Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Minggu, 05 Juni 2011

Sekuni dan Pendidikan Teroris

Luh Made Sutarmi

Pendidikan bukan persiapan untuk hidup. Pendidikan adalah hidup itu sendiri. Itu sebabnya. Tujuan pendidikan adalah mempersiapkan generasi muda. Untuk mendidik diri mereka sendiri seumur hidup mereka. Pendidikan bukanlah sesuatu yang diperoleh seseorang. Tapi pendidikan adalah sebuah proses seumur hidup. Yang hebat di dunia ini bukanlah tempat di mana kita berada. Melainkan arah yang kita tuju. Arah yang diberikan pendidikan. Untuk mengawali hidup seseorang akan menentukan masa depannya, kata Plato menggebu-gebu. Maka, Murid yang dipersenjatai dengan informasi, akan selalu memenangkan pertempuran.


Namun pendidikan dibangun dengan budaya bohong, adalah sebuah markas teror yang siap menghasilkan teroris. Maka proses memengaruhi pikiran orang dapat dilakukan kepada siapa pun. Namun, tidak akan berhasil jika dilakukan pada orang yang sepenuhnya sadar, tahu apa yang dimaui dan tidak disukai, serta memegang kendali penuh atas dirinya. Saat sadar, penuh otak memencarkan gelombang beta.

Sekuni sadar bahwa mempengaruhi anak-anak dapat tercapai dengan mudah, karena (1) untuk dapat dipengaruhi, seseorang harus dibuat tidak sadar dan tidak mampu mengendalikan diri. Kondisi ini dapat dicapai dengan membuat pikiran seseorang menjadi sangat capek. Keletihan otak dapat terjadi lewat pemberian aktivitas fisik yang melelahkan maupun pemberian beban pikiran atau tekanan yang berat terus menerus. ”Saat pikiran capek seseorang mudah dipengaruhi atau diindoktrinasi. (2) melalui proses indoktrinasi, Proses indoktrinasi dapat dilakukan melalui ceramah, pidato, maupun pembicaraan yang memberi makna atas hal yang diyakini serta memaknai keadaan dan peran dirinya. Indoktrinasi membuat orang yang semula tak memiliki ikatan kuat dengan keyakinannya menjadi memiliki keteguhan luar biasa. Akibatnya, ia mau melakukan apa pun untuk menjalankan keyakinan itu, termasuk meninggalkan keluarga dan melukai orang lain.
*****
Udara segar berhembus kencang di Astina, paman Sekuni sedang berdiskusi dengan Duryodana. Duryodana sedang dibentuk menjadi teoris oleh pamannya sendiri. Sebab kemampuan untuk memikirkan ulang pendapat orang lain sangat bergantung pada proses pendidikan seseorang sebelumnya. Hal itu akan memengaruhi struktur keyakinan seseorang, cara seseorang melogika keyakinannya, maupun cara dia memaknai tindakannya. Seseorang yang memiliki paham monolistik dengan satu keyakinan tunggal, tidak terbuka dengan keyakinan, dan cara pikir lain sangat potensial untuk dimanfaatkan.

“Kita harus pengaruhi guru Drona, anakku,” kata Sekuni pada Duryodana.
“Bagaimana bisa paman?” sergah Duryodana.

“Aku, sejak lama selalu sibuk memikirkan tingkah polah negara dengan segala bentuk aparatnya yang simpang siur. Aku bisa membuat negara dan aku bisa merebut kukasaan negara dengan mudah.” Sekuni berkata sinis dengan Duryodana di Bale Bengong Astina. Sekuni, hendak mematahkan bahwa Astina yang semula membangun dan dibangun dari perhitungan rasional, kini menghidupkan lagi sesuatu yang tak sepenuhnya dikuasai akal: pesona itu bekerja karena bergolaknya hasrat. Ada yang akan menyebutnya ”nafsu”: bagian dari bawah-sadar yang hanya memui di saat yang tak bisa direncanakan, begitu dia berpuitis seperti yang sering disitir sastrawan.

Sekuni kembali menambahkan, “Banyak pejabat di Astina yang harus kita terpinggirkan secara fragmatis, dan bukan politik utopis, kekinian sebab kini kita sedang berada di ruang yang tak lagi ramah, karena banyak sebab yang tidak diketahui masalah dan akar masalahnya.”

“Maksud Paman?” tanya Duryodana heran. “Pendidikan yang dibangun untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan, entah pejabat di tingkat sekolah sampai negara tertinggi, maka mudah ditebak bahwa pendidikan semacam itu telah mempersiapkan ruang untuk menghamba kepada kekuasaan. Pendidik telah digadaikan idealismenya.”

“Ya aku setuju paman, rekayasa pendidikan sebagai ruang politik terus berlangsung.”

Duryodana dan Sekuni telah membidani lahirnya sarang teroris. Lembaran sekolah adalah sarang empuk melahirkan teroris manakala para pendidik telah menipu murid dengan angka-angka rekayasa untuk nilai siswa yang mereka miliki. Pendidik telah melatihnya menjadi teroris bertahap dengan sangat jitu. Tipu menipu nilai menunjukkan sebuah rekayasa sebab manage manusia itu sulit. Misalnya meminjam pengandaian seorang penulis, ada perbedaan antara menendang bola dan menendang kucing. Sebelum menendang bola, kita bisa ramalkan kemana bola akan bergerak setelah ditendang. Akan tetapi, sebelum menendang kucing, kita tidak tahu apakah kucingnya akan menangis, lari, melompat, mati atau alternatif lainnya.

Di bingkai itu pendidikan adalah proses memimpin. Salah satu tanda seorang pendidik yang hebat adalah kemampuan memimpin murid-murid. Menjelajahi tempat-tempat baru. Yang bahkan belum pernah didatangi sang pendidik. Kita tidak selalu bisa membangun masa depan bagi generasi muda. Tapi kita bisa membangun generasi muda untuk masa depan. Pendidik harus mawas diri apakah kita mengikuti jalan satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan ini. Jika kita memeriksa dirimu sendiri dengan jujur, kita akan mengakui bahwa hampir selalu ketiga unsur itu mengikuti arah yang berbeda, tidak ada kesatuan. Kalau pikiran lain, kata-kata lain, dan perbuatan lain pula, maka kita memiliki sifat-sifat orang jahat atau duratma, bukan sifat-sifat seorang mahatma. Ketidakserasian seperti itu akan merugikan kita dan menjauhkan diri kita dari Tuhan. Om gam ganapataye namaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar