Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Kamis, 26 April 2012

Manfaatkan Konsep Ajaran Hindu sejak dini

Made Dwija Putra

Belakangan ini Bali banyak sekali mendapat masalah. Beberapa tahun terakhir seperti yang diberitakan sebuah majalah dari luar negeri, yakni majalah Time edisi 1 April 2011 yang memberitakan Bali adalah Pulau Neraka. Maklum, sebelumnya memang terlihat sampah-sampah yang berada di pantai Kuta tak terurus dan merusak pemandangan. Tak pelak, baru ada pemberitaan seperti itu, berbagai pihak, baik instansi pemerintah dan juga masyarakat berbondong-bondong bersuara dan membersihkan sampah- sampah itu serta menata pantai. Tapi kalau tidak ada berita seperti itu, mungkin kita tidak tahu apa yang terjadi.

Selain itu, kasus yang menjadi masalah krusial, yakni kasus desa pakraman atau kasus desa Adat. Bahkan demi kepentingan pribadi seperti kasus di Tabanan baru- baru ini, oknum- oknum tersebut sampai mengucilkan masyarakat sesama pemeluk agama Hindu. Begitu juga kasus yang terjadi di Bangli hingga betrok sesama nyama Bali memakan korban jiwa. Pun demikian, di Klungkung juga berbuntut menjadi bentrok antara sesama warga Bali yang beragama Hindu karena masalah sepele dan juga memakan korban jiwa. Sungguh miris mendengar berita buruk seperti itu yang terjadi saat ini.

Selain itu, demi kepentingan pribadi kasus yang belum selesai hingga sampai saat ini yang kerap bermunculan di berbagai media cetak mau pun elektronik, yakni terkait salah satu media di Bali yang memberitakan bahwa orang nomor satu di Bali itu sempat mengatakan untuk membubarkan desa pakraman di Bali. Tak pelak, berita ini heboh, pro dan kontra pun terjadi. Banyak isu yang bermunculan. Sayang, para petinggi itu tak melihat bagaimana nasib masyarakat kecil. Rakyat kecil sama sekali tak tahu menahu mana yang benar dan salah. Akhirnya, kasus itu pun hingga berbuntut ke jalur hukum. Maklum, api ketemu api tentunya semakin membara saja yang terjadi dan semua panas dan tak ada mau mengalah sama sekali. Tapi kita sebagai rakyat kecil tak tahu apa yang terjadi. Apa mungkin ini hanya sebagai permainan polilik semata demi meraih kursi yang diidamkan atau memang benar memperjuangkan rakyat Bali untuk menuju kehidupan yang Jaghaditha. Tentunya mereka yang berada di dalam lingkaran itu yang tahu.

Begitu ironisnya permasalahan yang menyelimuti pulau seribu pura ini. Mesti ini menjadi pembelajaran dan mampu mulat sarira bagi semunya untuk menuju kehidupan yang harmonis. Para pemimpin, masyarakat dan generasi muda penerus bangsa setidaknya memahami ajaran agama, khususnya bagi pemeluk Hindu di Bali. Ajaran yang bersumber dari sastra suci yakni Veda mesti dihayati dan juga dimplementasikan. Tak cukup hanya membaca dan mendengar tanpa ada action.
Maka dari itu, mari kita muali pahami, hayati dan laksanakan konsep ajaran Hindu yang paling tingkat sederhana dari sejak dini. Seperti ajaran Tri Kaya Parisudha, Tri Hita Karana, dan masih segudang lagi ajaran Hindu yang bisa menjadi referensi bagi kita semua kalau mau menggali lebih dalam.

Nah, sebut saja konsep Tri Kaya Parisudha, yakni tiga prilaku yang dimuliakan dan disucikan oleh setiap umat Hindu. Konsep ini sejak dari duduk bangku Sekolah Dasar sudah diajarkan dengan pembagian Manacika (pikiran yang baik), Wacika (perkataan yang baik), Kayika (perbuatan yang baik). Kalau semua umat Hindu mampu melaksanakan ajaran ini tanpa menjadikan menara gading, tentunya sangat membuahkan hasil.

Selain itu, konsep Tri Hita Karana yakni tiga hubungan yang vertikal dan horizontal yang mesti dilaksakan. Namun pada kenyataan, konsep ini telah mengakar dan terkenal dalam kehidupan masyarakat Bali. Bahkan sering disampaikan dalam pidato para pejabat, seolah tanpa menyinggung konsep tersebut, pidatonya kurang lengkap saja. Tapi pada realisasinya tak ada. Pada dasarnya hakikat ajaran Tri Hita Karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ketiga hubungan itu meliputi hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam sekeliling, dan hubungan dengan Tuhan yang saling terkait satu sama lain. Kalau bisa tiga pilar itu bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata, tentunya tidak terjadi berbagai persoalan yang menimpa Bali. Seperti menjaga lingkungan sejak dini dan itu bisa menepis Bali tidak dicap sebagai pulau neraka. Hubungan sesama manusia kalau mampu dilaksakanan dengan baik tentunya tidak akan terjadi saling baku hantam hingga menimbulkan korban jiwa. Namun, yang terpenting hubungan dengan Tuhan ini mesti mampu masuk dalam pikiran para pemimpin, masyarakat, dan generasi muda. Tak pelak ini bisa menjaga Pulau Bali yang indah ini agar tidak diperkosa dan dinodai dengan hal- hal yang disengaja mau pun tidak disengaja. Mari kita semua saling intropeksi diri menuju Bali yang Jagaditha seperti tujuan akhir Agama Hindu, yakni Moksatam jagadhita yacaiti dharma.
Top of Form

Tidak ada komentar:

Posting Komentar