Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Kamis, 26 April 2012

DEMOKRASI WEDA DAN HATI NURANI

Ngurah Parsua

Rgveda 10-173-10, menyatakan: ‘’Wahai para pemimpin, kami membawamu dan mendudukanmu di istana, janganlah engkau goyah, tetaplah teguh karena seluruh rakyat menghendakimu. Dan dalam memimpin Negara ini agar jangan sampai jatuh atau menghancurkannya.’’ (Dr. Somvir, 108 Mutiara Weda, Untuk Kehidupan Sehari-hari, 2001:150).

Memang rakyatlah yang memilih, tersurat di dalam Weda, sebagai unsur demokrasi. Suara rakyat, diharapkan memilih pemimpin dengan suara bulat. Di tingkat implementasi, hal ini sepertinya agak sulit diwujudkan saat sekarang. Namun konon di India, yang penduduknya (satu milyard orang lebih), sembilan puluh persen lebih beragama Hindu, phenomena Weda terlihat. Seperti presiden dan perdana menteri pernah dijabat oleh non Hindu. Anggota parlemen dipinang oleh rakyat, dan kadang-kadang rakyatlah yang menyumbang fasilitas kepada calon. Bukan suara rakyat dibeli oleh calon pemimpin. Meskipun phenomenanya, bercampur pula dengan hal-hal yang berwajah negatif.

Sebagai koreksi, memang layak diperhatikan pernyataan Richard Wholhen, di dalam kertas kerjanya, berjudul: ’’ A paradox in the Theory of Demokrasi’’ (1962). Menyatakan: ‘’Jika demokrasi berarti kekuasaan dipegang oleh rakyat keseluruhan, bagaimana mungkin itu bisa terjadi diwujudkan.’’ (Richard M. Kitchen, editor. ‘’Demokrasi Sebuah Pengantar’’, 2004:XIV).

Kesulitan itu, rupanya didekati dengan memilih pemenang suara mayoritas. Bukan lagi berkutat pada seluruh kebulatan suara rakyat. Mengamati dari luar, di dalam memilih pemimpin secara demokratis, baik pernyataan Weda maupun demokrasi modern, mempunyai cukup persamaan. Rakyatlah memilih, menentukan dan membentuk pemerintahan, mengangkat pemimpinnya. Cuma bedanya, di dalam Weda tersurat, setelah tercapai suara bulat, rakyatlah yang meminang pemimpinnya. Kebulatan suara rakyat ke dalam, dianggap relatif lebih mudah, mewujudkan suara bulat rakyat. Bukan sebaliknya seperti kecendrungan sekarang, pemimpinlah yang meminang rakyatnya.

Di samping itu, seorang pendekar demokrasi modern, Winston Churchil menegaskan: ’’Democrasy is the worst form of government excep all other that have been fried from time to time;’’ Memang demokrasi itu bentuk pemerintahan yang jelek, tetapi yang lebih baik tidak ada.’’

Di Indonesia, di dalam lembaga legislatif berlaku sistem perwakilan suara rakyat. Memilih wakil yang dapat dipercaya mewakili, menyampaikan, melindungi dan memperjuangkan hak-haknya sebagai rakyat suatu Negara. Wakil rakyat itu, mewakili pula memilih eksekutif, seperti bupati, gubernur maupun presiden. Bahkan sekarang lebih terwakili secara signifikan, di mana bupati, wali kota, gubernur dan presiden dipilih langsung oleh rakyat.

Pada sistem demokrasi, berlaku satu orang satu suara. Suara seorang cendekiawan, sama nilainya dengan suara seorang petani, pengemis atau profesor. Satu suara satu orang. Hal terpenting adalah pengumpulan suara terbanyak. Mayoritaslah yang menang, tidak perduli siapa pemilihnya. Pokoknya, berasal dari suara rakyat yang mempunyai hak pilih. Pada hal mungkin saja, pemilih yang menang tidak rasioanal. Semua itu, sudah dianggap merupakan kehendak Tuhan.

Suara yang diperoleh karena membeli, curang atau menipu, intimidasi, tidak masalah, sepanjang tidak dapat dibuktikan secara hukum. Berarti apa yang dikatakan K. Bertens (Persfektif Etika, 2001:51) ada benarnya. Dikatakan antara lain: ’’Salah satu kesulitan terbesar yang mengancam pelaksanaan demokrasi sekarang adalah peranan uang. Hal ini pasti tidak pernah terbayangkan oleh bangsa Yunani Kuno, yang menciptakan istilah demokrasi (demos=rakyat; kratein=kekuasaan).

Perkembangan selanjutnya seperti di jaman sekarang, nampaknya uang mengejawantahkan menjadi kuasa ekonomis, semakin akrab dengan kuasa politik. Di sini, baru kelihatan bahayanya dalam sistem demokrasi yang murni. Ternyata, yang menjadi kuasa bisa jadi, jumlah uang terbanyak. Uang dapat membeli suara mayoritas.
Secara empiris apa yang direkomendasikan Weda maupun sistem demokrasi modern, memang agak sulit dilaksanakan seutuhnya secara murni. Calon pemimpin sekarang, relatif aktif mempromosikan diri. Baik melalui tim sukses, janji-janji, kampanye terselubung, intimidasi maupun bentuk lainnya. Bahkan sampai mengritik lawan-lawan politiknya, tetapi tidak menyadari bahwa dirinya, mungkin lebih ‘’buruk’’ dan munafik dari yang dikritiknya. Ini pun tidak salah, sepanjang tidak melanggar aturan main. Sekedar menarik perhatian hati rakyat.

Promosi terbuka, rakyat dapat menilai, secara luas dan tentunya diharapkan dapat memilih dengan hati nurani. Mana menghayal, mana yang berjanji secara realistis. Rakyat dapat menilai karakter dan reputasi calon, apa yang telah diperbuat dan bagaimana perspektifnya, bila ia memimpin. Di balik itu, prilaku bersifat pragmatis dari calon pemimpin, tetap merupakan ancaman. Iming-iming uang, kedudukan maupun bentuk lain yang mempengaruhi kejujuran pemilih, tetap bisa terjadi.

Bagaimana dengan uang dikeluarkan calon? Hukum ekonomi paling sederhana, tentunya bisa berlaku di sini. Pendapatan harus lebih tinggi dari pengeluaran. Kembali lingkaran ‘’setan’’ menjadi jalan keluar paling sederhana. Korupsi diam-diam mengintai. Calon pemimpin bisa jatuh miskin dan tim sukses juatru bisa bertambah kaya. Tindakan frustasi, bisa dipilih sebagai jalan keluar. Di sini membuktikan kembali, demokrasi dan hati nurani menjadi ancaman bila dipisahkan. Dalam demokrasi, segala sesuatu ditentukan oleh banyaknya suara. Seharusnya, ditentukan pula oleh terjadinya proses, sesuai aturan yang disepakati.

Pernyataan Weda dan demokrasi modern, nampaknya banyak kesamaannya. Mengharapkan kualitas keberhasilannya, ditentukan oleh kejujuran manusianya. Di dalam Weda diketemukan kata, sarva vanchantu; kami seluruh rakyat menginginkan supaya seorang pemimpin Negara sesuai dengan keinginan rakyat. Sehingga ia menjadi, rastramadhi bhrasat; kami rakyat menerimanya sebagai pemimpin Negara ini. Selanjutnya dinyatakan pula, dhruwah dhruvena havishabi somam mrsamasi…(Rgveda 10-173-6). Di sini, ditekankan supaya pemimpin dipilih oleh rakyat untuk melindungi hak-hak rakyat dan memberikan keadilan. Bukan lagi kelompok, golongan atau pribadi tapi seluruh kepentingan rakyat dengan adil.

Karena itu, saran Plato mengandung kebenaran cukup tinggi, ia menyatakan :’’Kita harus menyerahkan pemerintahan kepada orang arif bijaksana, yaitu filsuf-raja. Para filsuf harus dijadikan raja atau para raja (pemimpin) dijadikan filsuf.’’ Sedangkan pemimpin harus memegang kata-kata (mantra), sesuai Rgveda 10-174-5 (Dr. Somvir) : ‘’ Oh, Tuhan, semoga saya tidak mempunyai musuh dan semoga saya menghancurkan para musuh dan semoga saya memerintah seluruh rakyat dengan baik (adil dan penuh kejujuran).’’

Mencoba memahami demokrasi Weda maupun modern, keduanya menuntut kejujuran yang bersumber dari hati nurani. Memilih berdasarkan bisikan hati nurani, berproses dan menjadi pemimpin dengan mendengar suara hati nurani. Apabila terjadi kekeliruan dalam memilih pemimpin, maka perlindungan, keadilan dan ketentraman sulit akan terwujud. Diskriminasi hal yang paling ditakuti minoritas, harapan memiliki rasa aman dan hidup tidak terancam, tidak dibayangi kesewenang-wenangan adalah janji pemimpin. Bila ketidakadilan terjadi, Weda secara tersirat mengingatkan, pemimpin tersebut akan berhadapan dengan Tuhan. Karena diangkatnya sebagai pemimpin atas nama; saksi Tuhan. Bersiap-siaplah menghadapi kekacauan Negara. Bukan tak mungkin akan berakhir dengan kehancuran nama, keluarganya sendiri dan Negara yang dipimpinnya.

Harus diingatkan, pemimpin jangan bermain-main dengan suara rakyat yang dipercayakan dengan jujur. Suara itu adalah suara Tuhan. Sebaiknya bertindak adil dan benar, hal itu mengangkat ia sebagai raja. Sebaliknya, rakyat jangan main-main dengan suara Tuhan. Memberikan suara kepada pemimpin yang tidak berdasarkan hati nurani, tapi kepentingan pragmatis sesaat, bersiap-siaplah untuk mengalami penderitaan panjang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka,1989: 3O1) makna kata hati nurani adalah hati yang telah mendapat cahaya Tuhan; perasaan hati murni dan yang sedalam-dalamnya.
(Penulis, Budayawan tinggal di kota Denpasar, Bali)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar