Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Jumat, 23 November 2012

Benang Suci Tanda Komitmen di Jalan Rohani

I Nyoman Suamba

Dalam upacara agama Hindu, Khususnya adat di Bali sering kita temukan dalam acara-acara khusus terdapat upacara pengalungan benang suci atau upacara diisi dengan benang Tri Datu, yaitu tiga helai benang dengan ukuran tertentu yang berwarna Merah, Putih, dan Hitam. Kalau di Bali, merah disebut barak atau biying, Putih disebut Putih, sedangkan hitam disebut selem atau badeng. Seperti upacara panglukatan misalnya yang menggunakan benang Tri Datu. Biasanya benang tersebut di sematkan pada tangan seseorang atau dijadikan kalung dan diisi pis bolong.

Dalam kepercayaan umat Hindu di Bali, benang Tri Datu tersebut dipercaya memiliki kekuatan magis, agar seseorang terhindar dari kesulitan. Benang Tri Datu juga diyakini sebagai simbol kwaca atau pelindung diri. Di samping itu bagi umat Hindu Simbol benang Tri Datu juga diyakini memberi vibrasi kesucian bagi si pemakai benang tersebut dan menandakan umat yang mengalungkan benang Tri Datu tersebut adalah sebagai tanda atau simbol pengesahan dalam melaksanakan ritual atau upacara pengelukatan.

Dalam kegiatan aguron-guron, seperti saat penerimaan seorang murid, maka akan dilakukan nama karanam dan setelah murid dianggap mempunyai kualitas, maka si murid akan diberi benang suci, yaitu diinisiasi atau di-diksa. Orang yang mendapatkan benang suci tersebut menurut aturan-aturan veda asrama ialah orang-orang yang terpilih, artinya mereka adalah orang-orang yang siap baik secara prinsif dan mengikuti aturan-aturan sastra. Dan tali suci itu sebagai sebuah tanda, bahwa seseorang tersebut dapat disebut sebagai seorang brahmana. Demikian juga dalam prakteknya, seorang diksita atau brahmana harus melaksanakan kewajibannya sebagai pelayan Tuhan. Seorang pelayan Tuhan dalam tatanan kehidupan rohani misalnya seorang brahmacari dan brahmacarini. Ia harus siap berpantang melaksanakan aturan-aturan daru guru spiritualnya, yaitu mengikuti aturan Guru siksa, dimana ia harus tahan terhadap penderitaan dan menjaga kesuciannya, yaitu dengan saucam, dimana ia harus jujur, tidak menipu dirinya sendiri, jadi pertapaan itu dilakukan untuk kebaikan dirinya bukan untuk orang lain. Demikian juga seorang brahmacari tidak boleh memikirkan tentang orang lain selain melayani Tuhan, apalagi berkata-kata untuk kepuasan indria sehingga prilaku kesucian tetap terpelihara dalam pertapaannya.

Demikian juga seorang grahasta yang sangat penting dalam memobilisasi berjalannya warna asrama dharma, karena para grahasta-lah yang harus bertanggung jawab memfasilitasi para brahmacari dan wanaprastha serta bhiksuka. Dalam posisi ini para grahasta harus menjaga ketat pertapaannya agar dia maju dalam kesadarannya. Dan grahasta diperbolehkan berhubungan seks hanya dimaksudkan apabila menginginkan adanya keturunan, selain itu dilarang.

Namun sekarang banyak di antara kita yang berusaha hidup rohani akan tetapi kesannya menabukan symbol-simbol tersebut. Misalnya banyak di antara kita memakai benang suci tersebut sebagai aksesoris semata atau sebagai variasi-variasi kehidupannya, agar nampak hidupnya suci namun melupakan atauran-aturan standar sastra. Fenomena tali suci yang bertujuan untuk dihormati dan terkesan suci, maka itu sama dengan penggunaan nama suci Gayatri saat ini. Dahulu mantram Gayatri adalah mantram yang khusus penggunaannya bagi para Brahmana untuk bisa mengangkat derajat manusia ke kesadaran yang tinggi, namun sekarang tidak banyak orang yang sungguh-sungguh melihat pengucapan mantra tersebut didasari atas kualitas orang. Fenomena sekarang sudah tidak mempedulikan aturan-aturan pakai dari mantra dan benang suci tersebut sehingga benar-benar menunjukkan sebagai orang yang bonafide. Sekarang orang mengumbar nama suci tersebut tanpa memikirkan aturan standar dari penggunaan amantra dan benang suci tersebut.

Pemakaian tali suci di era modern ini tentu akan menjadi sangat relepan, bilamana hal itu menunjukkan kesungguhan hati pemakainya di dalam menggantungkan harapan dan ingatannya kepada Tuhan. Karena hanya peradaban rohanilah yang mengantar tiap jiwa ke jalan kebahagiaan sesuai teori kebahagiaan yang diamanatkan Sarasamuscaya, yaitu “Sukha” kebahagiaan dalam hidup ini menuju kebahagiaan hidup yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar