut dan tidak semata berorientasi pada keuntungan materi. Hal ini akan berbeda bila yang membuat produksi tersebut warga non Hindu, dimana sudah pasti bahwa mereka akan memproduksi kebutuhan tersebut lebih berorientasi pada kepentingan bisnis. Dan mereka pasti tidak akan memperhatikan aspek-aspek bahan yang akan dipakai, entah darimana asalnya, dimana tumbuhnya, bagaimana pengerjaannya, tempat menaruh bahan tersebut, dan lain-lainnya. Ada contoh yang pernah penulis lihat sendiri di sebuah lingkungan kumuh dimana disana tinggal warga non Hindu. Mereka membuat kue-kue untuk diperjualbelikan di pasar umum dan tempat yang dipakai untuk membuat kue tersebut dan bahan-bahan lainnya adalah ember yang juga biasanya dipakai untuk cuci mencuci pakaian, entah itu pakaian luar, pakaian dalam dan lain sebagainya. Walaupun kita memiliki anggapan bahwa apapun yang disudah diperjualbelikan di pasar dianggap suci kembali, namun secara nilai rasa maka pembuatan kue tersebut kurang memenuhi standar etika Hindu yang membedakan fungsi suatu tempat, dan lain sebagainya.

Persiapan pembuatan dalam pembuatan sarana upacara, bahan upacara, tempat untuk bahan-bahan upacara bila dilakukan oleh warga Hindu sendiri sudah pasti akan memperhatikan kesucian, dilakukan dengan rasa yang tulus. Walaupun makanan itu dibuat untuk tujuan bisnis, bisa dipastikan warga Hindu pasti juga memperhatikan aspek religiusitas, seperti “sukla”, “surudan atau lungsuran” dan aspek-aspek lainnya. Dengan adanya label-label yang dicantumkan dalam suatu produk maka warga kita akan bisa lebih memperhatikan produk tersebut. Pencantuman pasupasti, prayascita, lungsuran, sukla dalam produk mereka sebagai “trade mark” dalam dunia usaha warga Hindu memang mutlak diperlukan. Karena hal ini memiliki efek yang sangat bagus dalam kehidupan beragama. Kita perlu lakukan hal tersebut dari sekarang agar warga kita mulai terbiasa memilih produk warganya yang dihasilkan dari hal-hal yang tidak melanggar norma sosial, kesehatan, sudah juga aspek religiusnya.

Sebagai warga Hindu, kita sudah seharusnya lebih berhati-hati dalam membeli bahan-bahan upacara, makanan. Karena ada suatu kenyataan bahwa makanan yang dibuat tanpa ada rasa bhakti, prema, sangat berpengaruh pada perilaku pemakainya. Hal ini juga diteliti oleh peneliti Jepang lewat tes air, dimana air yang selalu disertai doa memberi efek yang sangat positif terhadap air tersebut. Bila hal tersebut dihubungkan dengan kenyataan kehidupan kita sekarang di lingkungan warga Hindu, mungkin hal tersebut ada benarnya. Kejadian-kejadian yang terjadi di lingkungan masyarakat kita sekarang bisa jadi akibat kita mengkonsumsi produk makanan yang tidak dilakukan berdasarkan ketulusan hati yang disertai prema, maka hal tersebut berpengaruh pada pikiran manusia. Hal ini juga dicontohkan oleh Sri Krishna dalam cerita Mahabharata dimana Sri Krishna lebih memilih makan bersama dengan Widura, karena masakan di rumah Widura disajikan penuh dengan kasih sayang serta rasa bhakti. Walaupun makanan tersebut hanya berupa sayur bayam, tapi Sri Krishna memuji masakan tersebut karena adanya rasa bhakti saat memasak. Berbeda dengan apa yang disajikan Duryudana, masakan yang dihidangkan penuh dengan kelezatan, mewah dan melimpah namun karena rasa bhakti dalam penyajian tidak ada, maka Krishna tidak mau makan bersama Duryudana.

Bila hal semacam ini kita hubungkan dengan kehidupan warga kita dalam hal berbisnis, entah itu bahan makanan, bahan upakara, dan yang lainnya, maka sudah sepatutnya kita membeli produk yang dibuat berdasarkan rasa bhakti dan pencantuman asal muasal bahan sangat penting. Begitu juga tempat pembuatan produk tersebut serta siapa pembuatnya, misalnya kita cantumkan “busung uli alas Pulukan Negara”, “bunga cempaka Sibang”, serta branding lainnya. Dengan cara ini akan kita bisa menjadikan suatu wilayah sebagai sentra industri dan menjadikan tempat tersebut sebagai pemilik identitas tersebut. Hal ini kita bisa ambil contoh suatu produk dari Jerman, misalnya kalau orang bicara Mercedes Benz maka orang akan langsung ingat Stuttgart, begitu juga dengan BMW maka orang akan ingat dengan Bayern.

Seandainya kita bisa menciptakan hal seperti ini dalam kehidupan warga Hindu maka warga kita sudah bisa dipastikan akan sejahtera. Karena mereka akan selalu mengutamakan berbelanja kebutuhan bahan upacara di lingkungan warga Hindu, bila bahan tersebut tidak ada di lingkungan warga Hindu barulah mereka mencari di luar lingkungan mereka. Perhatikan saja para pendatang di Bali, bagaimana mereka bisa menciptakan rasa kesetiakawanannya antar mereka lewat branding daerah asal, kesamaan agama, dan ciri khas makanannya. Dengan pola seperti ini mereka berhasil berhasil menguasai dunia bisnis karena mereka telah berhasil menanamkan kesetiaan terhadap warganya. Perhatikan saja, nama-nama produk yang mereka bisa jadikan trade mark, seperti tahu Sumedang, empek-empek Palembang, dodol Garut, tahu Lombok, banding Juwana, bahkan sampai gadis-gadisnya pun mereka bisa jadikan trade mark, misalnya ada Mojang Priangan, dan lainnya.

Kembali mengenai adanya usaha membuat pencitraan suatu produk maka sepanjang hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan rasa setia terhadap sesama warga dan bisa menumbuhkan rasa eling dan tentunya hal tersebut dilakukan tidak sebatas mengejar keuntungan bisnis atau royalty, maka usaha semacam tersebut kita perlu dukung. Bila cara seperti benar-benar bisa dilakukan, maka vibrasi negative yang terkandung dalam bahan tersebut bisa dikurangi, asal dari bahan tersebut bisa dipertanggungjawabkan, karena sudah bisa dipastikan bahwa warga kita pastilah selalu memperhatikan aspek leteh, cemer, suci dan lain sebagainya.

Kita berharap di masa datang bahwa dalam hal berjual beli warga Hindu perlu teliti dalam memilih produk. Kita seharusnya tidak saja berpikir mengenai aspek praktis, tetapi kita juga perlu memikirkan aspek kesetiakawanan terhadap sesama warga kita. Hal ini bisa saksikan dalam kehidupan warga di lingkungan sekitar kita. Bila ada warga kita yang berjualan dan berhasil langsung kita gosipkan bahwa mereka bisa ngeleak, ngalih pengasih-asih dan kita berusaha agar orang-orang kita tidak berbelanja di tempat tersebut. Namun akan berbeda bila ada warga non Hindu yang berjualan di lingkungan kita, maka kita sering menaruh rasa kasihan yang mendalam kepada mereka. Oleh karena itu maka marilah kita tumbuhkan rasa persaudaraan dan kesetiakawanan kita dengan memakai produk yang diproduksi oleh warga kita dan melalui branding produk tersebut kita ciptakan identitas diri kita.

1 komentar: