Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 19 Maret 2013

Dapatkah Pemerintah Bertindak sebagai Yajamana Karya

IGN. Nitya Santhiarsa

Yajna merupakan ibadah utama dalam Hindu dan sampai kini menjadi ciri khas tradisi Hindu. Yajna adalah korban suci dengan ketulusan hati ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yajna berasal dari kata yaj yang artinya korban suci. Yajna adalah korban suci kepada Tuhan berdasarkan ketulusan hati, dimana kurban suci ini dihaturkan melalui prosesi upacara yang telah ditetapkan pelaksana, tempat, prosedur,waktu, sarana dan puja mantramnya. Pelaksanaan yajna menjadi ibadah penting tentu ada penyebabnya. Ini tidak lain karena Tuhan sendiri yang menyatakan, bahwa hidup dan kehidupan ini ada karena proses yajna serta untuk keberlangsungannya diperlukan tindakan yajna.

Sesungguhnya sejak dulu dikatakan “Tuhan setelah menciptakan manusia melalui yajna, berkata: dengan cara ini engkau akan berkembang, sebagaimana sapi perah yang memenuhi keinginanmu (sendiri). Adapun para dewa adalah karena ini, mereka menjadikan engkau demikian, semoga dengan saling memberi engkau akan memperoleh kebajikan paling utama.” Bhagawadgita III.10-11.

Dunia dan manusia diciptakan melalui yajna, dengan demikian untuk tetap hidup manusia wajib melakukan yajna sebagai tanda bakti kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Yajna menjadikan manusia sadar apa makna kehidupan dan bisa menjaga dirinya dari ketamakan dan kealpaan terlena kenikmatan duniawi. Yajna dilaksanakan dalam bentuk upacara dan sarana upakara, tetapi tetap harus ada pemahaman tatwa dan pengamalan susila dalam yajna. Ketiga pilar, yaitu tatwa, susila dan upacara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Tujuan uamt Hindu melaksanakan yajna selain untuk membayar hutang kehidupan (Tri Rna; Dewa, Pitra dan Manusa Rna) adalah juga untuk meningkatkan kesraddhaan sebagai pengejawantahan ajaran agama melalui bentuk simbol – simbol agar mudah dihayati dan dilaksanakan oleh umat Hindu. Semuanya dalam upaya meningkatkan kemantapan diri dalam melaksanakan pelaksanaan kegiatan keagamaan itu sendiri serta melaksanakan bakti melalui pelaksanaan upacara yajna yang pada prinsipnya harus dilandasi ketulusan hati dan kesucian secara lahir bathin dengan sarana apapun yang disesuaikan dengan kondisi serta kemampuannya.
“Sesungguhnya keinginan untuk mendapatkan kesenangan telah diberikan kepadamu oleh para dewa karena yajnamu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberikan yajna sesungguhnya adalah pencuri. Ia yang memakan sisa yajna akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi diri sendiri, sesungguhnya makan dosa”. (Bhagawadgita III.12-13).

Bagaimana kalau tidak mau melaksanakan yajna? Ya, ini tergolong perbuatan melakukan dosa, hanya mau hasil tapi tidak mau berterimakasih. Di seluruh dunia orang macam ini tidak disukai. Yajna adalah simbol rasa syukur dan terimakasih atas segala anugrah yang diterima dari Tuhan yang Maha Kasih. Yajna adalah suatu keharusan, sekaligus mendidik manusia menjadi makhluk yang pandai bersyukur dan berterimakasih.

Yajna tergolong ibadah kolektif, maksudnya ibadah yang dilakukan bersama-sama atau dilakukan oleh banyak orang, jadi cukup sulit yajna dengan upacaranya bisa dilakukan sendirian. Agar pelaksanaan yajna berjalan dengan baik, maka perlu pembagian tugas di kalangan umat, hal ini dikenal dengan Trimanggalaning Yajna. Dalam setiap pelaksanaan upakara dan upacara yajna dilaksanakan sesuai dengan prinsip Trimanggalaning Yajna, yakni
(1) Manggala upacara yaitu: sang pemimpin upacara. Pemimpin upacara dapat dilaksanakan oleh pandita, pinanditha atau swami atau dukun dan lainnya sesuai daerah masing-masing.(2) Serati Banten adalah petugas yang menyiapkan sarana upacara dan upakara (banten) atau sesaji sesuai dengan tradisi budaya setempat dan sesuai dengan swadharma masing-masing dan (3) Sang Yajamana, adalah umat Hindu pemilik upacara dan upakara yajna.

Fenomena yang berkembang sekarang di kalangan umat Hindu adalah upacara yajna secara massal dimana sang yajamana terdiri dari banyak orang. Hal seperti ini tidak masalah karena setiap orang dari kelompok sang yajamana masing-masing secara proporsional berkorban suci berupa uang, materi, tenaga, waktu dan sebagainya. Dalam hal upacara missal ini ada dua macam pelaksanaannya, yaitu yang dibagi secara sama rata, sementara cara lain yang pernah berlaku adalah adanya satu dua pihak yang menjadi sang yajamana utama, dimana pihak ini mengeluarkan korban yang lebih banyak dibandingkan yang lainnya. Namun belakangan ini muncul fenomena unik, dimana peran pemerintah daerah masuk ke dalam ranah yajna yang secara tradisional (dan dalam keadaan normal) wajib dilakukan oleh keluarga atau kelompok warga. Misalnya ngaben dan mamukur massal di suatu daerah, yang mana dalam keadaan normal bagaimanapun juga yang bersangkutan harus berkorban semampunya, jadi dia harus mengorbankan sebagian miliknya untuk dipersembahkan kepada Tuhan, tidak boleh hanya mengandalkan milik orang lain atau milik rakyat banyak (dana pemerintah). Coba simak sloka suci Sarasamuccaya-181.

Jadi sebenarnya dalam keadaan normal tidak boleh sang yajamana menggunakan dana pemerintah, kecuali, misalnya dalam keadaan darurat, terjadi bencana besar sehingga perlu ngaben dan memukur missal. Ini disebabkan, selain umat tidak mampu lagi, memang kewajiban pemerintah untuk menjadi penyandang dana atau berperan sebagai sang yajamana dalam situasi seperti itu. Lagi pula, sungguh aneh, bila upacara yajna massal biayanya meningkat tinggi sehingga sang yajamana-sang yajamana tidak sanggup urunan. Yang jelas hakeket dari upacara massal adalah agar biaya dan pelaksanaan upacara bertambah murah dan ringan dirasakan oleh masing-masing sang yajamana, sehingga jelas tidak ada alasan minta ataupun menerima dana dari pemerintah dalam keadaan normal. Pada sisi lain, menerima subsidi dari uang rakyat akan berdampak pada turunnya nilai keikhlasan beryajna karena ada motif ekonomi mengotori niat ketulusan hati untuk berkorban.

Selanjutnya, pemerintah daerah sebaiknya tidak melakukan intervensi terhadap pengamalan ajaran agama Hindu, baik dalam aspek tattwa, susila, upacara, tetapi sebaliknya pemerintah daerah justeru wajib memberikan pengayoman agar umat dapat mengamalkan ajaran agamanya tanpa tekanan dan campur tangan. Ini penting ditekankan karena sampai saat ini intervensi seperti itu masih terjadi, di mana misalnya pemerintah mengatur keputusan untuk memilih sulinggih (manggala upacara) dan sarathi untuk muput upacara dan upakara yajna, tapi biarkan umat Hindu setempat memutuskan lewat paruman.
Satu hal yang patut diperhatikan oleh semua pihak, dalam melaksanakan upacara yajna berusahalah agar upacara yajna itu tergolong upacara yajna yang satwika. Satwika yajna, begitu orang menyebutkannya. Hindari upacara yajna yang bersifat rajasika yajna maupun tamasika yajna. Supaya upacara yajna itu satwika, maka berusahalah memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut: Sradha dan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, pengorbanan yang tulus ikhlas, damai, tentram, puas dan bahagia selama menjalankan upacara yajna, serta mengerti akan makna dan tujuan upacara yang diselenggarakan yang diimplentasikan dalam pemahaman tatwa dan pengamalan susila. Ketiga pelaksana upacara yajna mempunyai peran dan tanggung jawab yang sama, agar upacara yajna yang mereka lakukan dapat tergolong upacara yajna yang satwika. Om, Namo Siva Buddhaya ya Namah swaha.

(I GN Nitya Santhiarsa, Ketua Forum Dharma, staf dosen Universitas Udayana).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar