I Nyoman Tika
Ketika kita melihat orang Hindu di Bali saat ini, maka semakin marak muncul identitas baru, selain memakai wija di dahi, banyak orang juga memakai benang tridatu, sebagai  simbolis telah melalui prosesi tertentu. Apa yang bisa kita maknai dari pemandangan seperti ini? Adakah ini bentuk kreativitas beragama, dalam heterogenitasnya zaman? Sulit untuk menjawabnya dengan pasti.
   
Pemakaian benang tridatu, saya temui di keluarga saya pada kondisi, sebagai berikut. Pertama, saat gendongan (kulkul suci) peninggalan Kerajaan Klungkung bersuara.  Kedua, ketika salah satu keluarga, pedek tangkil ke Pura Penataran Ped, di Nusa Penida. Ketiga, selesai mengikuti prosesi Agnihotra, yang dipimpin oleh Ida Rsi Agni Jaya Murti di Geriya Sampalan Kelod. Untuk yang terakhir ini sering  Beliau lakukan di Bandung, kami alumni ITB, yang gandrung spiritual ketika itu, ikatan benang empat warna (merah, putih, kuning dan hitam)  itu sangat membanggakan dan juga indah, di samping ada getaran kesucian dalam hati dan pikiran kami, yang memakainya. 
Ida Rsi Agni Jaya Murti, memaknai  penggunaan benang catur warna itu, melambangkan catur loka pala, dan energi yang mengitarinya berasal dari empat penjuru mata angin, begitulah makna yang selalu di Dharmawacanakan oleh Ida Rsi. Upacara agnihotra sangat disiplin dan konsisten hingga kini. Kami selalu mengenang dan mendapatkan pencerahan, ada semacam kerinduan di antara kami para alumni itu, yang kini menyebar ke seluruh Indonesia, kadang-kadang kami saling mngunjungi, dan datang untuk ikut sembahyang agniotra di geriya Sampalan Kelod, karena beliau sampai saat ini, sangat disiplin untuk konsisten melakukan yadnya Agnihotra, setiap purwaning tilem dan purwaning purnama.  
Maraknya penggunaan benang tridatu, sebagai sebuah  pertanda baru.  Hal ini dapat dijelaskan bahwa agama Hindu kaya dengan simbol. Simbol ini sebagai bentuk identitas  untuk membedakan pada ordenary person (orang kebanyakan).  Apa makna yang terkandung dari penggunaan atribut ini, dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama sebagai simbul kesucian. Kedua,  eksistensi keberadaan dengan komunitas lain. Ketiga,  benang tridatu dapat penangkal  mara bahaya. 
Benang tridatu sebagai simbol kesucian. Kesucian itu muncul, karena pikiran orang yang memakai selalu teringat tentang aspek trimurti, warna putih, hitam dan merah (Brahma, Wisnu dan Siwa). Tuhan hadir dalam benak sebagai generation, organization dan destruktion (GOD).
Berkaitan pada simbol identitas agama Hindu, maka di era globalisasi, orang kini berpaling pada identitas kelompok, karena kini telah banyak muncul merk global yang menggilas identitas lokal, agar tidak kehilangan identitas. Dalam koridor simbol itu, maka manusia disebut Homo simbolicum, yang selalu bersentuhan dengan simbol-simbol, akan kerap hadir dalam kehidupan sehari-hari.  
Simbol suci kerap mengatasi kegelisahan manusia untuk memaknai dirinya dalam konstelasi alam raya dengan ketuhanan yang melingkupinya, serta keterbatasan daya analisis manusia itu, menyebabkan manusia kemudian berfilsafat untuk memberikan pemuasan secara intelektual tentang apa-apa yang membuatnya gelisah. Filsafat Wedanta memberikan uraian tentang  keterkaitan manusia dengan  alam raya dan Tuhan dengan sangat indah dan cerdas. Ada empat statemen berkenaan dengan itu, yakni: Prajnanam Brahman, Tat Twam Asi, Atman Brahman aikyam, Aham Brahma Asmi. Keempat  pernyataan agung itu merupakan intisari  Upanisad, sebuah mutiara kehidupan  yang paling lengkap yang dimiliki oleh peradaban Weda. Peradaban ini  awalnya memang diturunkan dan dianut oleh komunitas manusia  yang hidup  di lembah  sungai Shindu. Yang oleh  orang-orang Barat disebut Hinduism. 
Dalam ajaran yang demikian luas untuk mengekstrak menjadi identitas Hindu, sebenarnya sangatlah sulit, tanpa jiwa spiritual tumbuh dalam pencariaan itu. Weda dimaknai tiada berawal dan tiada berakhir, hanya dengan pemaknaan pada  evolusi spiritual manusia dari  Dwaita, ke Wisista Dwaita dan akhirnya ke Adwaita dapat menjawab kesulitan itu. Banyak ahli yang ingin menggali dan  mengungkap sari pati Weda, namun mereka luluh karena tercerahkan. Max Muller satu diantara banyak sarjana Barat yang mengecap manisnya ‘nektar’ Weda.  Inti sari Weda ternyata ditemukan  bisa dibahasakan dengan untaian kata ini “memuliakan pengorbanan sebagai kebajikan tertinggi”,  Na karmana  na prajaya dhanena tyagenaikena amritatwamanasu” Keabadian  hanya  dapat dicapai  dengan pengorbanan. Harta, keturunan, maupun perbuatan baik tidak dapat memberikan kekekalan.
Identitas Hindu  seolah-olah dapat muncul  di hati mereka yang tercerahkan. Perubahan karakter itu seolah-olah menjadi identitas Hindu, dan kata Hindu itu sendiri menjelma menjadi sebuah identitas menganggumkan, yaitu  H  (humanity, kemanusian ), I (Integrity, kejujuran), N ( nationality , kebangsaan), D (devotion, kebaktian), U (Unity, kesatuan). 
Kemanusiaan  berangkat dari  pelaksanaan kebenaran, kebajikan, kedamaian, kasih dan tanpa kekerasan. Ciri ini memang sulit dipisahkan dari Hindu, yang cinta damai, tanpa kekerasan. Predikat cinta damai buat Hindu  tetap ajeg sampai kini karena  usaha yang tanpa pamerih dari orang suci (Yogi) untuk meningkatkan spiritual masyarakat  untuk selalu bertahan di jalan dharma. Para Yogi inilah yang selalu mempertahankan dan penuh disiplin menggali ajaran suci dan memperbaharui penafsiran sesuai dengan tuntutan zaman. Di antara sekian banyak para yogi,  guru  suci  dan ahli Weda dalam  domain Hindu yang sangat luas, bisa disebutkan  Swami Dr Vedavyasa, PhD, seorang president  Yoga Brotherhood of Amerika  (Inc) USA, menulis dalam bukunya  Hinduism In The Space Age (1995, 47) “ A Universal Wisdom  Science that is also  a life  disiplin for healty Harmonious and happy posterity”. 
Manusia adalah mahluk yang tidak memiliki esensinya kata Sartre. Dalam konsep itu nampaknya bisa bersinggungan manakala manusia  tidak memiliki identitas yang membedakan dengan segerombolan manusia yang lain. Artinya, manusia tidak dapat didefinisikan. Manusia ialah apa yang dia pilih untuk menjadi. Karena manusia dapat menjadi apa saja, di depan manusia tersedia peluang yang tidak terhingga. Agama Hindu berdiri sebagai salah satu jalan untuk membawa manusia mengenal dirinya sendiri, hakekat dirinya sendiri (true the self). Dalam konsep itu, manusia memasuki tiga tahap, yaitu (1) estetik, (2) etis (3) religiutas.
Dalam hal religiusitas ini, banyak hadir para orng suci Hindu hadir semisal Ida Rsi Agni Jaya yang bertempat di Geriya Sampalan kelod ini, yang kerap hadir memberikan aksentuasi pada identitas Hindu. Di dimensi internasional, kita bisa melihat peran strategis   Swami Sathya Narayana (Swami Sai Baba). Guru Suci ini  selalu memberikan panafsiran terkini tentang ajaran suci Weda dengan bahasa yang mudah dicerna, dengan organisasi internasionalnya yang hampir meliputi 165 negara di dunia mengalirkan ajaran Weda bak air bah menyusup di lintas negara dan ras bangsa ke seluruh dunia. 
Di samping itu, Sai Baba, juga memiliki sebuah payung pelayanan kemanusian yang diorganisir dengan nama: Sri Sathya Sai Seva Organitations  yang bergerak memberikan pelayanan kemanusiaan dengan motto sederhana: Manava seva madava seva (melayani manusia adalah juga melayani Tuhan). Dengan prinsip dasar:  Religious Tolerance seolah  mengembangkan Hindu modern dengan identitas kemanusiaan yang sangat intens. Sevadal-sevadal-nya juga sering menggunakan tanda ikatan benang di tangan kanannya.
Selain itu, Sebuah Wacana  Swami Sai Baba tentang Weda, yang membuat para ahli teosofi dan pencinta spiritual kagum adalah kemampuan untuk memberikan terminologi modern terhadap Hindu    dalam buku “ Guide  to Indian Culture and Spirituality, (ed. Kausalyarani Raghavan 1990, 99)  menyebutkan : The essence of all Purana and Weda is : Do good to others and  keep way from doing harm to others. Doing harm to others is great papa” 
Seruannya yang selalu membuat orang tersentak adalah  kemanisan di balik rangkaian kata yang sulit dicari bandingangnya “Love all religions and all nations. Recognise and accept all religion  as paths leading men to the  same destination. All of them peace and compassion, humanity and forbearance’  (Last Para Devine Discourse, p 248).  Selain itu Beliau mengatakan: “Ada dua hal yang diperlukan untuk hidup bahagia: dhanya’ bahan makanan’ untuk memelihara  badan dan dhyana ’meditasi’ untuk memasuki tempat kediaman Tuhan dan lebur dalam kemuliaannya.” SriSathya Sai Saying (ed. Dr. D.R. Sadh Khandwa, 1988, 126).
Akhirnya, bukan simbolisasi identitas benang tridatu semata yang penting, adalah ketika memakai benang tridatu, juga diikuti dengan  prilaku yang mengharumkan Hindu, lewat pelayanan  pada semua mahkluk.  Om nama Siwaya****
  
| Tweet | 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar