Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 26 September 2012

Dewasa Ayu dalam Weda

N. Putrawan

Dalam Itihasa Mahabharata dikisahkan Rsi Bhisma terbaring di padang Kurukshetra dengan tubuh dipenuhi hujaman anak panah. Jika ia tidak memiliki berkah untuk memilih sendiri hari kematiannya, maka tentulah ia sudah binasa saat panah-panah Arjuna menembus tubuhnya pada perang Bharata Yudha itu.

Namun, berkat anugerah istimewa yang dimilikinya, bahwa ia dapat menentukan sendiri hari kematiannya, maka Bhisma memilih terbaring di padang Kurukhetra dengan kondisi sangat memiriskan dan memprihatinkan. Ia rela melanjutkan hidupnya dalam keadaan menderita selama beberapa waktu, sampai matahari kembali mengorbit di lintang utara (Ngutarayana). Mengapa Bhisma merasa begitu penting untuk menentukan hari kematiannya pada saat uttarayana?

Demikianlah dalam Bhagavadgita disebutkan:
Agnir jyotir ahah suklah
Sanmasa uttarayanam
Tatra prayata gachchhanti
Brahma brahmavido janah

Artinya:
Di kala api, cahaya, siang hari, purnama
Dan enam bulan musim matahari ada di utara
Apalagi pada saaat itu ajal tiba,
Orang yang mengetahui Brahman pergi ke Brahman
(Bhagavadgita VIII. 24)

Dhumo ratris tatha krishnah
Sanmasa dakshinayanam
Tatra chandramsam jyotir
Yogi prapya nivartate

Artinya:
Di kala asap, malam hari, bulan mati
Dan enam bulan musim matahari ada di selatan
Apabila saat itu ajal telah memanggil,
Yogi yang mencapai cahaya bulan kembali
(Bhagavadgita VIII. 25)

Dua sloka di atas menjelaskan waktu yang baik bagi keberangkatan roh meninggalkan badan untuk menuju tempat barunya. Roh yang meninggalkan badan memiliki tujuannya yang baru. Tujuan pertama, bilamana keterikatan dengan dunia material (duniawi) masih kuat, maka sang roh akan mudah terseret jatuh lagi di dalam dunia material. Entah terlahir kembali sebagai manusia, binatang, tumbuhan, sebagai dewa, menjadi assura maupun bentuk-bentuk lain. Sedangkan yang kedua, bilamana roh mendapatkan pencerahan semasa kelahiran sebagai manusia, maka ia akan mencapai pembebasan dan tak terlahir lagi di alam material manapun.

Sloka Bhagavadgita menyebutkan, para yogi (Dia yang mempraktikkan jalan menuju penyatuan denga asal mula /Tuhan) yang meninggal saat matahari ada di utara (Uttarayana), maka yang bersangkutan akan tiba pada Brahman (Tuhan). Sebaliknya, bilamana ajal tiba saat matahari ada di orbit lintang selatan khatulistiwa, maka roh yogi yang meninggal akan kembali lagi ke dunia (reinkarnasi).

Sloka tersebut menegaskan pentingnya sebuah momen tertentu untuk kegiatan tertentu pula. Namun, waktu yang baik saja belumlah cukup untuk mewujudkan sesuatu cita-cita mulia, lebih-lebih cita-cita spiritual. Akar dari cita-cita spiritual, mencapai tyaga, mukti, moksa haruslah dilandasi sebuah sadhana. Sebagaimana disebutkan dalam Bhagavadgita:

Machchittah sarvadurgani
Matprasadat tarishyasi
Atha chet tvam ahamkaran
Na sroshyasi vinankshyasi

Artinya:
Memusatkan pikiran padaKu, engkau akan
Mengatasi, dengan restuKu, segala kesukaran
Tetapi bila dengan egoisme kau tak sudi mendengarkan
Engkau akan hancur musnah berantakan
(Bhagavadgita XVIII. 58)

Sarvadharman parityajya
Mam ekam saranam vraja
Aham tva sarvapapebhyo
Mokshayishyami ma suchah

Artinya:
Setelah meninggalkan tugas kewajiban semua
Datanglah hanya kepadaKu untuk perlindungan
Janganlah berduka, sebab Aku akan
Bebaskan engkau dari segala dosa.
(Bhagavadgita XVIII. 66).

Bahasa yang luas dan detail diuraikan dalam Bhagavadgita mengenai aspek latihan fisik, latihan mental, proyeksi pikiran, skup pergaulan, ideasi spiritual, dan lainnya. Bagi umat manusia yang menetapkan diri sebagai bhakta Tuhan, semua pengetahuan Weda itu berujung pada satu hakikat, yaitu harus memulai sebuah praktik langsung dari diri sendiri untuk mendorong diri lebih maju, berevolusi ke tingkatan yang semakin luhur. Sebutlah uraian tentang golongan makanan yang bertipe tamasik, rajasik dan satwik. Satu golongan makanan tertentu harus dikonsumsi bilamana hendak berjalan di jalan spiritual. Demikian juga, menyangkut tata kehidupan sosial, di mana ada jalan bagi seorang sukla brahmachari (selibat) dan ada juga jalan berjenjang melalui catur ashrama dharma di dalam menapaki spiritual. Pendek kata, tidak cukup mengandalkan uttarayana saat ajal tiba untuk mencapai pembebasan.

Hanya karena satyam (kebenaran) dari Rsi Bhisma dapat karunia pergi meninggalkan badannya pada saat hari dipenuhi cahaya (Kecemerlangan). Selama hidupnya, Bhisma menegakkan prinsip-prinsip ksatria dharma sebagai swadharma-nya. Memegang teguh sumpah yang telah dipenuhinya dan menepati etika moral seorang ksatria. Dengan komitmen itulah ia mendapat jaminan dapat pergi ke planet rohani dengan jalan bertaburan cahaya kesucian.

Dengan demikian, menegakkan ala ayuning dewasa dalam sebuah ritual tidaklah serta merta memberi jaminan berkualitasnya sebuah persembahan. Hanya orang-orang yang telah melaksanakan swadharma-nya secara patut selama hidupnya layak mendapat waktu atau hari baik di dalam memulai pekerjaan-pekerjaan pentingnya, bahkan ketika memulai perjalanan baru tanpa badan fisik alias perjalanan saat mati. Kesimpulan pendeknya: lakukanlah kewajiban dulu sebaik-baiknya, maka hari baik itu akan datang kemudian pada si pelaku. Hari baik tidak pernah datang lebih awal dari kewajiban-kewajiban (Swadharma).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar