Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 18 Desember 2012

Umat Hindu Dayak Bengkayang Gelar Piodalan Secara Mandiri

Pada perayaan Piodalan di Pura Giri Penyanggar, yang jatuh bertepatan dengan purnama Kapat, senin 29 Oktober 2012, sekaligus dilaksanakan Pasraman Kilat. Pura yang lokasinya berada di Desa Ciptakarya, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat ini menggelar Pasraman Kilat dengan tema “Bersatu Umat Hindu Menuju Kejayaan.”

Tema ini dimaksudkan untuk memotivasi umat Hindu Kabupaten Bengkayang yang merupakan suku asli Dayak. Panitia beserta umat dan jajaran PHDI Kabupaten Bengkayang berkesempatan mengundang narasumber dari STAHN Gde Pudja Mataram, yaitu I Nyoman Suamba, S.Ag. M.Fil.H. sesuai surat PHDI Kabupaten Bengkayang nomor: 03/PHDI/BKY/2012 tanggal 12 Oktober 2012. Acara Pasraman Kilat dimulai dari tanggal 27-29 Oktober 2012 bertempat di Pura Giri Penyanggar Anantasana, Desa Ciptakarya Bengkayang.

Acara diawali dengan kegiatan bhakti sosial, bersih-bersih di lingkungan pura, dan pada sore harinya diadakan lomba Puja Trisandhya kemudian dilanjutkan dengan lomba kelereng. Peserta yang sebagian besar adalah anak-anak SD dan SMP Desa Ciptakarya, terlihat sangat antusias mengikuti acara tersebut. Bahkan setelah kegiatan lomba, panitia memberi kesempatan pada para peserta untuk memanfaatkan waktu senggang dengan mengadakan dharmatula. Yang berkesan menurut narasumber adalah para peserta yang sebagian anak-anak tersebut pada sesi tanya jawab pertanyaan yang dilontarkan anak-anak dalam kegiatan tersebut sangat kritis, di antaranya menanyakan tentang konsep Catur Guru, dan mengenai cara sembahyang, dan tentang Puja Trisandhya.

Apa Puja Trisandhya itu, Pak? Tanya Ekel, salah seorang siswa kelas tiga SD tersebut. Kemudian ia melanjutkan, apakah Puja Trisandhya atau sembahyang boleh kapan saja? Kembali anak itu bertanya. Kemudian para peserta begitu termotivasi, ketika Suamba memberikan jawaban dengan metode cerita dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Suamba, Puja yaitu memuja atau melakukan penghormatan, Tri, yaitu tiga dan sandhya, yaitu sandhi atau gabungan waktu, yaitu pemujaan yang dilakukan tiga kali dalam sehari. “Dan pada waktu sandhi atau sandyakala itu anak-anak dilarang melakukan aktivitas di luar pekarangan rumah, mengapa?” tegas Suamba, karena pada waktu sandhya kala itu adalah waktu yang keramat.

Diceritakan pada saat terciptanya sang waktu, Dewa Brahma menanggalkan badan astralnya. Kemudian Suamba menegaskan, agar anak-anak harus jujur dan terbuka sama kedua orang tuanya. Kemudian Suamba mengemas nasehat tersebut ke dalam cerita dengan mengambil contoh cerita Purana tentang anak kambing yang nakal, di mana kenakalan itu timbul akibat lengahnya pengawasan para orang tua yang membiasakan anak-anaknya hidup tidak terkontrol atau hidup tanpa bimbingan. Selama ini anak-anak diasuh hanya pada saat di sekolah dan ketika lepas dari sekolah para orang tua membiarkan anak-anaknya pergi bermain tanpa membatasi waktu bermainnya. Anak-anak begitu bebas, seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, dan kebebasannya tanpa ada yang mengarahkan, mengakibatkan anak-anak lepas dari motivasi positif , kemudian membiasakan anak-anak menjadi liar dan sulit mau mendengarkan nasihat orang tuanya.

Dicontohkan seperti seekor anak kambing yang lepas dari kandangnya pada akhirnya anak kambing tersebut tidak menghiraukan tuannya yang selama ini memeliharanya. Dengan nekatnya anak kambing tersebut melonggarkan pagar dari kandangnya, akhirnya ia lepas dari tangkaran induknya untuk mencari rumput yang ia anggap lebih hijau. Kemudian anak kambing tersebut akhirnya terjerumus dalam pergaulan yang mengerikan dan tersesat pada akhirnya menemukan tempat yang gelap gulita dan mati. Demikianlah sedikit awal cerita mengajak anak-anak Desa Ciptakarya mengenal dirinya sebagai orang Hindu.

Pada acara semacam Upanisad tersebut, narasumber banyak mengingatkan tentang peranan pendidik agar metode yang di gunakan tidak bersifat tex book saja, melainkan lebih pada pengalaman ke lapangan agar anak didik langsung kontak mengenal dirinya dan bagaimana menjadi seorang Hindu. Pada sesi kegiatan tersebut hadir beberapa panitia dan beberapa orang tua anak panitia yang sebagian besar adalah guru agama Hindu yang diangkat PNS di Bengkayang, sebenarnya adalah satu solusi dalam meningkatkan perkembangan umat di sana. Dengan SDM Hindu yang mumpuni tersebut harapan narasumber Hindu semakin berkembang.

Menurut Ketua Panitia, I Wayan Mantra, A.Ma, Putra Sentana, A.Ma dan Petrus, A.Ma mengatakan alasannya mendatangkan narasumber adalah selama ini piodalan pura di Bengkayang yang ia tangani dengan rekan-rekannya dengan tidak melibatkan umat di propinsi yang sebagian besar berasal dari Bali. Maksudnya agar ada kemandirian dan agar umat asli Dayak ini tergugah hatinya, sehingga tidak merasa hanya sebagai penonton. Maka dari itu alin mencoba mewujudkannya bersama umat Hindu khusus suku Dayak saja. Namun dia juga sudah berkoordinasi dengan pihak terkait dengan melayangkan surat tembusan ke PHDI Propinsi. Kemudian pada hari H, pada tanggal 29 Oktober 2012, pada pagi harinya umat sedharma menghias pura dan mengisi dengan membuat penjor, memasang umbul-umbul sampai selesai jam 12 siang. Termasuk kegiatan memotong seekor babi untuk upakara persembahannya. Pada malam harinya kegiatan persembahyangan bersama diisi dharmawacana. Sebelum dharmawacana, ketua panitia memberikan sambutannya yang mengatakan kalau dirinya merasa senang piodalan ini bisa berjalan lancar dan umat Hindu pun banyak yang hadir termasuk umat Hindu yang berasal dari Kabupaten Singkawang juga ikut berkesempatan hadir. Kemudian dilanjutkan dengan Dharma Wacana yang diisi oleh Suamba.

Suamba mengatakan, agar umat Hindu bersatu sesuai tema kegiatan ini, terutama tokoh-tokoh umat supaya duduk bersama, karena dengan duduk bersama maka akan ada solusi dan terobosan dalam membenahi tirai yang kusut. Suamba juga mengetuk hati para guru, penyuluh agar lebih aktif melakukan pembinaan, baik ke rumah-rumah umat, melakukan persembahyangan bergilir, sehingga terjalin tali kasih, paras paros, rasa persaudaraan wasudewa kutum bhakam, bahwa kita adalah bersaudara dalam kesetaraan. Kemudian Suamba menjelaskan tentang Hindu yang di dalamnya ada banyak kepercayaan. Ia mengharapkan agar umat Hindu mengerti tentang kehinduannya, bahwa menjadi orang Hindu adalah menerima segala aspirasi yang datang dari mana saja, tidak peduli dari anak kecil sekali, kita dengar pendapatnya, jangan melihat fisiknya. Dan pengalaman itu adalah bentuk pendewasaan. Dengan demikian umat Hindu akan memiliki rasa kefanatikan dalam memegang kasanah kehinduannya, fanatik untuk memegang dan mencintai ajaran Hindu, sehingga umat Hindu masa depan mempunyai jiwa nasionalis yang tinggi.

Di akhir dharmawacana-nya Suamba mengajak umat berkonsentrasi menyatukan alam pikirannya dengan mengajak meditasi mengucapkan maha mantra dan nama suci Tuhan, sebab pada jaman Kali hanya pengucapan nama suci yang utama, selainnya adalah pelengkap. Demikian Suamba panjang lebar menjelaskannya selanjutnya acara persembahyangan bersama, dipimpin oleh Mangku Bitun dan diartikan juga oleh narasumber. Kemudian setelah persembahyangan bersama dilanjutkan untuk makan prasadam bersama. Terakhir diisi dengan dharma tula oleh narasumber dan pengenalan Linggam Siwa yang disebut penyanggar oleh Ketua Panitia Piodalan, sebagai awal sejarah adanya Hindu di Bengkayang. Terakhir pembagian hadiah para juara Puja Trisandhya dan lomba kelereng diberikan langsung oleh Sekretaris Panitia, yaitu Putra Sentana biasa di sapa Udang.
(sum)

1 komentar:

  1. Semoga Saudara Hinduku disana diberkahi oleh Sang Hyang Siva, Om Namah Siva Ya

    BalasHapus