Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Minggu, 05 Juni 2011

Menerka Musibah dan Penyebabnya

A.A. Bagus Sudira

Musibah adalah suatu kejadian yang merugikan hidup kita, yang menimbulkan rasa sedih yangg mendalam, rasa was-was, takut, dan kerugian material. Dari kecelakaan lalu lintas di jalan raya sampai terbunuhnya kerabat yang kita sayangi. Bahkan banyak di antaranya adalah generasi muda - pewaris bangsa dan negara ini.

Bahkan saat ini Bali pun ikut-ikutan kena musibah “kiriman” sampah di pantai Kuta, HIV/AIDS, berbagai jenis tindak kejahatan, dan lainnya. Dan kini ulat bulu juga membikin cemas di Bali. Lalu tanda mistik apa ini?.

Seluruh masyarakat harus introspeksi diri, kenapa berbagai musibah datang mengancam pulau Bali. Mudah-mudahan seluruh komponen masyarakat Bali bersatu, instropeksi diri, mencari solusi yang pas untuk menanggulangi berbagai musibah yang sudah terjadi dan yang akan terjadi. Karena melihat gelagatnya, Pulau Bali dan masyarakat Bali masih akan kena berbagai musibah. Jadi segala macam musibah (sekala/niskala) itu pasti ada sumber penyebabnya. Serta Tuhan selalu memberikan tanda-tandanya.

Dari berbagai literatur mistik dan wejangan para wikan (Mangku, Peranda). Musibah itu terjadi karena Karma dan Karmawasana si Korban. Setiap orang yang nemitis ke dunia ini membawa karmawasananya, sendiri-sendiri. Manusia itu makhluk yang spesifik dan unik. Seperti telapak tangan satu orang berbeda dengan orang lainnya (untuk sekitar 6 milyar manusia didunia ini). Menurut filosofi Balinya, sang roh yang menjelma itu punya berbagai keinginan, maksud dan cita-cita kelahirannya ke dunia ini. Termasuk hutang-hutang (kewajiban) yang belum diselesaikannya saat kelahirannya terdahulu itu yang harus ditebusnya pada kelahirannya ini. Dan akan kena pahala akibat perbuatannya pada kelahirannya ini.

Masyarakat Bali biasanya menanyakan kepada balian dasarann saat sang bayi lahir. Sebagai bahan pertimbangan atas keadaan si bayi. Misal Prabu Drestarata yang punya anak seratus orang (Kurawa) g ugur semuanya (pada perang Baratayuda) yang disebabkan, dulu saat mudanya Prabu Drestarata pernah berburu ke hutan dan membakar hutan itu. Di mana ikut terbakar mati anak-anak burung sebanyak 100 ekor. Dan ibu burung itu memohon keadilan Tuhan, agar yang membunuh anak-anaknya itu diberi hukuman setimpal. Ada kasus seseorang yang mati dibunuh oleh rampok. Setelah ditanyakan kepada balian dasaran disebutkan, bahwa si korban dulu pernah membunuh orang.

Penyebab lainnya musibah itu adalah sebagai peringatan leluhur (Kawitan) si korban. Karena perubahan zaman, serta pengaruh adat (budaya pendatang/tourist), banyak generasi muda menyimpang dari aturan moral dan agama yang sudah ditentukan oleh leluhur (Kawitan Bali). Seperti untuk melakukan ritual mecaru, ngenteg linggih, dan lain-lain yang diabaikan, karena di samping biayanya besar (sayang duit), juga karena keberatan kerjanya. Apalagi sedang sibuk kerja di kantor, bisnis, dan lain-lain. Akhirnya leluhur marah dan menghukum prati sentana-nya. Dengan berbagai musibah, dari sakit-sakitan, tidak punya anak, rumah tangga kacau balau, sampai kecelakaan, kematian, dan sebagainya.

Musibah juga dipercaya dipengaruhi oleh hari sial si korban. Masyarakat Bali sangat percaya pada hari baik dan hari sial (ala ayu dewasa). Sehingga semua pekerjaan yang penting, seperti; selamatan, bepergian jauh, buka usaha, mlaspas rumah, dan lainnya selalu berpedoman pada hari baik yang ada di Kalender Bali. Apalagi banyak kisah-kisah mistik yang membahas hal itu. Seperti, kisah Betara Kala yang akan memakan manusia yang jalan-jalan pada jam 12 siang tengah hari, sembrono di perempatan agung, dan lainnya. Kajeng Kliwon - dipercaya hari keluarnya para setan gentayangan.

Ada juga kepercaya, bahwa musibah timbul karena perbuatan (nyata maupun mistik) orang lain kepada si korban. Sejak zaman purba manusia yang satu sudah saling bersaing, membenci dan saling berusaha menundukkan pihak lainnya dengan berbagai cara termasuk dengan ilmu gaib. Misalnya dengan menyantet musuh-musuhnya, agar kalah, sakit dan mati. Banyak orang yang mengabaikan hal ini, tapi lihatlah betapa banyak pejabat karir di Pemerintahan maupun swasta yang mati mendadak. Habis olah-raga, sedang istirahat, tiduran, sedang mengendarai mobil, dan sebagainya. Kata Dokter, karena stroke, gagal jantung, dan lain-lain, padahal kata istri korban suaminya sehat-sehat saja sebelumnya.

Tidak bisa dipungkiri adanya kpercayaan, bahwa musibah dipicu oleh adanya roh-roh jahat gentayangan yang mengganggu si korban. Masyarakat Bali percaya, bahwa roh-roh itu kekal abadi yang pada saat kematiannya seharusnya pergi ke alam asalnya, bisa saja karena suatu hal dia masih gentayangan didunia ini. Dan karena anak-cucunya tidak menghiraukannya (tidak membuatkannya ritual/upacara kematiannya, memberinya sesajen setelahnya, dll), sehingga dia kesepian. Stress dan marah-marah dan menumpahkan kemarahannya kepada siapa saja yang lewat di lokasinya berada. Ini bisa membuat tabrakan, perampokan, pembunuhan, perkosaan, dan sejenisnya di lokasi itu.

Musibah karena pengaruh alam (lingkungan si korban). Alam menurut filosofi masyarakat Bali adalah areal tempat manusia menjalani kehidupan. Yang penuh dengan aura sakral dan juga jahat. Misal lokasi bekas kuburan dipercaya kurang baik untuk perumahan. Bahkan lokasi bekas Merajan (Pura) juga sangat angker. Oleh karena itu biasanya masyarakat lalu menyucikan tempat itu dengan berbagai ritual untuk menetralisir aura negatifnya. Jika hal ini tidak dilakukan biasanya penghuni rumah di atas tanah itu akan sakit-sakitan, bertengkar terus, sengsara, kena musibah.

Ada juga kepercayaan, bahwa musibah muncul akibat kesalahan dalam melaksanakan yadnya, ritual (upacara) dan kurangnya rasa kesakralan masyarakat kepada arti sesajen, mantra, kepada Pemangku/Peranda, Pratima, Pelinggih Betara, Merajan dan pura. Serta tidak terlalu percaya kepada segala hal mistik (tenget). Banyak masyarakat yang ke pura membawa sajen, mebhakti, dan lainnya, karena mereka sedang kena musibah, punya tujuan yang sangat diharapkan agar berhasil, bukan karena hati sucinya akan nangkil, semedi menelusuri jalan ke Tuhan, merenung akan arti hidup ini. Sehingga yg "tedun" itu bukan Betara tapi Butha yang mengabulkan permohonan pemedek-nya sesuai dengan harapannya. Ini kemudian membuatnya menjelma menjadi manusia Rajas-Tamas, bukan manusia satwam. Makanya, makin banyak yang nangkil ke pura, makin banyak yang maaturan ke pura, tapi makin banyak manusia raksasanya. Yang jahat, makan saudaranya, yang masa bodo kepada masyarakat miskin, yang korup, yang tambah tamak, dan lain-lain.

Itulah sebagian pemicu musibah yang sering melanda kehidupan manusia. Karena itu perlu lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, membersihkan hati dan pikiran, supaya yang dekat dengan kehidupan kita adalah aura kedewataan, bukan aura keraksasaan. Laksanakan swadharma swang-swang. Dimana yang kuat melindungi yang lemah, yang kaya membantu yang miskin, yang pintar mengajari yang kurang pintar, yang suci menuntun yang berdosa, yang dokter mengobati yang sakit, dan seterusnya. Kalau sudah demikian, tentulah musibah, kejahatan, bisa dikurangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar