Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 15 April 2019

Pemilu Serentak Tokoh Agama Tersentak

Bulan April pun datang, pemilu serentak pertama di Indonesia. Penuh dengan kerunyaman dengan perseteruan dua kubu yang sangat panjang. Pemuka agama pun tersentak dan ramai-ramai menyerukan pemilu damai.

Pemilu serentak ini pertama kali terjadi di negeri kita. Serentak memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR, DPD ditambah dengan pemilihan pasangan presiden dan wakil presiden. Karena serentak dan harus ada lima surat suara yang dicoblos terjadi kebingungan dan bahkan sejak awal aturannya pun penuh kontroversial.


Jika dalam konstitusi (UUD 1945 yang diamandemen terakhir) ditetapkan bahwa calon presiden dan calon wakil presiden dipilih berpasangan dan dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, maka dalam aturan turunannya bisa berubah menjadi adanya ambang batas perolehan suara. Ini sumber kekacauan yang pertama. Kalau mengikuti UUD 1945, setiap partai atau gabungan partai bisa mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden. Dengan begitu capres/cawapres bisa banyak, bahkan banyaknya bisa saja sesuai dengan jumlah partai politik. Ketentuan ini menyiratkan pentingnya syarat ketat untuk sebuah partai politik, karena kalau partai itu sudah lolos ikut pemilu artinya berpotensi mencalonkan capres/cawapres.

Tiba-tiba ada aturan turunan yang menyimpang dari semangat konstitusi dengan keharusan adanya ambas batas. Akibatnya partai harus bergabung agar tercapai ambang batas itu. Lucunya lagi, perolehan suara mana yang dipakai rujukan untuk menentukan ambang batas itu? Ternyata perolehan suara partai pada pemilu sebelumnya, yakni pemilu 2014. Aneh tentunya, kita memilih presiden untuk periode 2019-2014 tetapi memakai ambang batas suara partai hasil pemilu 2014. Padahal semua orang tahu suara pemilu 2014 belum tentu sama dengan suara pemilu 2019.

Akibat dari aturan ambang batas itu maka capres/cawapres hanya ada dua pasang. Memang teorinya bisa tiga, tetapi karena partai dengan suara besar sudah berkoalisi duluan, tak ada lagi sisa suara untuk capres/cawapres ketiga. Nah, kedua pasangan capres/cawapres itu kebetulan muka lama, hanya wakilnya yang berbeda. Jadi ini pertarungan ulang antara Jokowi dan Prabowo yang sudah terjadi pada pemilu 2014. Di situlah muncul perseteruan abadi karena suara dukungan sudah mengental sejak pemilu 2014.

Dengan situasi seperti ini sudah dipastikan terjadi dua pengelompokan yang fanatik karena sudah terpelihara sejak lama. Seperti kita ketahui akhirnya, kedua kubu saling menyerang, saling menjatuhkan, saling menjelekkan, saling memaki. Dan itu berlangsung sangat lama karena masa kampanyenya berbulan-bulan meski pun kampanye terbuka baru berlangsung 24 Maret sampai 13 April sementara pemilunya berlangsung 17 April.

Kecemasan pun muncul dari pemilu serentak ini. Dalam posisi seperti ini maka tokoh dan pemuka agama diminta untuk turun ke lapangan membuat situasi lebih adem. Ibaratnya, pemilu serentak membuat pemuka agama tersentak, kok tiba-tiba dijadikan pemadam kebakaran untuk api yang sudah membesar.

Majelis agama termasuk ormas keagamaan gencar melakukan berbagai pertemuan. Majelis Ulama Indonesia (MUI), Konferensi Wali Gereja Indonesia, Oikoumene, Parisada Hindu Dharma Indonesia, Permabudhi, dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) menyerukan keprihatinan yang mendalam. “Kami memperhatikan dengan saksama bagaimana dinamika kehidupan nasional menjelang Pemilu 2019. Kami ingin pesta demokrasi bisa bermutu dan beradab,” kata Ketua Umum Persatuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Henriette Hutabarat. Majelis agama-agama ini menyatakan keprihatinan atas berkembangnya suasana kehidupan bangsa yang menampilkan gejala pertentangan dan wacana antagonistis di kalangan masyarakat. Mereka berpesan semua pihak dapat menahan diri dalam perkataan dan perbuatan yang dapat mendorong pertentangan. “Terutama menyinggung wilayah sensitif menyangkut keyakinan agama, ras, antargolongan, dan suku,” kata Romo Enduro, wakil dari Konferensi Wali Gereja (KWI).

Yang menjadi pertanyaan, apakah suara pemuka agama masih didengar di masyarakat? Ternyata masih. Survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia ( LSI) Denny JA menyebutkan, sebesar 51,7 persen pemilih menyatakan bahwa mereka sangat mendengar imbauan dari tokoh agama. Sementara, tokoh dan profesi lain himbauannya dinilai tak terlalu berpengaruh signifikan pada pemilih. Apalagi himbauan politisi sudah tak diperhatikan lagi. “Bagi pemilih Indonesia, tokoh agama adalah profesi yang paling didengar imbauannya dibandingkan profesi lain,” begitu hasil survei.

Selain majelis agama dan ormas agama yang juga sangat aktif melakukan kegiatan untuk meredam perseteruan dua kelompok pasangan capres/cawapres ini adalah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Forum ini sudah membentuk asosiasi di seluruh Nusantara sehingga kini saling berhubungan. Ketua Asosiasi FKUB ini adalah putra Bali, yakni Ida Pengelingsir Agung Putra Sukahet yang juga menjadi Ketua FKUB Bali. Ida Pengelingsir pun giat melakukan pertemuan ke berbagai daerah.

Presiden Joko Widodo pada Senin, 18 Maret 2019, menerima FKUB dengan perwakilan dari seluruh Indonesia di Istana Kepresidenan Bogor. Dengan 75 orang pengurus FKUB seluruh Indonesia, Presiden Jokowi meminta FKUB lebih aktif meredam konflik yang sudah memecah persatuan bangsa ini.

Dalam audiensi dengan presiden itu dibicarakan soal kerukunan antarumat beragama serta bagaimana menjalankan pemilu yang damai. “Pemilu ini kita harus tetap rukun. Kita laksanakan dengan seluruh itikad kebaikan untuk menyukseskan pemilu. Ini adalah kewajiban moral kita,” kata Ida Pengelingsir.
FKUB pun menyatakan siap untuk menangkal sekaligus meluruskan berita-berita hoaks dan fitnah yang banyak bertebaran di daerah-daerah. Melalui perwakilan berbagai majelis agama yang ada dalam FKUB, pihaknya akan selalu memasyarakatkan soal toleransi dan mencegah berita-berita bohong. “Selalu kita kumandangkan agar seluruh bangsa kita ini menjadi pemeluk-pemeluk agama yang baik sekaligus menjadi warga negara yang baik. Kalau sudah menjadi pemeluk agama yang baik, menjadi warga negara yang baik, maka tidak ada lagi hoaks, fitnah, kebohongan, dan sebagainya,” kata Ida Pengelingsir.

FKUB lahir dari Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Pada awalnya sasaran kerja FKUB dalam kaitan dengan pendirian rumah ibadah. Namun belakangan kegiatan FKUB merambah masalah kerukunan yang lebih luas, termasuk dampak pemilu ini. Karena itu FKUB  meminta Presiden Jokowi meningkatkan status badan hukumnya melalui penerbitan peraturan presiden (Perpres). Dengan peningkatan status badan hukumnya, maka FKUB bakal mendapatkan dana yang bersumber dari APBN. Sekarang ini kucudan dana untuk FKUB hanya dari APBD masing-masing provinsi dan besarnya tidak sama karena tergantung perhatian gubernur di setiap daerah yang tidak sama. “Kami bersyukur jawaban dari Presiden, Mensesneg, Menag kompak sudah diproses menjadi peraturan presiden. Nanti dananya dari APBN,” ucap Ketua Umum FKUB Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet.

Bagaimana dampak pemilu serentak ini terhadap umat Hindu? Sepertinya tidak begitu besar. Tidak begitu kentara pengelompokan massa di masyarakat, paling riak-riak kecil di media sosial. Apalagi tidak ada pengerahan massa selama kampanye yang mengatas-namakan agama. Kalau masyarakat adat masih ada satu dua, namun secara umum masyarakat Hindu, khususnya di Bali lebih tenang dan tidak begitu mengkhawatirkan terjadinya perpecahan. Semoga pemilu berlangsung damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar